“Eh, ada si tukang tebeng!” kata
teman sekelas Erwin, Agus sewaktu Erwin terlambat masuk ke kelas.
Erwin diam saja lalu mengambil
tempat duduk di sebelah Tommy. Ia memang sudah biasa dipanggil begitu oleh Agus
karena selalu nebeng Surdi. Awalnya, ia sakit hati dipanggil begitu, tapi
sekarang ia hanya menganggap itu angin lalu saja.
“Udahlah, jangan peduliin, Agus,”
kata Tommy melihat wajah murung Erwin. “Lo kenapa terlambat?”
“Baterai jam wekerku habis,
jadinya aku bangun kesiangan,” jawab Erwin.
“Tapi lo tadi berangkat sama Surdi
kan?” tanya Tommy lagi.
“Iya, Tom. Sebenarnya aku ingin
Surdi berangkat dulu tanpa aku, tapi dia tak mau.”
Agus yang duduk di bangku depan
Tommy mendengar perkataan Erwin lalu menengok. “Ah, lo bohong. Emang lo yang
manfaatin Surdi kan?”
“Eh, lo ngapain ikut-ikut?” Tommy
jadi kesal.
“Nggak pa-pa lagi, ini kan negara
demokrasi. Tuh, si Erwin masa tega ngebiarin Surdi telat?” ledek cowok tambun
itu.
“Omongan lo aja sok-sokan gitu.
Emang lo tau demokrasi artinya apaan?” balas Tommy.
“Demo itu unjuk rasa. Kalau krasi
itu dari kata ‘trasi’. Jadi demokrasi artinya unjuk rasa sambil makan trasi,”
jawab Agus, entah ngocol atau memang bloon.
Erwin menahan tawanya, tapi Agus
tahu itu. “Eh, lo berani ngetawain gue? Ke sekolah aja nebeng. Kayak gue gitu
lho, bawa motor sendiri. Jangan salah, motor gue itu motor keluaran terbaru dan
termahal. Bandingin sama lo. Sekali-sekali naik motor sendiri gitu, apa
jangan-jangan lo nggak bisa naik motor?”
Erwin tak menjawab. Ia malu karena
ia tak bisa naik motor, tapi Tommy di sebelahnya sudah sangat kesal. “Eh, lo
nggak tau apa? Erwin itu pembalap, tau! Cuma dia nggak mau sok-sokan nunjukin
kemampuannya. Nggak kayak lo, Songong!” Tommy berkata-kata dengan spontan.
“Hmm… Masa sih? Kok gue nggak
percaya? Kalo gitu Erwin pasti berani dong, balapan sama gue?” tantang Agus.
Erwin diam, justru Tommy yang
menyahut karena kesal. “Pasti berani lah. Lo pasti kalah!”
“Oke. Malam Minggu gue tunggu di
alun-alun kota jam 7. Rutenya ke timur, memutari kota lewat jalan lingkar, lalu
kembali ke alun-alun. Kalo lo nggak dateng, berarti lo pengecut,” kata Agus
lalu beranjak dari sana sambil tersenyum karena merasa ia pasti menang.
“Tom, mengapa tadi kamu bicara
begitu? Aku tak bisa naik sepeda motor,” kata Erwin cemas.
Mendengar itu, Tommy jadi ikut
cemas dan merasa bersalah. “Hah? Lo nggak bisa? Duh, gimana ya? Udah terlanjur,
masa lo mau mundur?” Tommy berpikir sejenak. “Hari ini hari Rabu. Masih ada
beberapa hari buat latihan sebelum malam Minggu. Nggak usah takut. Lo pasti
bisa,” kata Tommy memegang pundak Erwin, berusaha memotivasinya.
Waktu pulang, Surdi pergi ke
tempat parkir dengan senang. Ia berhasil bebas dari ancaman pemeriksaan rambut
dan bebas pula dari ulangan PKn. Tapi Erwin di sebelahnya justru terlihat
murung. Sudah merasa bersalah membuat Surdi terlambat, ditambah masalah
tantangan Agus tadi. Ia takut ia kalah karena naik motor pun belum bisa,
apalagi memenangkan balapan. Ia akan malu dan jadi bulan-bulanan Agus.
Erwin bertekad untuk menang. Ia
tak ingin menjadi bahan ejekan Agus lagi. Waktu beberapa hari itu tak boleh ia
sia-siakan. Ia ingin langsung belajar naik motor. Tapi ia tak ingin merepotkan
Surdi dengan memintanya mengajarinya.
***
“Bu, aku pergi ke rumah Tommy
dulu. Hendak belajar,” Erwin berpamitan dengan ibunya lalu langsung cabut pergi
dengan sepedanya. Ibunya mungkin mengira Erwin belajar pelajaran sekolah,
padahal Erwin ingin belajar naik motor.
Erwin memang tak pernah melihat
Tommy naik sepeda motor karena Tommy selalu naik kendaraan umum ke sekolah.
Jika ditanya mengapa, Tommy selalu menjawab kalau di kendaraan umum, ia bisa
ngecengin cewek-cewek. Meski begitu, Erwin merasa Tommy bisa mengajarinya.
Sesampainya di rumah Tommy,
terlihat Tommy sedang bermain kelereng dengan anak-anak SD di halaman rumahnya.
Kedatangan Erwin dibarengi dengan kemenangan Tommy dalam permainannya.
“Eh, ada Erwin. Pantesan gue
menang,” Tommy tersenyum. Ia mendapat banyak kelereng hari ini. Anak-anak SD
itu pun kembali karena merasa Tommy bukan saingan mereka.
“Ada apa, Win?” tanya Tommy
membawa sekantong plastik kecil penuh kelereng.
“Ng… Itu, aku ingin kamu
mengajariku naik sepeda motor,” jawab Erwin agak malu.
“Naik sepeda motor? Eh, sori ya,
Win. Gue juga nggak bisa naik motor, hehe… Sori, badan gue kan kecil, emang kelihatan
bisa ya, naik motor?” sahut Tommy cengengesan.
“Kamu juga tak bisa? Soalnya kamu
kelihatan sok-sokan begitu, jadi kukira sudah bisa.”
“Hehe… Lebih baik sok-sokan
daripada minderan,” Tommy membela diri. “Kenapa kamu nggak minta diajarin Surdi
aja?”
“Aku tak mau banyak merepotkan
dia, Tom. Tadi aku sudah membuat dia terlambat, setiap hari aku juga merepotkan
dia.”
“Kalo gitu, lo minta diajarin sama
Tofan aja. Gue temenin naik sepeda,” kata Tommy sambil mengambil sepedanya dari
dalam rumah.
Mereka pun bersepeda bersama ke
rumah Tofan. Setiap hari, Tofan pergi ke sekolah naik vespa peninggalan ayahnya
yang telah tiada. Maksud Erwin tidak membonceng Tofan bukan karena vespa itu
ketinggalan zaman, melainkan karena rumah Tofan dan Erwin berbeda arah, tidak seperti
Surdi.
Tommy mengetuk pintu rumah. Tapi
yang keluar bukan Tofan, melainkan maminya.
“Eh, ada Nak Tommy sama Nak Erwin.
Nyariin Tofan, ya?” sapa mami Tofan ramah.
“Iya, Bu. Tofan di rumah?” tanya
Tommy.
“Tofan tadi pulang sebentar, terus
buru-buru pergi lagi masih pakai seragam. Katanya ada rapat OSIS,” jelas mami
Tofan.
“Oh gitu. Ya sudah, Bu. Makasih.
Kita pulang dulu,” Tommy berpamitan dengan sopan. Tak seperti biasanya dia
sopan, Erwin sampai heran. Mereka pun bersepeda kembali.
“Jarang sekali kamu sopan begitu,”
sindir Erwin.
“Kita itu harus sopan dan hormat
di depan orang yang lebih tua,” jawab Tommy sok-sokan. “Terus sekarang kita ke
mana?”
“Kita pulang saja, Tom. Mungkin
nanti malam, aku tanya teorinya dulu pada ayahku. Besok, aku akan coba praktikkan
naik sepeda motor.”
Berlanjut ke Bagian 3...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar