Senin, 20 Januari 2014

Topeng Tengkorak Bagian 1

S
EORANG cowok culun berambut klimis dan berkacamata tengah mondar-mandir di kelas. Ia sedang mencari tasnya. Sudah pasti, ini ulah Bagas dan Ardhi yang suka menjahili cowok itu. Cowok itu sudah terbiasa dengan mereka. Mereka sering menyembunyikan kacamata cowok itu, menguncinya di kamar mandi, dan pernah menempeli kertas di punggung cowok itu bertuliskan “Orang Gila”. Selain itu, masih banyak lagi tingkah jahil mereka.
 Surdi memandangi cowok itu dengan heran. Ia pun menghampiri dan bertanya.
“What are you doing, Indra?” tanya Surdi.
“Gue lagi nyari tas gue,” jawab cowok culun itu.
“Emangnya tas you ke mana? Emang bisa walking-walking sendiri?” tanya Surdi lagi.
“Haha… Nggak lucu, Sur,” sahut Indra ketus. “Lo kayak nggak tahu aja? Ini udah pasti kerjaan temen lo, Bagas sama Ardhi. Gue takut banget, nih. Soalnya di dalam tas gue ada laptop.”
“Emang nggak funny. I kan tanya, bukan ngelawak,” kata Surdi. “Kalau in this class nggak ada, coba cari in the outside.”
“Hmm… Iya,” sahut Indra lagi.
Beberapa saat kemudian, Tofan berjalan masuk kelas setelah dari kantin. Ketika berpapasan dengan Indra, ia menepuk bahunya.
“Ndra, tas lo ada di atas genteng koperasi,” kata Tofan.
“Oh, iya… Makasih, ya, Fan.”
Indra pergi menuju koperasi dan melihat ransel warna hitam ada di atas genteng. Tanpa peduli siapa pun yang melihat, Indra meminjam kursi dari koperasi dan berusaha menjinjit-jinjit untuk menggapai tasnya. Ketika ia mencoba melompat, ia dapat meraih tasnya, namun ia kehilangan keseimbangan sehingga terjatuh di tanah.
Indra kembali ke kelas dengan seragam yang kotor terkena tanah. Sekembalinya di kelas, ia melihat teman-temannya berkerumun membicarakan sesuatu. Indra pun menghampiri dan bertanya.
“Ada apa, sih?”
“Cewek-cewek itu bilang kalo habis lihat sosok pakai topeng tengkorak,” sahut Tofan.
“Hah? Di mana?” Indra tampak terkejut.
“Di dekat toilet for girls, katanya,” jawab Surdi.
“Paling-paling juga si Bagas sama Ardhi. Mereka kan suka iseng,” ujar Indra.
“Maybe,” sahut Surdi.
“Lho, Sur, lo kok tumben nggak takut?” tanya Tofan.
“Emang nggak, I kan a brave boy,” sahut Surdi sok-sokan, tapi kakinya tetap gemetaran.
Bel berbunyi, tanda selesainya jam istirahat. Bagas dan Ardhi masuk ke kelas dan sontak menertawakan seragam Indra yang kotor kena tanah.
“Hei, Culun, seragam lo kenapa?” tanya mereka sambil terbahak.
Indra diam saja. Lalu teman-temannya mulai menuduh Bagas dan Ardhi soal sosok bertopeng tengkorak tadi.
“Tengkorak apa, sih? Bukan kita kok. Lagipula kalian nggak punya bukti kan?” elak mereka.
“Tapi lo berdua kan yang suka iseng,” balas teman-temannya.
Sayangnya, Bu Lusi yang tiba-tiba masuk membuat pertikaian itu tidak berlanjut.
***
Saat pulang sekolah, sosok bertopeng tengkorak itu dikabarkan muncul di tempat parkir. Teman-temannya pun kesal, lalu menumpahkan kekesalannya pada Bagas dan Ardhi keesokan paginya.
“Gas, Dhi, nggak lucu tahu nakut-nakutin pake gituan,” kata salah seorang cewek.
“Apaan sih?” Bagas tak paham.
“Kemarin lo kan yang nakut-nakutin di tempat parkir pakai kostum tengkorak?” tanya cewek itu.
“Kita mungkin bisa ngelakuin hal kayak gitu, tapi kali ini, bukan kita yang ngelakuin,” Ardhi membela diri.
“Udah, nggak usah berantem,” lerai Tofan. “Ayo kita ke lapangan. Yang lain udah pada ke sana.”
Mereka pun pergi ke lapangan untuk menerima pelajaran olahraga. Pelajaran olahraga saat itu adalah permainan bebas. Cowok-cowok pun pada bermain basket, ada pula yang bermain voli.
Setelah capai berolahraga, cowok-cowok itu pun berganti baju. Tofan, Surdi, Bagas, dan Ardhi yang mengembalikan bola-bola dulu pun berganti baju belakangan. Namun saat mereka berganti baju di ruang ganti, betapa terkejutnya mereka melihat sosok bertopeng tengkorak tengah berdiri di pojok ruangan.
Surdi seketika pingsan di tempat, sedangkan Bagas dan Ardhi langsung berlari keluar ruangan. Bagas bahkan belum sempat memakai celananya. Dasar, tak punya malu! Tofan pun cepat-cepat memakai celananya dulu. Tapi, si Topeng Tengkorak sudah terlanjur menangkapnya.
“Eh, eh, gue mau pakai celana gue dulu…!” kata Tofan panik.
Berlanjut ke Bagian 2...

Minggu, 05 Januari 2014

Cita-cita Bagian 2

“Raita?” gumam Erwin. “Yaah, aku tidak lolos.”
“Hah, lo nggak lolos, Win? Gimana bisa?” Tommy, teman sebangkunya heran.
“Ah, tak apa-apa. Mungkin mereka belajar lebih giat,” sahut Erwin.
Mereka yang lolos seleksi kemudian diberi bimbingan ekstra tiap hari sepulang sekolah. Erwin biasa melihat 2 orang kakak kelasnya dapat lolos, tapi ia terkejut dengan Raita. Biasanya, ia terlihat kurang menonjol tapi tiba-tiba saja muncul di permukaan.
Raita awalnya senang dapat lolos. Ia dapat membahagiakan ayah-ibunya. Namun, ia baru sadar kalau itu bukanlah tujuan akhir, justru awalan untuk memenangkan olimpiade sesungguhnya. Sayangnya, ia tak bisa mengikuti pelajaran saat bimbingan. Lama-kelamaan ia tertekan karena merasa tak mampu mengikuti. Beberapa kali, ia justru tanya tentang Biologi ke Erwin. Hal ini membuat Erwin heran dan curiga.
“Itu namanya eritroblastosis fetalis,” Erwin menjawab pertanyaan Raita. “Ta, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Hmm… nanya apa?” sahut Raita.
“Seleksi olimpiade kemarin itu kamu kerjakan dengan jujur, kan?” tanya Erwin.
“Memangnya kenapa?”
“Maaf, tapi rasanya kamu seharusnya lebih tahu daripada aku… soalnya kamu yang lolos, bukan aku,” sahut Erwin lagi.
“Mm… Win, ada yang harus gue akuin,” ungkap Raita. “Seleksi itu gue kerjain sambil nyontek lewat buku. Gue sengaja SMS lo malem sebelum seleksi supaya lo keganggu. Gue juga yang nyuruh orang bilang ke lo kalo seleksi itu diundur. Maafin gue, ya. Gue lagi labil waktu itu.”
“Oh, begitu. Tidak apa-apa, sudah terlanjur. Sekarang, kamu yang terpilih dan kamu yang harus melanjutkan perjuangan ini,” sahut Erwin.
“Nggak. Di hati kecil gue, gue nggak mau. Gue ikut olimpiade karena paksaan dari ayah gue. Ayah gue nggak suka kalo gue jadi penulis.”
“Terus sekarang bagaimana?” tanya Erwin.
“Gue pingin posisi gue lo gantiin,” jawab Raita. “Soal ayah gue, gue minta tolong The Rangers buat bikin rencana. Kalian kan problem solver. Bisa kan?”
“Selalu bisa,” sahut Erwin mantap.
Keesokan harinya, Raita mengaku di hadapan Bu Astuti tentang perbuatan buruknya. Ia juga mengaku kalau itu ia lakukan karena tekanan dari ayahnya. Ia ingin posisinya digantikan oleh Erwin. Bu Astuti pun setuju. Ia justru mengacungkan jempol karena Raita berani mengakui kesalahan. Sejak itu, Erwin menggantikan Raita ikut olimpiade.
Kemudian, The Rangers pulang bersama Raita. Namun, mereka mampir sebentar ke PT Suara Bangsa. Mereka menawarkan cerita serial Raita untuk diterbitkan di koran mereka.
“Wah, ceritanya bagus. Bisa menjadi motivasi bagi anak-anak yang membaca. Bahasanya pun komunikatif,” komentar pemilik PT Suara Bangsa. “Baiklah. Cerita ini akan saya terbitkan setiap hari Minggu mulai minggu esok. Dan Raita, kamu diterima jadi penulis di PT Suara Bangsa. Besok, silakan ke sini lagi untuk mengurus pekerjaan ini.”
“Waah, makasih, Pak!” sahut Raita senang.
Beberapa hari kemudian di Minggu pagi, Raita tersenyum menyamping penuh arti. Ia memiliki sebuah rencana. Ia pergi ke teras rumahnya membawa secangkir kopi dan sesuatu yang ia sembunyikan di balik punggungnya. Ia mendapati ayahnya tengah membaca koran di sana.
“Yah, ini kopinya,” kata Raita.
“Oh, iya. Makasih, Raita,” sahut ayahnya masih membaca.
“Yah, aku punya hadiah buat ayah.” Raita memberikan sesuatu di balik punggungnya. Baju bermotif kotak-kotak. “Bagus apa nggak, Yah?”
“Hmm… Bagus. Ayah suka warnanya.” Ayah Raita melihat baju itu. “Tapi kok tumben? Ada apa?”
“Ada yang mau aku akuin,” ujar Raita. “Aku mengundurkan diri dari olimpiade, Yah.”
“Apa?!” ayahnya terkejut. “Kenapa?”
“Soalnya Ayah selalu nekan aku buat nurutin apa kata Ayah, tapi nggak pernah ndengerin apa kata aku,” Raita melepaskan emosinya. “Ayah tahu? Aku kemarin lolos itu cuma karena nyontek buku. Jiwaku bukan di sana, Yah. Jiwaku ada di dunia tulis-menulis.”
“Jadi sekarang kamu berani nyalahin Ayah?” tanya ayahnya dengan raut marah.
“Kita itu manusia, Yah, pasti punya salah. Tapi aku bisa ngebuktiin kalau cita-citaku bukan angan-angan kosong. Aku sudah kerja, Yah, di PT Suara Bangsa. Baju itu hasil kerja kerasku jadi penulis,” sahut Raita. “Kalau Ayah nggak percaya, Ayah bisa lihat di sini.” Raita mengambil koran ayahnya dan menunjukkan ceritanya.
Ayah Raita hanya diam dengan alis masih mengkerut. Raita pun menaruh koran itu di meja, lalu pergi. Setelah itu, diam-diam ayahnya membaca cerita Raita.
Lama-kelamaan hati ayah Raita kian mencair. Ia kini sudah tak memaksa Raita untuk ikut olimpiade atau menjadi dokter seperti dia. Ayahnya hanya ingin Raita bahagia dan meraih cita-citanya sendiri. Sedangkan Erwin yang menggantikan Raita ternyata meraih peringkat 3 sekotanya. Semua kini senang.
TAMAT

Kamis, 02 Januari 2014

Cita-cita Bagian 1

R
AITA sedang menonton televisi malam itu. Ia duduk di sofa dan dengan penuh konsentrasi melihat film kartun serial. Baginya, itu penting sebagai sumber inspirasi tulisan-tulisannya. Namun, sedang asyik-asyiknya menonton, televisi itu tiba-tiba mati. Raita menoleh dan melihat ayahnya membawa remote.
“Kok dimatiin? Besok nggak ada pe-er, Yah,” kata Raita.
“Besok sekolahmu ngadain seleksi olimpiade, kan?” sahut sosok berkumis tipis. “Ayo, belajar. Kamu harus lolos seleksi, Raita. Biar kamu bisa jadi dokter, nerusin kerjaan Ayah.”
“Tapi, Yah, aku ingin jadi…” Raita tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Jadi penulis? Ayah udah bosan ndengernya,” sahut ayahnya lagi. “Kamu itu dibilangin selalu membantah. Kalau kamu anak Ayah, harusnya kamu nurutin apa kata Ayah.”
Raita hanya menunduk dan mendengarkan perkataan ayahnya.
“Raita, kamu itu anak Ayah satu-satunya. Ayah pingin kamu berprestasi di sekolah. Semua orang bisa menulis, tapi nggak semua bisa ikut olimpiade,” ceramah Ayah Raita. “Kamu anak yang pinter, Raita. Manfaatin kepintaranmu dengan baik.”
“Yah, cita-cita itu nggak bisa dipaksa,” Raita membantah dengan halus.
“Cita-cita itu hanya angan-angan kosong! Pokoknya, kamu harus lolos seleksi itu,” Ayah Raita sedikit membentak, lalu pergi.
Raita pun masuk ke kamar. Ia melamun. Ayah Raita dekat dengan beberapa guru di sekolah sehingga ia selalu tahu kegiatan sekolah Raita. Raita hanya tak paham. Ia harus belajar dalam keterpaksaan dan cita-citanya terhalang oleh sang ayah. Andaikan ia bisa memberitahu ayahnya…
Raita labil. Di samping siklus bulanan yang melabilkan emosinya, ia juga harus dihadapkan dengan hal ini. Ia tak berani membangkang ayahnya. Baginya, itu hanya menambah masalah. Jika ayahnya sudah bilang “pokoknya”, berarti Raita harus menuruti. Namun, Raita pesimis bisa lolos. Ia sudah mencoba belajar tapi hanya sebagian yang masuk ke otak.
Di tengah kelabilannya itu, Raita menemukan sebuah celah. “Khukhukhu…” tawanya.
Di lain tempat, terlihat Erwin sedang belajar Biologi. Hal itu ia lakukan untuk seleksi olimpiade besok. Erwin memang bercita-cita memenangkan olimpiade. Meski dia ingin jadi detektif, ia pikir ilmu Biologi tetap ada gunanya kelak.
Belum sampai belajar 1 bab, ponsel Erwin bergetar. Ada SMS dari Raita. “Raita? Tidak seperti biasanya,” gumam Erwin.
Raita  : Win, lagi apa?
Erwin  : Belajar.
Raita : Oh, sori ganggu. Mau minta komentar aja soal cerita gue. Mau denger?
Erwin  : Maaf, aku hendak belajar.
Raita : Nggak pa-pa. Sebentar aja, ya. Ceritanya bagus, lho. Cerita serial. Judulnya “Cita-cita”.
Erwin : Maaf, ya. Ceritamu bisa kudengar lain kali, tapi seleksi olimpiade hanya ada besok.
Erwin kemudian melanjutkan belajarnya. Sedangkan, Raita di kamarnya tengah kesal. Ia gagal mengganggu saingan beratnya.
“Huh, gagal,” gumamnya. “Gue masuk ke rencana B.”
***
Keesokan harinya sepulang sekolah, Erwin pergi ke salah satu kelas untuk mengikuti seleksi olimpiade. Namun, di tengah jalan, seorang siswa yang tak ia kenal menghadang.
“Eh, lo Erwin, ya?” tanyanya. “Tadi gue dibilangin, katanya seleksi olimpiade Biologi diundur besok.”
“Diundur? Sungguh?” Erwin bertanya balik.
“Iya, gue disuruh ngomongin ke lo.”
Diomongi seperti itu, Erwin berbalik arah. Ia berpikir, anak tadi tak mungkin berbohong. Kemudian karena lapar ia membeli jajanan di koperasi siswa.
Di koperasi itu ia bertemu dengan Bu Astuti, guru Biologinya. Saat tengah membeli jajan, guru itu berkata pada Erwin. “Cepetan beli jajannya. Seleksi mau mulai.”
“Lho, katanya diundur, Bu?” sahut Erwin.
“Kata siapa?” Ayo, cepetan ke kelas,” perintah Bu Astuti.
Erwin pun menurut dan pergi ke kelas. “Jadi, tadi aku dibohongi? Untung saja aku bertemu Bu Astuti,” gumamnya.
Di kelas itu, Erwin melihat anak-anak sudah siap mengikuti seleksi. Erwin pun mengambil tempat duduk yang kosong, lalu menyiapkan alat tulis.
Dari bangku seberang, Raita memandang Erwin. Huh, rencana B gagal, batin Raita. Tapi, aku tetap punya rencana yang lain. Khukhukhu…
Anak-anak mengerjakan dengan serius. Raita pun begitu. Tapi bedanya, Raita serius mencari jawaban di buku rangkuman. Ia sudah mempersiapkan itu di laci mejanya. Pengawasan Bu Astuti memang tak terlalu ketat sehingga Raita dapat melakukannya dengan lancar.
Hari demi hari berlalu dan tibalah pengumuman hasil seleksi olimpiade. Pengumuman itu diberitahukan melalui speaker sekolah. “… Olimpiade Biologi yang mengikuti adalah: Shara Aditya, Rian Wibowo, dan… Raita Febiola.”
“Raita?” gumam Erwin. “Yaah, aku tidak lolos.”
Berlanjut ke Bagian 2...