Tiba-tiba kembali muncul suara
yang lain. “Hihihihi….” Terdengar lengkingan yang menyeramkan.
“Oh my gosh!” Surdi merinding
lagi. Ranger lain jadi ikut-ikutan merinding.
“Makasih, ya, udah nyelametin
Franky, kucing gue,” kata sesosok cewek berambut panjang. “Franky emang suka
manjat-manjat, tapi suka bingung sendiri turunnya gimana. Kucing aneh memang.”
“Kamu… Kunti kan?” sahut Erwin
sambil menyerahkan kucing itu.
“Hihihihi… Dari tadi ngeliat
kalian, bawaannya ketawa melulu. Muka kalian waktu ketakutan lucu,” sahut Kunti
sambil menahan tawa.
“Oh, jadi selama ini lo. Gue udah curiga
sebenernya. Mana bisa kuntilanak facebook-an?” tambah Tommy.
“Ada apa emangnya?” tanya Kunti
bingung. Ia menurunkan Franky dari gendongannya.
“Itu, temen gue, Surdi. Katanya
janjian sama kuntilanak mau liat konser.” Tommy menunjuk Surdi yang bersembunyi
di balik tubuh Tofan.
Surdi jadi sedikit malu. Ia
berdeham, lalu menemui Kunti. Ia bisa melihat dengan jelas kaki Kunti menyentuh
tanah. “Jadi, you manusia?”
Kunti menghela nafas. “Untung gue
sabar. Iya, gue manusia,” kata Kunti. “Sori, sebenarnya gue salah orang waktu
chattingan dulu. Gue kira lo Agus, temen gue sekelas yang gendut tapi tajir
itu.”
“Iya, it’s okay,” sahut Surdi.
“So, kita jadi pergi ke konser, nggak?”
“Tapi naik apa, Gan? Masa mau
boncengan 3 orang?” tanya Tofan.
“Ah, kalian nggak canggih sih.” Kunti
mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. “Orangtua gue lagi nggak ada di
rumah, jadi gue bebas makai mobilnya. Hihihi…”
The Rangers lalu diajak masuk
rumah berwarna merah terang. Kunti pun membuka garasi, kemudian menyiapkan
mobilnya.
Surdi bertanya-tanya dalam hati
karena Kunti sendiri berkata kalau rumahnya berwarna hijau bukan merah. “Ini
rumah you?” tanyanya.
“Iya. Kenapa?” Kunti balik
bertanya.
“Katanya yang warna ijo?” balas
Surdi.
“Emang warnanya ijo kan?”
Surdi mengucek-ucek matanya, tapi
matanya tidak salah. Warna dinding rumah Kunti tetap saja merah. Maybe ada
gangguan di penglihatan Kunti, batin Surdi.
Tak lama kemudian, Kunti dan
keempat Ranger sudah berkendara dengan mobil. Sepeda motor dan vespa mereka
dititipkan di rumah Kunti.
“Emangnya lo punya SIM, Kun?”
tanya Tofan yang duduk di kursi depan.
“Lo manggilnya nggak enak banget.
SIM belum punya sih. Cuma pernah diajari naik mobil aja, tapi nggak pernah
sampai jalan raya. Ini pengalaman pertama, lho,” sahut Kunti santai.
Ranger lain saling berpandangan.
Mereka takut terjadi apa-apa, tapi Kunti menenangkan. “Nggak pa-pa, gue ahli
kok.”
Saat lampu lalu lintas berwarna
merah, Kunti main terobos saja. Hampir saja mobilnya tertabrak. “Eh Kun, tadi
kan lampunya warna merah,” kata Tofan dengan nada tinggi.
“Bukannya tadi warna ijo?” sahut
Kunti lagi dengan santai.
Surdi merasa ada yang tidak beres.
Ia berbisik-bisik dengan Tommy dan Erwin yang ada di sebelahnya. “Kayaknya
Kunti buta warna deh,” bisik Surdi.
“Hah? Mampus kita,” sahut Tommy.
Tapi tiba-tiba saja, di tengah
jalan mobil Kunti berhenti. Ternyata bensin mobilnya habis. Tentu saja hal ini
membuat kesal pengendara lain. Klakson-klakson pengendara lain berbunyi gaduh
dari belakang. Terpaksa mereka semua mendorong mobil tersebut. Untunglah, di
dekat situ ada pom bensin sehingga mereka tak perlu capai-capai mendorong
terus.
“Kayaknya ini disengaja orangtua
gue biar gue nggak makai mobilnya. Sial!” gerutu Kunti lagi.
“I bener kan. Kucing hitam itu
membawa sial,” tambah Surdi.
Setelah sampai pom bensin, Kunti
pun mengisi bensin mobilnya. Erwin, Tommy, dan Tofan pergi ke minimarket SPBU
tersebut untuk membeli minuman, sedangkan Surdi tetap di mobil karena dompetnya
sedang krisis.
Tapi sewaktu berada di minimarket
tersebut, mata Erwin melihat suatu kejanggalan. Ia seperti melihat sosok Kiran
di sana. Tapi mana mungkin? Bukankah Kiran sedang di alun-alun untuk ikut
konser?
“Win, lo bawa uang banyak, nggak?
Gue sebenernya nggak bawa uang, nih,” kata Tommy menghampiri Erwin. Tapi Erwin
tidak menggubris Tommy. “Win, lo liat apa sih?” tanya Tommy, tapi kembali tidak
digubris.
“Erwin!” panggil Tommy setengah
berteriak membuyarkan lamunan Erwin.
“Eh, ada apa, Tom?” Erwin menengok
ke Tommy.
“Lo ngeliatin apa sih?” tanya
Tommy agak kesal.
“Itu… di situ,” Erwin menunjuk
Kiran. “Apa aku salah lihat? Masa dia Kiran?” tanya Erwin.
“Hah?” Tommy menajamkan
penglihatannya. “Eh iya, bener.”
Berlanjut ke Bagian 4...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar