“G
|
UE cinta sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?”
“Tapi… lo udah punya pacar kan?”
Terdengar dialog antar remaja di
sinetron televisi. Pemainnya cantik-cantik dan tampan-tampan, tapi itu semua
tak berpengaruh bagi Erwin. Ia justru terganggu dengan tontonan kakak
perempuannya itu.
“Tontonan apa ini, Kak?” Erwin
merebut remote televisi dan memindah salurannya.
“Ee… lagi ditonton kok diganti?” kakak
Erwin merebut kembali remote televisi. Ia menonton sinetron itu lagi. “Kamu
kenapa sih kok kayaknya nggak suka banget? Pemainnya kan ganteng-ganteng. Juga
ada si Kiran, tetangga kita dulu itu. Bukannya kamu temenan sama dia?” tanya
kakak Erwin bawel.
“Iya. Dulu. Sekarang dia kan sudah
menjadi artis,” sahut Erwin.
“Oh iya, aku denger mau ada konser
girlband-nya Kiran di sini, ya?”
“Hah? Masa?” Erwin terkejut. Ia
justru tak tahu.
“Ah, kamu kuper sih. Masa kamu
nggak ngebaca plang-plang di jalan sama selebaran yang ditempel?”
“Tidak pernah, Kak. Yang ada
justru iklan sedot WC.”
Kakak Erwin menahan tawa. Erwin
yang tak suka melihat sinetron semacam itu lalu menuju ke kamarnya. Menyendiri,
melamun. Diambilnya jam weker di mejanya. Matanya menerawang kembali kejadian
sebelum Kiran, temannya itu pindah ke ibukota.
Seorang gadis jelita yang masih SD
sedang berjalan-jalan keluar rumahnya. Gadis bermata bulat itu cantik dan
aktif. Ia suka bermain di bawah terik matahari atau memanjat pohon untuk
memakan buahnya. Ia masuk ke pekarangan sebuah rumah sambil membawa sebungkus
plastik hitam.
Gadis itu mengetuk jendela samping
rumah, tepatnya jendela kamar Erwin. Tuk... tuk… tuk… Dengan jemari lentik, ia
mengetuk sambil mengintip lewat jendela. Erwin kecil yang sedang tengkurap di
atas kasur sambil membaca buku menengok ke arah jendela. Cowok ikal itu
tersenyum lalu membukakan jendelanya.
“Ada apa, Kiran?” tanyanya polos.
“Ini,” gadis kecil bernama Kiran
itu menyerahkan bungkusan hitam yang tadi ia bawa.
Erwin menerimanya keheranan. “Apa
ini?”
“Itu hadiah ulangtahun kamu. Maaf,
ya. Ulangtahun kamu memang masih minggu depan. Tapi, aku takut nggak bisa
datang soalnya aku mau pindah ke Jakarta,” sahut Kiran.
“Kamu hendak pindah? Maksudnya
pindah rumah?” Erwin terkejut.
“Iya, Win. Maaf, aku baru bilang
sekarang.”
“Berarti kita tidak bisa bermain
bersama lagi?” Erwin terlihat sedikit murung.
“Nggak pa-pa, Win. Ayo, sekarang
kita main,” ajak Kiran.
Pada hari-hari sebelum Kiran
pindah, mereka berdua selalu bermain bersama setiap hari, entah itu memanjat
pohon, bermain petak umpet, atau sekadar bermain monopoli di teras rumah. Erwin
sangat menikmati hari-hari tersebut. Namun, setelah Kiran pergi, ia merasa
begitu rindu. Ia baru sadar kalau ia suka dengan Kiran, hanya saja ia malu
mengatakannya.
Jam weker itu adalah saksi bisu
persahabatan mereka. Hadiah terakhir sebelum Kiran pindah rumah. Jam weker
putih berbentuk klasik yang dirawat Erwin hingga selalu terlihat mengkilap.
“Aku rindu kamu, Kiran…” kata
Erwin pelan. Ia tersadar kembali. Ia tak suka melihat sinetron Kiran karena itu
hanya membuatnya tambah rindu.
Suatu saat, Erwin bertekad
mengungkapkan perasaannya pada Kiran. Mungkin esok ketika Kiran ikut konser di
kota ini. Ya, harus pada saat itu. Tak setiap hari Kiran ada di kota ini.
***
Sementara itu belakangan ini,
Surdi jadi suka pergi ke warnet depan rumahnya. Dia ketularan Tofan dan Tommy
yang suka main game di facebook. Apalagi game yang dimainkan teman-temannya itu
sangat menarik bagi Surdi. Judulnya “Men vs. Zombies”. Membaca kata “Zombie”
saja Surdi sudah tertarik. Yah, meski dia terkadang takut sendiri saat bermain.
Game yang mengisahkan pertarungan
antara manusia dan zombie itu membuat Surdi agak kecanduan. Bahkan dia punya
ritual untuk pergi ke warnet setiap malam Jumat. Biar greget kesannya. Untung
saja warnetnya dekat dengan rumah sehingga orangtua Surdi tidak melarang.
Seperti malam Jumat kali ini,
Surdi sedang asyik bermain game tersebut di facebook. Nama akun facebook Surdi
adalah nama panjangnya, yaitu Agus Surdiman. Namanya aneh sekali, ya? Tapi nama
itu adalah pemberian orangtuanya, tidak boleh kita ejek atau kita tertawakan.
Saat sedang asyik bermain, Surdi
terkejut. Ia merinding melihat akun facebook bernama Kunti mengajaknya
chattingan.
Kunti : Gus, gue boleh curhat, nggak? :’(
Agus Surdiman : Dari mana you tahu my name?
Karena hilang akal sehat saking
takutnya, Surdi sampai bertanya begitu. Padahal semua orang juga bisa tahu
lewat nama akun facebook-nya.
Kunti : Lo kenapa sih? Lagi
demam?
Agus Surdiman : My
body emang lagi panas dikit sih. Dari mana you tahu? You… Kunti kan?
Kunti : Emang gue Kunti.
Kenapa?
Agus Surdiman : Kunti…
lanak?
Kunti : Ah, lo banyak nanya
deh. Gue mau curhat nih. :’(
Surdi membuka profil Kunti di tab
baru. Di foto profilnya, ada gambar cewek narsis sedang meringis waktu malam
Kamis. Tapi karena gelapnya kulit cewek itu, apalagi fotonya waktu malam-malam,
yang terlihat hanyalah sepasang mata dan gigi-gigi kekuningan yang tersenyum
bagai tanpa dosa. Setan narsis, batin Surdi.
Di benak Surdi, terbayang
bagaimana kuntilanak dan setan-setan lain saling facebook-an, mendatangi
warnet-warnet atau mungkin membuat warnet sendiri khusus makhluk supranatural. Ih,
sereeem…, batin Surdi lagi.
Tapi seperti biasa, Surdi justru
semakin penasaran. Soalnya ia tak pernah punya teman dari dunia lain. Ia
mencoba iseng-iseng membalas chattingan Kunti.
Berlanjut ke Bagian 2...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar