Senin, 26 Agustus 2013

Raita si Penulis Bagian 1

M
ALAM itu, seorang gadis SMA sedang asyik mengetik di kamarnya. Laptop yang ia pandangi itu tersambung dengan sebuah kamera. Dilihat dari sinar matanya, ia kelihatan begitu bersemangat. Namun, sinar matanya menyimpan suatu kejahatan.
“Dengan foto-foto ini, akan gue hancurin mereka! Khukhukhu…” kata gadis itu disertai tawa jahatnya.
***
Esoknya saat siang hari, gadis itu keluar dari sebuah ruangan di sekolahnya. Di atas pintu ruangan itu, terpampang di dinding sebuah tulisan “Ruang Sekretariat Majalah”. Dengan senyum menyamping penuh misteri, gadis itu berjalan menuju ruang guru sambil membawa sekeping CD.
Sesampainya di ruang guru, ia menghampiri seorang pria berkacamata oval dengan usia hampir kepala empat. “Pak,” panggil gadis itu. “Ini isi majalah bulan ini. Tinggal dicetak saja.” Gadis itu menyerahkan kepingan CD-nya.
“Oh, iya. Makasih, Raita,” sahut pria itu.
“Sama-sama, Pak.” Tanpa berlama-lama, gadis bernama Raita itu segera pergi dari sana.
Ia pergi ke depan sekolah sambil berlarian, mengejar bus yang sedang berhenti. Raita memasuki bus berdesakan dengan penumpang lain. Beruntung, ia masih mendapat tempat duduk. Bus itu tidak mengarah ke rumah Raita karena beda jurusan. Tapi sepertinya Raita tahu hal itu karena ia masih memasang senyum misteriusnya.
“Kalo senyum-senyum terus, nanti dikira gila lho,” sindir seorang cowok di sebelah Raita.
Raita menoleh ke arah cowok itu sambil cemberut, sedikit kesal. Ia kemudian membuang muka ke arah lain.
“Tapi nggak pa-pa, sih. Soalnya senyum lo manis,” gombal cowok itu.
“Ah, gombal. Lo pasti Tommy si playboy cilik itu, ya?” tanya Raita melihat tubuh makhluk di sebelahnya.
“Gue bukan playboy, soalnya gue jomblo,” protes Tommy, cowok di sebelah Raita. “Ngomong-ngomong, boleh kenalan nggak? Biar enak aja ngomongnya.”
Huh, dasar cowok, batin Raita.
Awalnya dia cuek, tapi melihat tangan Tommy yang sudah terulur dan ditambah dengan muka memelas Tommy, ia jadi iba. Ia membalas uluran tangan Tommy. “Gue Raita,” sahutnya jutek.
“Raita? Nama yang cantik, seperti orangnya,” komentar Tommy. “Kalo gue, seperti yang lo bilang, Tommy, si cowok keren.”
“Nggak nanya,” Raita membuang muka.
“Jangan jutek gitu dong. Raita mau pergi ke mana?” tanya Tommy.
“Bukan urusan lo,” jawab Raita sambil langsung pergi turun dari bus.
Sekilas, Tommy melihat ke luar. Gara-gara mengobrol dengan Raita, Tommy jadi baru sadar kalau rumahnya sudah terlewat jauh. Ia pun segera ikut turun ke halte disertai penumpang lain.
Di halte, Tommy menggumam. “Wah, ini sih, udah jauh dari rumah gue. Masa gue balik lagi naik bus?” Ia pun memeriksa saku celananya. Ternyata tak ada uang sepeser pun. Sekarang ia benar-benar kebingungan.
Semerbak bau parfum tercium di hidung Tommy. Saat itu pula, Raita lewat di hadapannya, berjalan terburu-buru. Tommy pun mengejarnya dengan suatu maksud.
“Parfum Raita wangi deh,” kata Tommy mendekati Raita.
“Maksud lo apa sih?” sahut Raita agak jengkel.
“Nggak kenapa-kenapa sih. Raita emangnya mau ke mana?”
“Mau ke sini,” jawab Raita menunjuk sebuah gedung di depannya. Tommy memandang gedung itu, lalu membaca tulisan di depan pagarnya. Tulisannya adalah “PT. Suara Bangsa”. Membaca itu, Tommy langsung ingat pada suatu benda, yaitu koran. Ya, itu adalah perusahaan koran dan surat kabar.
“Mau ngapain? Raita kerja di sini?” tanya Tommy kepo.
“Enggak sih, tapi gue pingin bekerja di bidang kepenulisan, kayak wartawan atau penulis gitu. Lihat aja beberapa tahun ke depan. Gue akan jadi penulis terkenal yang kaya. Khukhukhu…” Raita justru curcol.
“Wah, semangat yang bagus. Ngomong-ngomong, gue boleh minta sesuatu, nggak?”
“Boleh. Pasti minta tanda tangan, ya, biar lo nggak usah minta lagi kalo gue udah terkenal,” sahut Raita ge-er.
“Bukan sih. Gue mau naik bus ke rumah gue soalnya tadi udah kelewatan jauh. Nah, masalahnya duit gue habis. Boleh minta duitnya, nggak? Kapan-kapan kalau ketemu lagi, gue kembaliin deh,” pinta Tommy. “Tadi udah bilang ‘boleh’ lho.”
“Sialan. Nggak pa-pa deh, nih gue pinjemin.” Raita memberikan sejumlah uang pada Tommy. Dengan jengkel, ia juga mengusir Tommy. “Udah, pergi sana ke halte.”

“Makasih, Raita cantik!” sahut Tommy sambil tersenyum senang.
Berlanjut ke Bagian 2...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar