Rabu, 26 Maret 2014

Quotes The Rangers 2

D
I bawah ini ditampilkan beberapa quote atau kutipan kata-kata dari tokoh-tokoh dalam serial The Rangers yang kedua. Tunggulah petualangan-petualangan The Rangers selanjutnya yang lebih seru!
AI
  • “Saya suka yang gak perlu basa-basi, tapi saya lebih suka kamu.” –kepada Tommy.
ERWIN
  • “Jangan, Tom. Lebih baik kamu buat sendiri. Kalau aku yang membuat, namanya bukan dari usahamu sendiri.” –saat Tommy meminta dibuatkan puisi.
MAYA
  • “Ngapain lo urusin urusan gue? Ini cara gue, dunia gue. Lo semua nggak bakal paham.”
PAK FERRY
  • “I have 3 reasons to prove that girlfriend and boyfriend are the future-destroyer. First, they waste your money. Second, they waste your time. And third, they waste your energy. So, being single is better to reach our future.” –saat memberi contoh exposition text.
RAITA
  • “Yah, cita-cita itu nggak bisa dipaksa.” –kepada ayahnya. 
  • “Kita itu manusia, Yah, pasti punya salah. Tapi aku bisa ngebuktiin kalau cita-citaku bukan angan-angan kosong.” –kepada ayahnya.
SURDI
  • “Ai, nggak ada yang true or false in love.” –kepada Ai yang introspektif.
TOFAN
  • “Tommy aja bisa pacaran, masa gue nggak?” 
  • “Kamu pasti udah punya banyak celana kan? Mending kita beli yang kita butuhin, bukan yang kita pingin.” –kepada Maya saat hendak membeli celana. 
  • “Namanya juga Indoresto, ya dari Indonesia. Lagipula dari hal kecil ini, kita bisa belajar mencintai produk negeri sendiri.” 
  • “Aku nggak suka nonton film. Soalnya kita cuma sebagai penonton, bukan pelaku.” 
  • “Pacaran itu bikin kita punya banyak pengalaman jadi remaja.”
TOMMY
  • “Dasar, guru yang harusnya jadi teladan malah nggak disiplin.” –saat menunggu Pak Ferry, guru bahasa Inggris datang. 
  • “The ingredient is only one, ‘yaitu’ love feeling to a girl. The steps are:
    • First, you must ‘kenalan’ with her. 
    • Then, you must have her phone number and you must add her social network accounts.
    •  Stalk her and find what she likes and dislikes. 
    • Be care to her and build a relationship.
    •  Say your feeling to her.
    •  You may also give her a gift and see what will she react.” –saat mempresentasikan How to Have a Girlfriend.
  • “Hidup gue, cara gue.”
  • “Ah, nggak usah pesimis gitu. Kalau Ai-chan percaya bisa, Ai-chan bisa.” –saat memotivasi Ai yang grogi karena hendak lomba. 
  • “Menurut gue, setiap hal punya dampak positif sama negatifnya. Nggak ada yang positif aja, atau pun negatif aja.” 
  • Pacaran itu termasuk tahap kehidupan, tahap remaja yang mesti kita lewati biar jadi lebih dewasa.” 
  • “Kita butuh ‘rem’. Rem untuk nggak kebanyakan pacaran dan lihat-lihat situasi kondisi saat pacaran. Juga rem untuk nggak ngelupain kewajiban-kewajiban kita. Sama yang terakhir, rem supaya kita nggak kebablasan pacarannya. Caranya yaitu selalu inget sama Sang Pencipta.” –saat diwawancarai Raita soal pacaran.

Rabu, 19 Maret 2014

Remaja & Pacaran Bagian 4

Beberapa menit kemudian, Emak datang membawa nampan. Di atasnya ada sepiring sarapan, sebotol air minum, obat kapsul, dan kompres demam.
“Daripada ngomong-ngomong nggak jelas, mending kamu makan nih sarapan. Minum yang banyak, udah Emak siapin sebotol. Abis itu minum obat, pake kompres, terus istirahat lagi.”
“Iya, Mak,” sahut Tommy. Tiba-tiba saja, hatinya tergerak untuk bertanya. “Maak, boleh nanya?”
“Nanya apaan?” Emak balas bertanya dengan lagak cuek.
“Emak… Emak pernah pacaran?”
Emak nyengir mendengar Tommy bertanya. “Ya pernah lah, masa ketemu Bapak langsung nikah? Tapi sebelum sama Bapak emang belum pernah pacaran, sih. Soalnya kata almarhum kakek kamu dulu, jangan pacaran dulu waktu sekolah. Mungkin karena faktor nggak laku juga kali, ya, hehe… Tapi kalo dulu waktu SMA ada cowok yang nembak, mungkin bakal Emak terima kali. Soalnya dulu kan temen-temen Emak udah pada pacaran, masa Emak belum? Gengsi dong. Yaa, namanya darah muda.”
“Hehe, ya udah, Mak. Tommy sarapan dulu,” ujar Tommy.
“Hmm… bocah aneh,” gumam Emak sambil keluar membawa nampan kosong.
Tommy makan sambil terus memikirkan kata-kata Emak tadi. Ia tersenyum dan merasa sudah mulai paham.
***
Tok, tok, tok! Terdengar suara pintu rumah Tommy diketuk. Emak Tommy yang baru selesai memasak pun cepat-cepat membukakan pintu. Setelah membuka pintu, tampaklah anak-anak berseragam putih abu-abu di hadapannya. Mereka adalah Erwin, Surdi, Tofan, Kunti, Raita, dan Ai.
“Eh temen-temennya si Tommy, ya? Ayo, masuk dulu,” kata Emak mempersilakan mereka. “Ada acara apa, nih, rame-rame ke sini?”
“Nggak pa-pa, Tante. Cuma mau njenguk Tommy aja,” sahut Tofan.
“Ah, padahal baru nggak masuk sehari, repot-repot ke sini segala,” ujar Emak ramah.
“Hihi… Nggak repot kok, Tante,” sahut Kunti. “Ngomong-ngomong, Tommy ada di rumah, Tante?”
“Iya. Dia lagi di kamarnya. Biar Tante panggilin,” kata Emak sambil kemudian pergi ke belakang. “Toom, keluaar. Di depan ada temen-temenmu, tuh,” panggil Emak dengan keras dari luar kamar.
“Hah, temen-temen?” gumam Tommy.
Tommy yang semula tiduran di ranjang langsung terbangun dan cepat-cepat keluar kamar. Panasnya sudah turun sedikit. Ia pun melepas kompresnya dan dengan lincah langsung menuju ruang tamu.
“Lho, kalian ngapain kemari?” tanya Tommy.
“Njenguk you lah. And mau tell you something aja,” jawab Surdi.
“Ai mendapat juara satu lomba tadi, Tom,” sambung Erwin. “Beri selamat dong, Tom.”
“Wah, juara satu? Selamat ya, Ai-chan.” Tommy menghampiri Ai, lalu menyalaminya. Namun, ekspresi Ai justru cemberut. “Mukanya Ai-chan kok gitu? Harusnya kan seneng.”
“Gimana saya senang kalau pacar saya ternyata sakit?” tutur Ai.
“Hehe… maaf, ya, Ai-chan. Aak Tommy nggak ngasih tahu dulu, soalnya takut kalo Ai-chan kepikiran terus nggak fokus sama lombanya.”
Ai menempelkan tangannya ke dahi Tommy. “Nggak pa-pa, panasnya udah turun kok,” kata Tommy menenangkan.
“Oh iya, Tom. Wawancara yang kemarin gue lanjutin, ya, hehe… Sori buru-buru plus mendadak, soalnya bentar lagi udah mau dikumpulin,” ujar Raita.
“Iya, nggak pa-pa. Gue siap diwawancarai kapan pun,” sahut Tommy sok-sokan. “Eh, Ai-chan nggak cemburu, kan?”
“Enggak, Tommy-kun. Nggak pa-pa kok, aku yang salah. Aku yang harusnya introspeksi,” sahut Ai.
“Ai, nggak ada yang true or false in love,” Surdi tiba-tiba menanggapi.
“Bener, Sur. Gue setuju,” dukung Tommy.
“Oke, Tom. Pertanyaan gue mulai. Dalam berpacaran, menurutmu, lebih banyak mana dampak positif dengan negatifnya?” tanya Raita.
Tommy tersenyum kemudian menjelaskan pemikirannya. “Menurut gue, setiap hal punya dampak positif sama negatifnya. Nggak ada yang positif aja, atau pun negatif aja. Contohnya nyontek. Nyontek emang perbuatan yang buruk, tapi ada dampak positifnya, misalnya ngelatih otot mata, bikin taktik atau strategi, dan lain-lain, hehe… Sama kayak pacaran. Pacaran mungkin ngabisin duit, waktu, tenaga, tapi apa pacaran sepenuhnya jelek? Enggak. Pacaran itu termasuk tahap kehidupan, tahap remaja yang mesti kita lewati biar jadi lebih dewasa.”
“Oke. Tapi Anda tentu nggak bisa memungkiri kalo pacaran punya dampak buruk. Nah, bagaimana cara Anda menghilangkan atau mengurangi dampak buruk tersebut?”
“Lo juga nggak bisa mungkirin kalo hampir setiap remaja pernah ngalamin yang namanya pacaran. Mereka ngelakuin itu soalnya udah ada sifat-sifat alami remaja dalam diri mereka. Kita nggak bisa ngilangin pacaran mereka. Cuma, kita butuh ‘rem’. Rem untuk nggak kebanyakan pacaran dan lihat-lihat situasi kondisi saat pacaran. Juga rem untuk nggak ngelupain kewajiban-kewajiban kita. Sama yang terakhir, rem supaya kita nggak kebablasan pacarannya. Caranya yaitu selalu inget sama Sang Pencipta,” jelas Tommy panjang lebar.
“Jawaban yang sangat memuaskan, Tommy. Pertanyaannya udah selesai. Makasih, ya,” kata Raita sambil mencatat dalam catatan kecil.
“Iya, sama-sama.”
Tiba-tiba Emak muncul membawa nampan berisi gelas-gelas minuman. “Pada ngomongin apa, sih? Kayaknya seru banget. Tommy sampe keliatan udah sehat lagi. Silakan diminum dulu, gih.” Emak mempersilakan minum sambil menaruh gelas-gelas di atas meja.
“Iya, gak usah repot-repot, Tante,” kata Ai sungkan.
“Nggak repot kok. Ngomong-ngomong, kamu cantik. Kayaknya cocok sama anaknya Tante,” goda Emak sambil nyengir.
Ai pun tersipu malu.
TAMAT

Rabu, 12 Maret 2014

Remaja & Pacaran Bagian 3

Malam itu, Tommy pun menemani Ai latihan berpidato. Mereka berdua saling bercanda dan tertawa di sana. Mereka juga sempat duduk-duduk di halaman rumah, memandangi bintang-bintang yang berkedip dan bulan yang tersenyum ke arah mereka. Dunia seakan hanya milik mereka berdua.
“Udah, yuk, main-mainnya. Udah malem. Aku latihan pidato sekali lagi, terus Tommy-kun yang jadi juri. Minumnya juga dihabisin, ya, Tommy-kun,” kata Ai-chan.
Ai dan Tommy pun dari halaman masuk ke ruang tamu rumah. Tommy mendengarkan pidato Ai sambil duduk di kursi dan menyeruput teh buatan pacar.
“I think that’s all. Thanks for your attention. And the last, good morning!” Ai mengakhiri pidatonya yang panjang. “Gimana, Tommy-kun? Lho, Tommy-kun?”
Terlihat di hadapan Ai, Tommy telah tertidur sambil mendengkur. Ai pun mengguncang-guncang bahunya. “Tommy-kun, jangan tidur di sini. Ayo, kuantar pulang,” kata Ai.
“Hah? Gue di mana…? Ai-chan…, kamu cantik banget,” Tommy bicara ngelantur setengah tidur.
Karena usahanya tidak berhasil, Ai pun mencoba dengan cara lain. Ia memercik-mercikkan air ke wajah Tommy. Akhirnya, Tommy sadar juga.
“Lho, Ai-chan? Udah jam berapa ini?” tanya Tommy.
“Hampir setengah sepuluh. Tommy-kun segera pulang gih.”
“Iya, Ai-chan. Aku pulang dulu, ya,” pamit Tommy.
“Eh, Tommy-kun gak capek? Nanti kalau di tengah jalan ketiduran gimana?” tanya Ai.
“Boleh minta botol isi air, nggak? Biar nanti kalau ngantuk di tengah jalan, wajahku bisa kuusap sendiri pakai air.”
Tak lama kemudian, Tommy pulang dari rumah Ai berbekal sebotol air. Dugaannya sendiri memang benar. Dalam perjalanan, ia sempat beberapa kali mengantuk. Tapi syukurlah, ia dapat sampai rumahnya dengan selamat meski masalah lain baru datang.
“TOMMY!” panggil Emaknya galak. “Dari mana aja kamu? Dasar anak bandel!”
***
Sudah pukul enam pagi lebih dan Tommy masih mendengkur di kamarnya. Emak sudah mengetuk pintu kamarnya sepuluh menit yang lalu, tapi tidak digubris oleh Tommy. Karena khawatir, Emak pun menggedor-gedor pintu kamar Tommy lagi.
“Tom, bangun! Nanti telat lho.”
Di kamarnya, Tommy hanya menggeliat. Karena tak mendapat jawaban, Emak pun langsung masuk kamar Tommy.
“Maak…” panggil Tommy lirih, masih terbaring di kasur.
“Apaan sih, Tom?” sahut Emaknya sambil lalu duduk di kasur. “Cepetan mandi terus sarapan, gih.”
“Badan Tommy rasanya nggak enak.”
“Huh, sini Emak periksa.” Emak menempelkan tangannya ke dahi Tommy. Dahi Tommy terasa hangat. “Kamu nggak usah masuk, deh. Istirahat aja di rumah. Salah kamu sendiri semalem ngeluyur nggak jelas, naik sepeda lagi. Masuk angin kali.”
“Istirahat di rumah? Tommy nggak boleh keluar-keluar, nih?” tanya Tommy polos. Tapi melihat tangan Emak mengepal, ekspresi jahil Tommy berubah drastis. “Eh, iya-iya, Mak. Tommy bakal di rumah aja.”
“Ya udah, Emak mau bikin surat izin dulu. Habis itu Emak anter ke rumahnya si Tofan,” kata Emak sambil keluar dari kamar Tommy. “Awas, ya, jangan kabur lagi.”
Di kamarnya, Tommy berpikir. Ia sebenarnya hendak memberitahu Ai tentang ini, tapi takut kalau Ai khawatir dengannya dan tidak fokus pada lombanya pagi ini. Tommy juga menyesal tidak bisa melihat Ai berpidato secara langsung. Alhasil, Tommy beralasan sekenanya pada Ai.
Tommy      :  Ai-chan, maaf, ya. Aak Tommy nggak jadi lihat pidatonya Ai-chan langsung, soalnya Emak udah curiga.
Ai         :  Oh, ya udah, nggak pa-pa. Pasti gara-gara semalem, ya? Kalau semalem ibunya Tommy-kun tahu pasti marah-marah itu.
Tommy      :  Emang tahu dan emang marah-marah, Ai-chan. Makanya, Aak Tommy takut.
Ai         :  Oh, maaf, ya, Tommy-kun. Ya sudah, Tommy-kun ke sekolah dulu, nanti terlambat.
Tommy      :  Iya, Ai-chan. Ai-chan yang semangat, ya, lombanya.
Setelah itu, Tommy menaruh ponselnya di atas meja kamar. Biasanya jika libur, pagi-pagi begini Tommy belum bangun. Sudah bangun pun, ia pasti ketiduran di sofa dengan menghadap TV yang masih menyala. Namun kali ini, Tommy benar-benar malas tidur lagi atau menonton TV. Kali ini ia menarik selimutnya karena tubuhnya merasa panas dingin, lalu melihat langit-langit kamar yang balas menatap.
Tommy sebenarnya bukan tipe orang yang suka bermimpi atau melamun macam Erwin. Tapi sekarang entah kenapa, ia ingin melakukannya. Mungkin karena tak tahu hendak melakukan apa, atau karena sedang demam.
 Tommy tiba-tiba teringat Raita. Katanya, Raita akan melanjutkan wawancaranya kemarin. Tapi berhubung Tommy hari ini tidak masuk, hendak bagaimana lagi?
“Raita…?” Tommy menggumam sambil nyengir-nyengir sendiri. “Karya ilmiahnya unik. Hubungan remaja sama pacaran. Emangnya apa hubungannya?”
Tommy juga kemudian ingat dengan pelajaran Pak Ferry setelah itu. Ia ingat contoh exposition text milik Pak Ferry.
“Pak Ferry…,” gumamnya lagi. “Kata dia, pacaran itu future-destroyer, penghancur masa depan. Ngabisin duit, waktu, dan tenaga. Hehe… mungkin emang bener, tapi kok bisa, ya? Padahal tiap remaja hampir semua pernah pacaran.”
Tiba-tiba terlintas suatu pemikiran di otak Tommy. “Oh, iya, ya. Kalo Raita sama Pak Ferry bilang pacaran itu buruk, kenapa di kenyataannya, hampir semua remaja pernah pacaran? Para remaja mungkin emang tahu kalau pacaran itu nggak baik, tapi mereka tetep ngelakuinnya. Apa mungkin mereka pura-pura nggak tahu? Tapi apa alasannya? Gue kan remaja yang pacaran, harusnya tahu dong.”
Beberapa menit kemudian, Emak datang membawa nampan. Di atasnya ada sepiring sarapan, sebotol air minum, obat kapsul, dan kompres demam.
Berlanjut ke Bagian 4...

Rabu, 05 Maret 2014

Remaja & Pacaran Bagian 2

“Yaah, istirahat udah selesai, Tom. Dilanjutkan besok, ya? Cuma kurang beberapa pertanyaan aja. Maaf, buru-buru, soalnya habis ini gue ada ulangan,” kata Raita sambil meninggalkan kelas Tommy.
Setelah ini ada jam bahasa Inggris. Meski Pak Ferry belum datang, Tommy tak ingin mengulangi kesalahannya. Nanti bisa-bisa ia tidak fokus dan ditanyai lagi. Ia pun pergi ke bangku sebelah Erwin untuk menemaninya.
“Apa kamu tidak di sebelah Ai saja? Sepertinya dia marah,” kata Erwin.
“Marah kenapa?” tanya Tommy.
“Tidak tahu.”
Tommy memandang Ai di bangku seberang. Perkataan Erwin mungkin benar. Muka Ai terlihat ditekuk. Bibirnya sedikit manyun dan pipinya jadi tambah tembem. Mirip Flappy Bird, hehe…
“Ai-chan,” panggil Tommy. “Ai-chan kenapa?”
“Nggak pa-pa,” sahut Ai-chan masih dengan muka Flappy Bird.
Tommy pun menghampiri Ai. Di sebelahnya, Kunti memalingkan muka dengan cuek.
“Ai-chan kenapa?” tanya Tommy lagi.
“Habisnya saya dicuekin,” sahut Ai-chan.
“Kan lagi ditanya-tanya Raita. Masa nggak dijawab?”
“Gak,” jawab Ai-chan kesal.
“Terus yang jawab siapa?”
“Ya udah, Tommy-kun urusin Raita aja.”
“Hiih… pipinya Ai-chan kucubit, lho,” kata Tommy gemas.
“Cubit aja pipinya si Raita,” sahut Ai lagi.
“Huh.” Tommy sudah lelah menanggapi. Meski ia sudah biasa menghadapi sifat Ai yang seperti ini, lama-lama capai juga. Ia kembali ke bangku sebelah Erwin dengan muka masam.
Tak lama, Pak Ferry masuk ke kelas dengan tas selempang hitamnya. Ia pun melanjutkan pelajaran yang kemarin. Setelah itu, ia memberi tugas untuk membuat exposition text.
“Make your own exposition text. Every child has to make one,” perintah Pak Ferry di depan kelas. “I will give you an example. The title is ‘Girlfriend and Boyfriend, the Future-Destroyer’. That title is good and interesting. Then, you should write the reasons. For example, ‘I have 3 reasons to prove that girlfriend and boyfriend are the future-destroyer. First, they waste your money. Second, they waste your time. And third, they waste your energy. So, being single is better to reach our future.’…”
“Kenapa, ya, hari ini topiknya sisi buruk pacaran mulu?” gerutu Tommy. “Habis diwawancara Raita, Pak Ferry juga ngomongin ginian. Apa jangan-jangan emang buruk buat masa depan, ya?” Tommy memandang Ai-chan sambil berpikir.
***
Malam harinya, Tommy SMS-an dengan Ai seperti biasa. Tapi kali ini, Ai masih ngambek sedikit. Tommy pun mencoba menetralkan suasana.
Tommy      :  Ai-chan ngambeknya kenapa? Maafin Aak Tommy dong.
Ai         :  Iya, Tommy-kun, nggak pa-pa. Saya yang harusnya minta maaf soalnya udah bikin Tommy-kun susah. Sebenarnya saya cuma takut.
Tommy      :  Takut kenapa?
Ai         :  Besok kan saya lomba. Saya takut kalau blank. Saya grogi.
Tommy    :  Udah, nggak usah grogi, Ai-chan. Aak Tommy yakin Ai-chan bisa kok. Yang penting percaya sama diri sendiri. Kalau Ai-chan yakin bisa, Ai-chan bisa.
Ai         :  Tapi, masih takut.
Tommy    :  Ya udah, apa yang bikin Ai-chan nggak takut? Aak Tommy turutin. Besok Aak Tommy liat pidatonya Ai deh, buat support.
Ai         :  Tapi, besok kan Tommy-kun sekolah.
Tommy    :  Ah, itu urusan gampang. Udah nggak takut kan? Udah di-support langsung sama Aak Tommy, lho.
Ai         :  Masih takut.
Tommy      :  Terus pinginnya gimana? Aak Tommy bingung.
Ai         :  Pingin latihan bareng Tommy-kun.
Melihat SMS balasan Ai, muncul ide gila di pikiran Tommy. Ia pun mengetik di HP-nya. “Sebentar, ya, Ai-chan.” Kemudian, ia keluar kamar, menguncinya dari luar, dan mengendap-endap menuju garasi rumah. Malam itu masih pukul setengah 8 malam dan orangtuanya tengah bersantai menonton TV.
Sesampainya di garasi, Tommy mendapati sepeda motor ayahnya terparkir. Tapi sewaktu hendak mengeluarkannya dari garasi, Tommy baru ingat sesuatu. Kuncinya tak menempel di sana. Pasti kunci itu ada di meja ruang tengah.
“Kalo gue balik buat ngambil kunci itu, bisa jadi Bapak sama Emak nanyain dan curiga. Gimana, ya?” Tommy berpikir. “Ya udahlah, gue naik sepeda aja.”
Akhirnya, tanpa membawa apa-apa dan hanya memakai sandal, kaos, dan celana pendek, Tommy naik sepeda hendak menuju rumah Ai. Idenya itu memang kadang-kadang berisiko dan kurang kerjaan. Tapi sekali dia bertekad melakukan sesuatu, keinginannya itu sulit untuk digoyahkan.
Sesampainya di rumah Ai, Tommy malah kebingungan. Ia tak berpikir panjang. Jika pintu ruang tamu itu dia ketuk dan orangtuanya yang keluar, bagaimana? Tapi Tommy ternyata beruntung. Belum sampai dia mengetuk pintu, Ai keluar dari ruang tamu untuk menemuinya. Ternyata Ai sedang berlatih pidato di ruang tamu.
“Lho, Tommy-kun?” Ai terkejut.
“Halo, Ai-chan,” sapa Tommy.
“Ngapain ke sini? Malem-malem, lho, gak pakai jaket, pakai celana pendek pula,” omel Ai.
“Habisnya Ai-chan bilang mau ditemenin, ya Aak Tommy ke sini buat nemenin,” ujar Tommy.
“Tapi gak gini juga kali, Tommy-kun,” sahut Ai. “Ya sudah, saya siapkan minum dulu. Tommy-kun pasti haus habis naik sepeda.”
Malam itu, Tommy pun menemani Ai latihan berpidato. Mereka berdua saling bercanda dan tertawa di sana. Mereka juga sempat duduk-duduk di halaman rumah, memandangi bintang-bintang yang berkedip dan bulan yang tersenyum ke arah mereka. Dunia seakan hanya milik mereka berdua.
Berlanjut ke Bagian 3...