Saat ia hendak menuliskan sesuatu
di buku, Tommy tiba-tiba menghalanginya. “Tunggu, Fan,” katanya. “Demi
kekompakan kita, tim kita perlu nama, hehe…”
“Aneh-aneh aja lo, Tom, ngasih nama
segala,” sahut Tofan.
“Tapi boleh juga, Tom. Bagaimana
kalau tim ‘The Rainbow Bikers’?” usul Erwin. “Kita kan kalau sepedaan suka
pakai jaket warna-warni seperti pelangi.”
“Terlalu biasa, Win,” komentar Tommy.
“Kita cari nama yang unik bin aneh bin ajaib.”
“Ah, I know… We are The Rangers!” seru
Surdi semangat sambil mengacungkan jempolnya. “Selain our jacket warna-warni
kayak rainbow, we juga membela keadilan kayak tontonan waktu we masih
anak-anak, Power Rangers! You semua setuju?”
“Gue sih setuju-setuju aja,” sahut
Tofan.
“Aku juga,” sambung Erwin.
“Sebenarnya agak kayak anak kecil,
sih. Tapi berhubung gue suka anak kecil, gue suka nama itu,” tambah Tommy.
“Oke. Sekarang dengerin rencana
gue.”
Di tempat parkir restoran, Tofan
menulis sesuatu di bukunya dikerumuni ketiga temannya. Mereka sedang menyusun
rencana untuk menyelamatkan Mega.
Beberapa saat kemudian, Tofan
menutup bukunya. Ia lalu berkata, “Begitulah rencana kita, Rangers. Dan misi
kita kali ini dimulai… sekarang!”
Surdi dan Tommy masuk ke restoran
tersebut, sedangkan Tofan dan Erwin pergi ke bagian belakang restoran. Di situ,
Tofan dan Erwin melihat ada mobil sedan berwarna hitam.
“Fan, mobil itu sepertinya
mencurigakan,” kata Erwin sambil menunjuk mobil sedan itu dari jauh.
“Mencurigakan gimana?” tanya
Tofan.
“Tidak tahu, tapi perasaanku tak
enak begitu melihat mobil itu,” sahut Erwin.
“Kalo gitu, ayo kita lihat lebih
dekat,” ajak Tofan.
Mereka berdua mendekati mobil itu
lalu memeriksanya. Erwin juga mencoba mengintip kaca mobilnya. Dan terkejutlah
ia begitu melihat benda di dalamnya.
“Fan, di dalam mobil ini ada
tasnya Mega!” seru Erwin.
“Hah? Serius?” sahut Tofan yang
sedang melihat-lihat bagian depan mobil.
“Serius,” jawab Erwin.
“Pintunya bisa dibuka apa nggak,
ya?” Tofan menghampiri lalu mencoba membuka pintu mobil.
Klek! Terbuka!
“Wah, nggak dikunci rupanya. Kunci
mobil bahkan masih nempel. Dasar sembrono,” gumam Tofan.
Erwin mengambil tas Mega. “Tapi,
itu justru menguntungkan kita kan?” katanya.
“Hehe… lebih baik, kunci ini
kubawa, kalau-kalau ada apa-apa.” Tofan iseng melepas kunci mobil itu dan
mengantonginya.
Erwin menggendong tas Mega di
punggung, menindih tas Erwin yang sudah lebih dulu di sana. “Sekarang ayo kita
segera ke belakang restoran,” kata Erwin lagi.
Tofan dan Erwin pergi ke bagian
belakang restoran itu. Dari belakang maupun dari depan, gedung restoran itu
masih tampak sama, terkesan kuno dan angker. Mereka berdua lalu mengintip lewat
jendela belakang. Begitu tahu kalau sepi, mereka pun masuk.
Di dalam, mereka mengendap-endap
seperti pencuri. Mereka tidak tahu hendak ke arah mana. Di samping kiri, kanan,
maupun depan mereka, terdapat beberapa pintu.
Tiba-tiba dari pintu di depan
mereka, muncul seorang pelayan berkostum manusia serigala. Tofan dan Erwin
kontan gelagapan karena takut ketahuan. Mereka spontan berjongkok di pojok
ruangan, berharap pelayan itu tak melihat mereka.
Namun pelayan itu seperti tak
menyadari hal aneh dan masuk ke sebuah ruangan. Tofan dan Erwin pun kembali berdiri.
“Untunglah mereka nggak ngeliat
kita,” kata Tofan.
“Iya. Tapi sekarang kita hendak ke
mana?” tanya Erwin.
“Ayo kita coba ngintip yang
dilakuin manusia serigala itu. Mungkin kita akan dapet petunjuk,” ajak Tofan.
Mereka hendak mengintip ke ruangan
yang baru saja dimasuki pelayan tadi. Tapi sesampainya di depan ruangan, tak
tampak jendela di sana dan pintunya tertutup.
Cklek! Pintu tiba-tiba terbuka dan
muncullah manusia serigala tadi sedang membawa nampan berisi makanan. Tofan dan
Erwin kembali gelagapan, tapi kini mereka tak bisa lari. Mereka berdua secara
spontan malah mengangkat kedua tangan, seperti penjahat yang ketahuan polisi.
“Mmm… kami cuma… salah masuk. Iya,
salah masuk. Toilet di mana, ya?” kata Tofan gugup pada pelayan itu.
Tapi pelayan itu cuek dan terus
berjalan untuk mengantar pesanan. Tofan dan Erwin pun bertanya-tanya dalam
hati.
“Kok mereka cuek gitu aja?” gumam
Tofan kebingungan.
Erwin mengangkat bahu.
“Ini aneh,” pikir Tofan. “Paling
enggak mereka harusnya heran melihat kita.”
“Apa mungkin mereka tidak melihat
kita?” sahut Erwin.
“Maksudnya?”
“Mereka… dihipnotis,” kata Erwin
lagi. “Tapi kalau benar begitu, berarti…”
“Mega juga!” seru mereka berdua
kompak.
“Semuanya makin jelas. Si pemilik
resto ini mungkin mendapat pelayannya dengan cara menculik, lalu menghipnotis,”
kata Tofan. “Win, lo tahu cara ngilangin efek hipnotis?”
“Entahlah. Tapi bagaiamna kalau
menepuk bahu mereka dari belakang?” usul Erwin.
“Ayo kita coba!”
Mereka berdua menunggu pelayan
datang. Begitu keluar seorang pelayan berkostum mumi, Tofan menghadangnya
sambil bertanya. “Mas, toilet di sebelah mana, ya?”
Tapi pelayan itu cuek dan terus
berjalan.
“Kayaknya bener dihipnotis, Win,”
kata Tofan pada Erwin di sebelahnya.
“Kalau begitu…” Buk! Erwin menepuk
bahu pelayan itu dari belakang.
“Adaw! Sialan, sakit tauk!”
Pelayan itu menjerit sambil mengelus-elus bahunya. “Eh, di mana aku?”
“Di restoran Sambal Setan. Anda
pelayan berkostum mumi di sini. Anda habis dihipnotis,” sahut Erwin.
“Pelayan?” Si mumi itu melihat
sekujur tubuhnya yang dibalut perban. “Oh, astaga! Aku baru ingat. Pemilik
restoran ini sungguh sinting. Ia menculikku lalu berkata bahwa wajahku lebih
cocok ditutup perban. Sialan!” Si mumi itu mengumpat-umpat kesal. “Terima
kasih, ya. Berkat kalian aku bebas dari hipnotis itu. Sekarang ayo kita
bebaskan semua orang dari pengaruh hipnotis!”
Mereka bertiga pun menjelajah
ruangan-ruangan di sana dan membebaskan para pelayan yang dihipnotis.
***
Sementara itu, Surdi dan Tommy
sedang berada di dalam restoran. Kata Tofan, mereka harus mencari Mega. Tapi
walau dicari di sudut mana pun, Mega tetap tak ketemu. Yang belum mereka
periksa adalah ruangan di balik pintu bertuliskan “Dilarang masuk kecuali
pegawai”.
Karena tak ketemu, mereka lalu
duduk di salah satu tempat duduk.
“Gimana nih, Sur? Mega nggak ada
di sini,” kata Tommy.
Berlanjut ke Bab 5 (Akhir)...