Sabtu, 17 Agustus 2013

Konser Bagian 3

Tiba-tiba kembali muncul suara yang lain. “Hihihihi….” Terdengar lengkingan yang menyeramkan.
“Oh my gosh!” Surdi merinding lagi. Ranger lain jadi ikut-ikutan merinding.
“Makasih, ya, udah nyelametin Franky, kucing gue,” kata sesosok cewek berambut panjang. “Franky emang suka manjat-manjat, tapi suka bingung sendiri turunnya gimana. Kucing aneh memang.”
“Kamu… Kunti kan?” sahut Erwin sambil menyerahkan kucing itu.
“Hihihihi… Dari tadi ngeliat kalian, bawaannya ketawa melulu. Muka kalian waktu ketakutan lucu,” sahut Kunti sambil menahan tawa.
“Oh, jadi selama ini lo. Gue udah curiga sebenernya. Mana bisa kuntilanak facebook-an?” tambah Tommy.
“Ada apa emangnya?” tanya Kunti bingung. Ia menurunkan Franky dari gendongannya.
“Itu, temen gue, Surdi. Katanya janjian sama kuntilanak mau liat konser.” Tommy menunjuk Surdi yang bersembunyi di balik tubuh Tofan.
Surdi jadi sedikit malu. Ia berdeham, lalu menemui Kunti. Ia bisa melihat dengan jelas kaki Kunti menyentuh tanah. “Jadi, you manusia?”
Kunti menghela nafas. “Untung gue sabar. Iya, gue manusia,” kata Kunti. “Sori, sebenarnya gue salah orang waktu chattingan dulu. Gue kira lo Agus, temen gue sekelas yang gendut tapi tajir itu.”
“Iya, it’s okay,” sahut Surdi. “So, kita jadi pergi ke konser, nggak?”
“Tapi naik apa, Gan? Masa mau boncengan 3 orang?” tanya Tofan.
“Ah, kalian nggak canggih sih.” Kunti mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. “Orangtua gue lagi nggak ada di rumah, jadi gue bebas makai mobilnya. Hihihi…”
The Rangers lalu diajak masuk rumah berwarna merah terang. Kunti pun membuka garasi, kemudian menyiapkan mobilnya.
Surdi bertanya-tanya dalam hati karena Kunti sendiri berkata kalau rumahnya berwarna hijau bukan merah. “Ini rumah you?” tanyanya.
“Iya. Kenapa?” Kunti balik bertanya.
“Katanya yang warna ijo?” balas Surdi.
“Emang warnanya ijo kan?”
Surdi mengucek-ucek matanya, tapi matanya tidak salah. Warna dinding rumah Kunti tetap saja merah. Maybe ada gangguan di penglihatan Kunti, batin Surdi.
Tak lama kemudian, Kunti dan keempat Ranger sudah berkendara dengan mobil. Sepeda motor dan vespa mereka dititipkan di rumah Kunti.
“Emangnya lo punya SIM, Kun?” tanya Tofan yang duduk di kursi depan.
“Lo manggilnya nggak enak banget. SIM belum punya sih. Cuma pernah diajari naik mobil aja, tapi nggak pernah sampai jalan raya. Ini pengalaman pertama, lho,” sahut Kunti santai.
Ranger lain saling berpandangan. Mereka takut terjadi apa-apa, tapi Kunti menenangkan. “Nggak pa-pa, gue ahli kok.”
Saat lampu lalu lintas berwarna merah, Kunti main terobos saja. Hampir saja mobilnya tertabrak. “Eh Kun, tadi kan lampunya warna merah,” kata Tofan dengan nada tinggi.
“Bukannya tadi warna ijo?” sahut Kunti lagi dengan santai.
Surdi merasa ada yang tidak beres. Ia berbisik-bisik dengan Tommy dan Erwin yang ada di sebelahnya. “Kayaknya Kunti buta warna deh,” bisik Surdi.
“Hah? Mampus kita,” sahut Tommy.
Tapi tiba-tiba saja, di tengah jalan mobil Kunti berhenti. Ternyata bensin mobilnya habis. Tentu saja hal ini membuat kesal pengendara lain. Klakson-klakson pengendara lain berbunyi gaduh dari belakang. Terpaksa mereka semua mendorong mobil tersebut. Untunglah, di dekat situ ada pom bensin sehingga mereka tak perlu capai-capai mendorong terus.
“Kayaknya ini disengaja orangtua gue biar gue nggak makai mobilnya. Sial!” gerutu Kunti lagi.
“I bener kan. Kucing hitam itu membawa sial,” tambah Surdi.
Setelah sampai pom bensin, Kunti pun mengisi bensin mobilnya. Erwin, Tommy, dan Tofan pergi ke minimarket SPBU tersebut untuk membeli minuman, sedangkan Surdi tetap di mobil karena dompetnya sedang krisis.
Tapi sewaktu berada di minimarket tersebut, mata Erwin melihat suatu kejanggalan. Ia seperti melihat sosok Kiran di sana. Tapi mana mungkin? Bukankah Kiran sedang di alun-alun untuk ikut konser?
“Win, lo bawa uang banyak, nggak? Gue sebenernya nggak bawa uang, nih,” kata Tommy menghampiri Erwin. Tapi Erwin tidak menggubris Tommy. “Win, lo liat apa sih?” tanya Tommy, tapi kembali tidak digubris.
“Erwin!” panggil Tommy setengah berteriak membuyarkan lamunan Erwin.
“Eh, ada apa, Tom?” Erwin menengok ke Tommy.
“Lo ngeliatin apa sih?” tanya Tommy agak kesal.
“Itu… di situ,” Erwin menunjuk Kiran. “Apa aku salah lihat? Masa dia Kiran?” tanya Erwin.

“Hah?” Tommy menajamkan penglihatannya. “Eh iya, bener.”
Berlanjut ke Bagian 4...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar