Rabu, 30 Juli 2014

Bab 5: Life is a Movie (Tengah)

Saat ia hendak menuliskan sesuatu di buku, Tommy tiba-tiba menghalanginya. “Tunggu, Fan,” katanya. “Demi kekompakan kita, tim kita perlu nama, hehe…”
“Aneh-aneh aja lo, Tom, ngasih nama segala,” sahut Tofan.
“Tapi boleh juga, Tom. Bagaimana kalau tim ‘The Rainbow Bikers’?” usul Erwin. “Kita kan kalau sepedaan suka pakai jaket warna-warni seperti pelangi.”
“Terlalu biasa, Win,” komentar Tommy. “Kita cari nama yang unik bin aneh bin ajaib.”
“Ah, I know… We are The Rangers!” seru Surdi semangat sambil mengacungkan jempolnya. “Selain our jacket warna-warni kayak rainbow, we juga membela keadilan kayak tontonan waktu we masih anak-anak, Power Rangers! You semua setuju?”
“Gue sih setuju-setuju aja,” sahut Tofan.
“Aku juga,” sambung Erwin.
“Sebenarnya agak kayak anak kecil, sih. Tapi berhubung gue suka anak kecil, gue suka nama itu,” tambah Tommy.
“Oke. Sekarang dengerin rencana gue.”
Di tempat parkir restoran, Tofan menulis sesuatu di bukunya dikerumuni ketiga temannya. Mereka sedang menyusun rencana untuk menyelamatkan Mega.
Beberapa saat kemudian, Tofan menutup bukunya. Ia lalu berkata, “Begitulah rencana kita, Rangers. Dan misi kita kali ini dimulai… sekarang!”
Surdi dan Tommy masuk ke restoran tersebut, sedangkan Tofan dan Erwin pergi ke bagian belakang restoran. Di situ, Tofan dan Erwin melihat ada mobil sedan berwarna hitam.
“Fan, mobil itu sepertinya mencurigakan,” kata Erwin sambil menunjuk mobil sedan itu dari jauh.
“Mencurigakan gimana?” tanya Tofan.
“Tidak tahu, tapi perasaanku tak enak begitu melihat mobil itu,” sahut Erwin.
“Kalo gitu, ayo kita lihat lebih dekat,” ajak Tofan.
Mereka berdua mendekati mobil itu lalu memeriksanya. Erwin juga mencoba mengintip kaca mobilnya. Dan terkejutlah ia begitu melihat benda di dalamnya.
“Fan, di dalam mobil ini ada tasnya Mega!” seru Erwin.
“Hah? Serius?” sahut Tofan yang sedang melihat-lihat bagian depan mobil.
“Serius,” jawab Erwin.
“Pintunya bisa dibuka apa nggak, ya?” Tofan menghampiri lalu mencoba membuka pintu mobil.
Klek! Terbuka!
“Wah, nggak dikunci rupanya. Kunci mobil bahkan masih nempel. Dasar sembrono,” gumam Tofan.
Erwin mengambil tas Mega. “Tapi, itu justru menguntungkan kita kan?” katanya.
“Hehe… lebih baik, kunci ini kubawa, kalau-kalau ada apa-apa.” Tofan iseng melepas kunci mobil itu dan mengantonginya.
Erwin menggendong tas Mega di punggung, menindih tas Erwin yang sudah lebih dulu di sana. “Sekarang ayo kita segera ke belakang restoran,” kata Erwin lagi.
Tofan dan Erwin pergi ke bagian belakang restoran itu. Dari belakang maupun dari depan, gedung restoran itu masih tampak sama, terkesan kuno dan angker. Mereka berdua lalu mengintip lewat jendela belakang. Begitu tahu kalau sepi, mereka pun masuk.
Di dalam, mereka mengendap-endap seperti pencuri. Mereka tidak tahu hendak ke arah mana. Di samping kiri, kanan, maupun depan mereka, terdapat beberapa pintu.
Tiba-tiba dari pintu di depan mereka, muncul seorang pelayan berkostum manusia serigala. Tofan dan Erwin kontan gelagapan karena takut ketahuan. Mereka spontan berjongkok di pojok ruangan, berharap pelayan itu tak melihat mereka.
Namun pelayan itu seperti tak menyadari hal aneh dan masuk ke sebuah ruangan. Tofan dan Erwin pun kembali berdiri.
“Untunglah mereka nggak ngeliat kita,” kata Tofan.
“Iya. Tapi sekarang kita hendak ke mana?” tanya Erwin.
“Ayo kita coba ngintip yang dilakuin manusia serigala itu. Mungkin kita akan dapet petunjuk,” ajak Tofan.
Mereka hendak mengintip ke ruangan yang baru saja dimasuki pelayan tadi. Tapi sesampainya di depan ruangan, tak tampak jendela di sana dan pintunya tertutup.
Cklek! Pintu tiba-tiba terbuka dan muncullah manusia serigala tadi sedang membawa nampan berisi makanan. Tofan dan Erwin kembali gelagapan, tapi kini mereka tak bisa lari. Mereka berdua secara spontan malah mengangkat kedua tangan, seperti penjahat yang ketahuan polisi.
“Mmm… kami cuma… salah masuk. Iya, salah masuk. Toilet di mana, ya?” kata Tofan gugup pada pelayan itu.
Tapi pelayan itu cuek dan terus berjalan untuk mengantar pesanan. Tofan dan Erwin pun bertanya-tanya dalam hati.
“Kok mereka cuek gitu aja?” gumam Tofan kebingungan.
Erwin mengangkat bahu.
“Ini aneh,” pikir Tofan. “Paling enggak mereka harusnya heran melihat kita.”
“Apa mungkin mereka tidak melihat kita?” sahut Erwin.
“Maksudnya?”
“Mereka… dihipnotis,” kata Erwin lagi. “Tapi kalau benar begitu, berarti…”
“Mega juga!” seru mereka berdua kompak.
“Semuanya makin jelas. Si pemilik resto ini mungkin mendapat pelayannya dengan cara menculik, lalu menghipnotis,” kata Tofan. “Win, lo tahu cara ngilangin efek hipnotis?”
“Entahlah. Tapi bagaiamna kalau menepuk bahu mereka dari belakang?” usul Erwin.
“Ayo kita coba!”
Mereka berdua menunggu pelayan datang. Begitu keluar seorang pelayan berkostum mumi, Tofan menghadangnya sambil bertanya. “Mas, toilet di sebelah mana, ya?”
Tapi pelayan itu cuek dan terus berjalan.
“Kayaknya bener dihipnotis, Win,” kata Tofan pada Erwin di sebelahnya.
“Kalau begitu…” Buk! Erwin menepuk bahu pelayan itu dari belakang.
“Adaw! Sialan, sakit tauk!” Pelayan itu menjerit sambil mengelus-elus bahunya. “Eh, di mana aku?”
“Di restoran Sambal Setan. Anda pelayan berkostum mumi di sini. Anda habis dihipnotis,” sahut Erwin.
“Pelayan?” Si mumi itu melihat sekujur tubuhnya yang dibalut perban. “Oh, astaga! Aku baru ingat. Pemilik restoran ini sungguh sinting. Ia menculikku lalu berkata bahwa wajahku lebih cocok ditutup perban. Sialan!” Si mumi itu mengumpat-umpat kesal. “Terima kasih, ya. Berkat kalian aku bebas dari hipnotis itu. Sekarang ayo kita bebaskan semua orang dari pengaruh hipnotis!”
Mereka bertiga pun menjelajah ruangan-ruangan di sana dan membebaskan para pelayan yang dihipnotis.
***
Sementara itu, Surdi dan Tommy sedang berada di dalam restoran. Kata Tofan, mereka harus mencari Mega. Tapi walau dicari di sudut mana pun, Mega tetap tak ketemu. Yang belum mereka periksa adalah ruangan di balik pintu bertuliskan “Dilarang masuk kecuali pegawai”.
Karena tak ketemu, mereka lalu duduk di salah satu tempat duduk.
“Gimana nih, Sur? Mega nggak ada di sini,” kata Tommy.
Berlanjut ke Bab 5 (Akhir)...

Rabu, 23 Juli 2014

Bab 5: Life is a Movie (Awal)

“K
ALIAN mau apain gua sih?! Awas, ya, kalo macem-macem! Gini-gini gua jago bela diri, tauk!” Tampak Mega dengan tangan diikat dibawa ke bagian belakang restoran Sambal Setan. Ia berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang menangkapnya.
Salah satu dari dua orang yang mengawalnya tertawa. “Haha… Lo itu lucu, ya? Kalo lo jago bela diri, lo ga mungkin keiket kayak begini kan?”
“Cewek ini bukan jago bela diri, Bro, tapi bela sungkawa, kali. Haha…” Teman penculik yang gemuk ikut menyambung dengan lelucon garing.
“Huh, garing,” komentar Mega.
“Eeh, berani-beraninya ngomong gitu. Gue bilangin bos baru tau rasa lo!” sahut penculik yang cungkring.
Di bagian belakang restoran itu, mulanya tak ada yang aneh, hanya interior dan atmosfer yang berasa klasik nan angker. Namun, melihat beberapa orang yang lalu lalang, Mega merasakan sesuatu yang janggal.
Orang-orang yang lewat berkostum dan berdandan seperti hantu. Mereka melewati Mega dan para penculik begitu saja. Mereka tidak berusaha menolong atau berkata sepatah kata pun, seakan kejadian seperti ini sudah biasa. Bahkan, mereka sama sekali tidak memandang ke arah Mega.
Ini aneh, batin Mega. Apa yang terjadi dengan orang-orang itu? Rasanya kayak pikiran mereka dikendaliin. Oh, iya, dari dulu pelayan-pelayan itu…. Ah, jangan-jangan…!
Mega dibawa ke dalam sebuah ruangan. Ruangan itu berisi banyak lukisan yang terpampang di tembok. Juga terdapat rak buku di salah satu sisi ruangan. Di hadapan pintu masuk, terdapat sebuah meja dan kursi megah dengan jendela besar berbentuk klasik di belakangnya. Kursi itu membelakangi pintu masuk, menghadap ke jendela, dengan seseorang duduk di atasnya.
“Bos, sudah kami dapatkan anaknya,” kata salah satu penculik.
“Kerja bagus,” sahut seseorang di balik kursi. “Kalian berdua sekarang boleh keluar.”
“Baik, bos,” kata kedua penculik itu kompak seraya keluar dari ruangan itu.
Cklek! Begitu pintu ditutup dari luar, Mega langsung bertanya dengan keras. “Mau apa lu?”
Yang dipanggil bos itu tertawa dengan misterius. “Khukhukhu… Sudah banyak orang yang kuculik, tapi baru sekarang ada yang seberani kau. Kau memang aneh, tapi aku suka… khukhu…”
“Tunggu sebentar,” sahut Mega. “Maksud lu, lu nyulik orang-orang buat lu jadiin pelayan restoran?”
Orang itu kembali tertawa dengan lebih keras. “Khukhu… selain cantik, otakmu juga encer ternyata. Tapi semua itu nggak lagi berguna setelah kau kuhipnotis dan kujadikan pelayan!”
Sudah kuduga! Batin Mega. Pelayan-pelayan yang berkostum hantu itu dari awal memang aneh. Ekspresi mereka selalu terlihat datar dan tak pernah bicara. Namun Mega tak bisa lari lagi. Ia tak punya jalan keluar dan tangannya pun masih terikat.
“Tapi kenapa lu harus nyulik gua?” Mega memberanikan diri bertanya.
“Soalnya kau cocok untuk koleksi hantuku. Jujur saja, kau cantik. Sejak pertama melihatmu lewat CCTV, aku ingin menjadikanmu hantu suster ngesot!” jawab bos itu.
“Lu bener-bener sakit jiwa!” maki Mega.
Tiba-tiba bos itu beranjak dari kursi dan berbalik. Bos itu memakai jas hitam rapi dengan perut yang gemuk. Wajahnya penuh luka jahitan. Dahinya lebar mengkilat dan rambutnya penuh uban. Dan yang terlihat seram adalah matanya. Ia mengganti mata kirinya dengan batu permata berwarna merah.
“Tatap mataku!” perintah bos itu. Ia lalu mengeluarkan mantra. “Anak itik, kecebur di got. Gadis cantik, jadi suster ngesot!”
***
Sementara itu, keempat anak laki-laki itu tengah bersepeda menuju restoran Sambal Setan. Dari petunjuk yang mereka temukan, mungkin saja Mega diculik di sana. Namun semua itu masih “mungkin”. Itulah yang sedang dipikirkan oleh Erwin.
Sesampainya di restoran itu, semua masih terlihat biasa. Tak ada sesuatu yang janggal, sama seperti saat mereka ke tempat itu kemarin.
Mereka pun memarkirkan sepeda. Tapi melihat muka Erwin yang tampak memikirkan sesuatu, Surdi memanggilnya.
“Hei, Win,” katanya. “What’s wrong? We harusnya semangat buat nyelametin Mega from the devil of sambel.”
“Teman-teman, aku hanya berpikir,” kata Erwin pada yang lain. “Bagaimana kalau yang kita lakukan ini percuma? Maksudku mungkin saja Mega baik-baik saja dan semua yang kita lewati tadi hanya kebetulan. Mungkin kalau kata Surdi, ‘Life isn’t a movie’, hidup ini bukan seperti yang ada di film.”
“Nggak usah banyak mikir, Gan. Yang penting kita nyoba ngelakuin hal yang baik,” sahut Tofan.
“Betul kata Tofan, Win,” sambung Tommy. “Lagipula yang kita lakuin ini nggak percuma kok. Paling nggak kita jadi punya alasan buat bolos, hehe…”
“You salah, Win,” Surdi ikut menyambung. “I nggak pernah bilang kalau ‘life isn’t a movie’. Life… is… a movie… Kitalah tokoh utamanya. But, yang nentuin kelanjutan movie ini adalah we sendiri, entah we make it better or worse.”
“Mm… ya sudah, ayo kita selamatkan Mega sekarang,” sahut Erwin yang telah hilang pikiran buruknya. “Tapi bagaimana caranya?”
“Gue punya rencana, tapi kita butuh kerjasama tim. Jangan pikirkan tentang diri kalian sendiri, melainkan tentang kita dan misi kita ini,” kata Tofan sambil mengambil buku dan pulpen dari tas punggungnya.
Saat ia hendak menuliskan sesuatu di buku, Tommy tiba-tiba menghalanginya. “Tunggu, Fan,” katanya. “Demi kekompakan kita, tim kita perlu nama, hehe…”
Berlanjut ke Bab 5 (Tengah)...

Rabu, 16 Juli 2014

Bab 4: Tiada Mega di Langit & Bumi (Akhir)

Tiba-tiba di tengah jalan, Tofan mendengar seseorang memanggil namanya.
“FAAAN! TOFAAN!”
Saat Tofan mengerem sepedanya dan menoleh, ternyata orang yang memanggilnya itu Tommy. Tommy tampak berlari mengejar Tofan.
“Fan, lo ngapain di sini?” tanyanya.
“Kebalik, Tom. Harusnya gue yang nanya. Lo ngapain di sini?” Tofan bertanya balik.
“Anu, tadi gue kebelet buang air. Sial, kayaknya gara-gara nasi goreng setan kemarin. Jadi, gue turun di WC umum waktu naik bus tadi. Habis itu gue mau ke sekolah, tapi ga ada tumpangan. Masa jalan kaki? Untungnya, gue ketemu lo, Fan,” jelas Tommy.
“Oh gitu,” kata Tofan. “Tapi, gue lagi ada misi buat nolongin Erwin sama Mega. Gue nggak ada waktu buat nganterin lo sekolah.”
“Kalo gitu, gue nggak jadi ke sekolah, hehe… Gue ikut lo aja. Boncengin gue, ya? Bisa aja gue berguna di misi lo itu,” sahut Tommy yang sebenarnya malas ke sekolah.
“Ya udah deh. Gue kasihan sama lo.” Tofan akhirnya membolehkan Tommy membonceng berdiri di belakang. Mereka kemudian menghampiri Erwin yang telah lama menunggu.
Sesampainya di tempat kejadian, terlihat Erwin dan Surdi menunggu.
“Lho, ada Surdi juga?” tanya Tofan.
“Yes, Fan. Tadi I lihat Erwin lagi kebingungan. So, I am coming to help,” sahut Surdi.
“Bohong, Fan. Surdi cuma nyari alesan buat bolos,” kata Tommy asal.
“Itu kan you,” balas Surdi.
“Udah, nggak usah banyak bicara. Sekarang, mari kita selesaiin masalah ini. Coba ceritain semua yang lo tahu, Win,” kata Tofan.
Erwin bingung hendak bercerita dari mana. Ia sebenarnya malu jika mengaku ia habis dari padang rumput untuk melamunkan seorang gadis. Tapi demi menyelamatkan Mega, akhirnya ia buka mulut juga.
“Jadi, tadi sebelum aku hendak ke sekolah, aku pergi ke suatu tempat. Ternyata, aku dibuntuti Mega naik sepeda. Karena marah, aku menyuruhnya kembali. Ia berkata akan ke sekolah. Tapi saat aku lewat sini, aku melihat sepedanya tergeletak begitu saja,” jelas Erwin.
“Oh, begitu. Tapi Mega belum datang di sekolah. Apa dia diculik?” sahut Tofan. “Hmm… apa nggak ada petunjuk, ya?”
“Petunjuk…?” Tommy memandang sekeliling. Ia menemukan jam dinding di bawah pohon dekat trotoar. Ia pun memungutnya dan menunjukkannya pada yang lain. “Hei, temen-temen, gimana kalo jam dinding ini?”
“Jam dinding? Oh iya, mungkin itu jam yang dibeli Mega buat ngganti jam yang kita pecahin dulu,” sahut Tofan.
“Coba I lihat,” kata Surdi sambil merebut jam di tangan Tommy.
Di kaca jam itu, Surdi melihat simbol aneh yang ditulis dengan spidol.
“Ada symbol aneh di jam ini. Ini seperti letter ‘O’ and ‘C’ dengan arrow to the left di bawahnya,” kata Surdi. “And you tahu apa lagi yang aneh? The time. Harusnya sekarang masih seven o’clock lebih sedikit. Tapi di jam ini, sudah ten o’clock.”
“Apa Mega belum mbenerin waktunya, ya? Atau justru disengaja diubah?” Tommy menduga-duga.
“Pasti disengaja,” sahut Erwin. “Kalau Mega tidak sengaja menjatuhkan jam itu, pasti jam itu pecah kan? Dan yang lebih meyakinkan lagi adalah adanya simbol aneh yang ditulis Mega di jam itu. Artinya, Mega memberi kita petunjuk!”
“Untung lo temuin jam itu, ya, Tom?” kata Tofan.
“Udah gue bilang, Fan. Gue pasti berguna di misi lo, hehe…” ujar Tommy sok-sokan.
Tofan lalu melihat jam yang dipegang Surdi. “Ini bukan huruf ‘O’ dan ‘C’, Sur. Mungkin ini bentuk lingkaran dan bulan sabit.” Tofan berpendapat. “Wah, bener juga! Gue baru sadar. Ini lambang matahari dan bulan. Maksudnya adalah sehari. Dan anak panah yang mengarah ke kiri itu maksudnya ‘sebelum’. Berarti artinya adalah sehari sebelum ini!”
“Kemarin, ya? Kalau dipadukan dengan waktu di jam itu, berarti kemarin pukul sepuluh,” sahut Erwin. Mereka berempat lalu tersenyum karena tahu maksud dari teka-teki jam itu. “Kalian tahu di mana kita kemarin pukul sepuluh?”
“Restoran Sambal Setan!” seru mereka kompak.
 Berlanjut ke Bab 5 (Awal)...

Rabu, 09 Juli 2014

Bab 4: Tiada Mega di Langit & Bumi (Tengah)

“Mas, nanti terlambat, lho,” kata petani itu sambil menepuk pundak Erwin.
Erwin terkejut. Ia sebenarnya tak dengar apa yang dikatakan petani itu. Tapi melihat orang membawa sabit di hadapannya, Erwin langsung parno dan lari tunggang langgang. Dikira hendak dibacok, hehe…
Erwin berlari menuju sepedanya. Ia memakai kaus kaki dan sepatu, lalu segera mengayuh sepeda menjauh dari sana. Saat keluar dari gang, Erwin baru ingat untuk berangkat sekolah.
Sementara itu, Mega bersepeda menuju sekolah. Jalanan masih lumayan sepi. Kemudian dari arah berlawanan, melintas sebuah sedan hitam. Di dalam sedan itu ada dua orang pria seperti kemarin. Si sopir berbadan gemuk dan yang satunya cungkring.
“Hei, Bro! Lihat, itu cewek sasaran kita!” seru si cungkring.
“Mana?” tanya si gemuk. “Katanya bos, kita tangkep waktu pulang sekolah kan?”
“Bego lo! Kalo kita tangkep sekarang, bos akan tambah seneng kan?” sahut si cungkring. “Ayo balik arah! Kita tangkep sekarang.”
Mobil sedan itu berbalik arah, hendak mengejar Mega yang naik sepeda. Namun Mega sadar hal itu.
“Sedan item itu rasanya gua pernah lihat,” gumam Mega. “Oh iya, sedan itu kemarin ngikutin gua sejak dari Sambal Setan. Mencurigakan…”
Mega melajukan sepedanya dengan kencang, lalu berbelok ke sebuah jalan kecil.
“Kalo dugaan gua bener, mereka pasti akan ngikutin gua,” gumam Mega lagi.
Dan selang beberapa lama, mobil sedan itu memang mengikuti Mega. Mega pun melajukan sepedanya lincah, melewati jalan-jalan kecil, hingga mobil itu kesulitan mengejarnya. Mega akhirnya sampai di pinggir jalan besar, tapi dia telah lelah. Namun saat ia menengok ke belakang, mobil itu masih mengejar, hanya saja terjebak lampu merah.
Mega tampak berpikir. Ia lalu membuka tasnya, mengambil jam dinding baru itu. Dengan spidol di kotak pensilnya, ia mencorat-coret permukaan kaca di jam itu. Ia juga mengubah waktu di jam itu. Setelah itu, ia menjatuhkannya di pinggir jalan.
Tapi belum sempat Mega mengayuh sepedanya lagi, mobil sedan itu menghadangnya. Si cungkring keluar dari mobil itu dan tanpa bicara, menarik lengan Mega hingga sepedanya terjatuh.
“Apaan sih? Lepasin!” kata Mega sambil melawan tarikan tangan pria asing itu. Namun apa daya. Berapa kali pun Mega berteriak dan berusaha melepaskan tangannya, kekuatannya masih kalah jauh dengan pria itu. Orang-orang di sekitar Mega pun terlihat acuh dan bahkan cenderung menghindar.
Dengan mudah, Mega dimasukkan dan diikat di dalam mobil, lalu dibawa lari.
***
Erwin bersepeda dengan cepat menuju sekolah. Ia tak mau terlambat dan dikenai denda oleh Mega. Tapi pikiran Erwin justru tak fokus di sana, melainkan pada Kiran. Ia rindu dengan Kiran. Di tengah jalan, ia berbicara sendiri dengan sok puitis.
“Wahai mentari, sedang apakah dia di sana? Oh mega-mega yang menggantung di langit, kirimkan pesan rinduku padanya…”
Erwin menengadah ke langit. Namun, tiada awan yang menggantung.
“Tiada mega di langit? Apakah ini pertanda, bahwa pesan rinduku takkan sampai?” gumam Erwin. Si pendiam nan melankolis itu tak akan gila begini jika bukan karena Kiran.
Sedang enak-enaknya berbicara sendiri, Erwin dikejutkan oleh sepeda Mega di pinggir jalan. Sepeda itu tergeletak begitu saja, tidak terparkir dengan baik. Erwin kontan mengerem dan memeriksa sepeda Mega. Dan memang benar. Di badan sepeda itu tertempel dengan stiker sebuah nama: Megananda Indri.
“Lho, kenapa sepeda Mega ada di sini?” gumam Erwin heran. Ia pun menduga-duga. “Mungkin waktu bersepeda, ayahnya menghampiri naik mobil. Ia lalu diantar ayahnya ke sekolah. Tapi kalau begitu, sepedanya tidak akan dibuang seperti ini kan? Ah, dia kan kaya. Dibuang pun, bisa beli lagi. Atau jangan-jangan sepedanya dicuri? Eh, bukan. Mega diculik! Hmm… daripada bingung, lebih baik aku telepon seseorang yang sedang di sekolah. Mungkin Mega justru sudah di kelas. Ya, aku harus telepon Tofan.”
Erwin jadi panik. Ia mengambil ponsel di saku celananya, lalu menghubungi Tofan. Tak lama, terdengar suara Tofan di ponsel.
“Halo. Ada apa, Win?”
“Fan, Apa Mega sudah datang?” tanya Erwin.
“Mega belum datang sampai sekarang. Gue juga bingung. Dia biasanya kan yang paling disiplin. Kalau dia nggak masuk, harusnya ada surat izin kan? Tapi di sini nggak ada surat izin apa-apa,” jawab Tofan.
“Gawat,” kata Erwin tambah panik. “Fan, apa kamu bisa menghampiri aku sekarang? Aku sedang di sebelah utara perempatan dekat rumah sakit. Serius, ini penting. Mungkin Mega diculik.”
“Oke, Gan. Gue akan ke sana sekarang,” sahut Tofan tanpa pikir panjang. Ia kemudian mengakhiri panggilan dan segera ke tempat parkir. Ia mengambil sepeda lalu keluar sekolah demi menghampiri Erwin.
Sementara murid lain buru-buru masuk sekolah agar tak terlambat upacara, Tofan justru keluar sekolah. Pak Satpam sampai-sampai heran dan berseru: “Woy, mau ke mana kamu?!” Namun Tofan menghiraukan seruan itu. Ia segera pergi menghampiri Erwin.
Tofan dari dulu memang begitu. Ia selalu siap membantu jika dibutuhkan. Mungkin gara-gara terinspirasi film atau game karena ia selalu membayangkan bahwa setiap ada orang minta bantuan berarti ada misi yang harus dia selesaikan. Seperti saat ini.
Tiba-tiba di tengah jalan, Tofan mendengar seseorang memanggil namanya.
“FAAAN! TOFAAN!”
Berlanjut ke Bab 4 (Akhir)...

Rabu, 02 Juli 2014

Bab 4: Tiada Mega di Langit & Bumi (Awal)

M
EGA sudah lupa dengan kemarahannya pada keempat cowok yang memecahkan jam dinding kelas. Ia justru kini senang karena mendapat teman. Setiap minggu, ia bisa bersepeda dengan teman-temannya itu.
Pagi itu, Mega berkaca di kamarnya. Ia memakai seragam putih biru, lengkap dengan dasi, sabuk, serta sepatu hitam. Ia menyisir, lalu menjepit rambutnya. Kemudian ia mengambil jam dinding baru di atas meja. Jam dinding itu baru dibeli kemarin dengan uang kelas untuk mengganti jam yang telah pecah.
Jam itu masih menunjukkan pukul enam kurang seperempat, tapi mengapa Mega tampak begitu terburu-buru? Ia memasukkan jam itu ke dalam tasnya, lalu segera keluar dari kamarnya.
Di halaman rumah, Mas Bejo tengah mencuci mobil. Saat Mega keluar, ia terkejut melihat anak majikannya itu sudah siap berangkat sekolah.
“Lho, Non, mau berangkat sekarang? Udah sarapan apa belum?” tanya Mas Bejo.
“Udah, Mas. Tadi Mega bikin mi instan,” jawab Mega. “Tapi hari ini Mega mau berangkat naik sepeda. Nggak pa-pa, ya, Mas? Kalau ditanya Papah, bilang aja, Mega pingin naik sepeda buat ngurangin polusi dan dampak global warming di masa depan, hehe…”
“Non Mega emangnya nggak capek naik sepeda? Mas Bejo anter aja, ya?” bujuk Mas Bejo.
“Ah, nggak usah. Mas Bejo emangnya nggak capek nganterin Mega terus tiap pagi?” Mega bertanya balik.
Sementara Mas Bejo diam tak bisa menjawab, Mega mengambil sepeda dari dalam garasi. Ia naik sepeda, lalu mengayuhnya keluar dari rumah sambil pamit dengan Mas Bejo. “Duluan, ya, Mas!” begitu serunya.
Karena kejadian kemarin, Mega jadi senang bersepeda. Memang lebih enak kalau ada temannya, tapi sendirian pun rasanya menyenangkan bagi Mega. Ia bisa merasakan semilir angin, memandang kejadian di masyarakat, juga bisa merasakan keringat yang membuat sehat.
Di tengah perjalanan, Mega melihat Erwin bersepeda.
“Aneh,” gumam Mega. “Rumah Erwin kan bukan di sekitar sini. Lagipula buat apa dia bersepeda pagi-pagi dan justru menjauh dari sekolah? Gua buntutin aja, deh, hihi…”
Mega pun membuntuti Erwin dari belakang. Untungnya Erwin tak menyadari kehadiran cewek iseng itu. Namun kian lama, Mega kian penasaran. Erwin masuk ke jalan-jalan yang belum pernah Mega lalui. Dan penasarannya itu makin bertambah saat Erwin masuk gang dengan papan jalan bertuliskan “Gang Buntu”.
“Gang Buntu…?” gumam Mega. “Kalau buntu, berarti udah mau sampai. Tapi kira-kira ngapain, ya, Erwin ke sini?” Mega yang kepo menduga-duga sambil terus membuntuti.
Sesampainya di ujung gang, Erwin terlihat memarkirkan sepedanya, lalu melepas sepatu dan kaus kakinya. Ia kemudian berjalan maju tak gentar meski tanpa alas kaki.
Mega mengerem sepedanya. Ia bingung dengan kelakuan Erwin. Sebagian jiwanya yang disiplin berkata untuk membiarkan Erwin dan segera berangkat sekolah agar tepat waktu, namun jiwa keponya yang kuat mengalahkan itu. Ia pun menuntun sepedanya perlahan, lalu melakukan hal yang sama dengan Erwin.
Tapi belum sempat ia melepas alas kakinya, ia sudah takjub dengan pemandangan di depan matanya. Ia baru tahu ada daerah seperti itu di kotanya. Padang rumput luas yang penuh dengan bunga, terkepung oleh sawah-sawah yang asri. Dengan segera, ia pun melepas alas kakinya, lalu menuju ke padang rumput tersebut.
Terlihat Erwin tengah duduk di saung yang ada di sana. Matanya mengembara. Ia tampak melamunkan sesuatu sampai-sampai tak sadar kalau ada yang membuntutinya dari tadi.
Mega perlahan berjalan ke arah Erwin. Ia hendak mengejutkan Erwin. Ia pun melompat ke hadapan Erwin sambil berseru, “Dor!”. Wajahnya tampak riang. Tak pernah sekali pun Mega terlihat begitu di kelas.
Erwin sangat terkejut melihat kehadiran Mega. “Kamu bagaimana bisa sampai ke sini?” tanya Erwin.
“Gua tadi mbuntutin lu,” sahut Mega sambil menjulurkan lidah. “Hayo, mau ngapain ke tempat romantis kayak gini?” goda Mega.
“Tak ada apa-apa. Bukan urusanmu,” sahut Erwin cuek.
“Pasti nunggu pacar, ya?” goda Mega lagi.
“Bukan urusanmu,” sahut Erwin lagi.
“Pacar lu pasti minta ketemuan di sini, terus berangkat sekolah bareng naik sepeda. Wah, mesra banget,” kata Mega sok tahu.
“Sudah kubilang bukan urusanmu. Kamu merusak suasana saja,” jawab Erwin tajam.
Mendengar itu, ekspresi Mega tak lagi riang. Ia diam.
“Maaf, Meg, kalau kata-kataku buat kamu sakit hati. Aku hanya sedang ingin sendirian,” lanjut Erwin.
“Oh, iya, nggak pa-pa kok. Harusnya gua yang minta maaf,” sahut Mega berusaha tersenyum. “Gua berangkat sekolah dulu, Win.”
“Iya,” jawab Erwin singkat.
Erwin tetap duduk di saung itu sambil melihat rerumputan dan sawah-sawah. Ia memikirkan saat pertama kali di sini dengan Kiran.
Kiran itu bisa dibilang cinta masa kecil Erwin. Banyak kenangan dengan Kiran yang masih diingat Erwin sampai sekarang. Mereka berdua terkadang bermain di padang rumput itu. Mereka sering memanjat pohon, bermain layang-layang, atau sekadar bersepeda bersama. Namun sejak setahun yang lalu, Kiran pindah rumah ke Jakarta. Ia  meninggalkan sebuah jam weker putih yang selalu Erwin simpan di kamarnya.
“Hmm… kenangan yang manis,” gumam Erwin yang melankolis itu. “Entah kapan Kiran akan kembali, tapi aku akan menunggunya. Aku ingin bertemu dengannya.”
Di saung itu, Erwin senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Seorang petani yang lewat sampai kebingungan. Ia memakai caping dan membawa sabit. Petani itu tahu kalau ini sudah waktunya anak-anak masuk sekolah. Ia pun mencoba menyadarkan Erwin.
“Mas, nanti terlambat, lho,” kata petani itu sambil menepuk pundak Erwin.
Erwin terkejut. Ia sebenarnya tak dengar apa yang dikatakan petani itu. Tapi melihat orang membawa sabit di hadapannya, Erwin langsung parno dan lari tunggang langgang. Dikira hendak dibacok, hehe…
Berlanjut ke Bab 4 (Tengah)...