Tok, tok, tok… Tofan mengetuk
pintu belakang beberapa kali. Surdi yang sedang ngiler menonton JKT48 lalu
berjalan menuju pintu belakang.
“Siapa yang datang in the midnight
begini? Kenapa juga ngetok pintu belakang? Tetangga, maybe?” cowok gondrong itu
menggumam sendiri.
Langkah Surdi mendekat. Surdi
hendak membuka pintu, tapi Tofan bersembunyi di baliknya. Ia memberi kode
dengan mengacungkan ibu jari pada Erwin yang ada di ujung. Erwin pun menyalurkan
kode ibu jari itu pada Tommy.
“Lho, kok nggak ada siapa-siapa,
ya?” Surdi kembali menggumam. “Helloo… Siapa yang tadi ngetok pintu?”
Dok, dok, dok! Belum sempat Surdi
memeriksa siapa yang mengetuk pintu belakang, ada lagi yang mengetuk pintu
depan. Dok, dok, dok! Suara itu makin keras seperti memaksa Surdi untuk segera
membukakan pintunya.
Surdi berlari ke depan, menyambar
senter di meja sebagai penerangan dan senjata kalau-kalau yang mengetuk itu
penjahat. Tapi karena terburu-buru ke depan, Surdi jadi lupa menutup pintu
belakang. Tofan dan Erwin pun masuk ke rumah Surdi dengan mudah. Mereka menuju
ke kamar Surdi.
Surdi menyalakan senternya lalu
membuka pintu depan. Terlihat Tommy sudah ada di depan pintu dengan tangan
seperti siap-siap mencakar dan lidah menjulur. Senter Surdi tidak membantu,
justru membuat wajah Tommy makin seram diterangi cahaya senter.
“Oh my gosh!” Surdi terkejut dan
secara refleks melempar senternya ke muka Tommy si tuyul.
“Aduh!” Tommy kesakitan menerima
lemparan Surdi. Tapi ia dengan segera melewati Surdi dan berlari ke kamarnya
menyusul Tofan dan Erwin.
Surdi tiba-tiba jadi pemberani. Ia
mengejar tuyul itu karena tidak rela uangnya dicuri. “Jangan curi my money,
Tuyul!”
Tapi setelah sampai di kamarnya,
Surdi terkejut. Sahabat-sahabatnya menyanyikan lagu Selamat Ulangtahun. Surdi
juga baru sadar kalau tuyul itu ternyata Tommy.
“Wow, thanks, guys! Ternyata you
semua ingat my birthday,” kata Surdi sok Inggris.
“Tentu saja kita ingat, Sur. Kita
kan sahabat,” sahut Erwin sambil tersenyum.
“Oh iya, kita juga bawa hadiah,”
Tofan membuka tas punggungnya. Ia mengeluarkan isi tasnya, termasuk pakaian
Tommy.
Surdi membuka salah satu
hadiahnya. Kadonya panjang, lebar, tapi tipis. Kado itu dibungkus koran.
“Ini pasti dari Tommy,” kata Surdi
sambil nyengir.
“Hehe… Iya, Sur. Sori ya, soalnya
gue tadi ada masalah sama kapten tim lawan waktu futsal. Eh, gue sama dia malah
ketemu lagi waktu mau beli kado. Jadinya ya gue buru-buru terus nggak sempet
beli kertas kado,” sahut Tommy, padahal alasan sebenarnya adalah karena dia tak
punya uang.
Isi kado Tommy adalah triplek yang
ditempeli kardus, kemudian dilapisi kertas asturo. Dipasang pula gantungan dari
tali pramuka. Di kertas asturo itu ditempelkan huruf-huruf dari kain flanel.
Bunyinya, “Happy Birtday Surdi!”. Kelihatan sekali kalau dia membuatnya
sendiri, terlihat dari potongannya yang tidak rapi dan tulisan “happy birthday”
yang kurang huruf H. Tapi Surdi sangat menghargai hadiah Tommy. Ia membayangkan
bagaimana Tommy bersusah payah membuatkannya meski dalam uang yang terbatas.
“Thank you, Tom,” kata Surdi.
“You’re welcome, Sur,” sahut
Tommy.
Surdi membuka salah satu hadiah
lagi. Dilihat dari bentuknya sudah kelihatan, buku. Surdi pun membukanya.
Judulnya “Biografi Para Musisi Dunia”. Di situ biografi mereka dijelaskan
secara ringkas meski pun halamannya masih tebal, sekitar 200 halaman.
“A book? Ini pasti dari Erwin,”
Surdi yang kurang suka membaca itu membuka halaman-halamannya. “Wah, very
interesting. Nggak boring deh kalo baca. Thanks, Win.”
“Sama-sama, Sur.”
Yang terakhir adalah kado Tofan.
Bentuknya mirip seperti kado Erwin, hanya saja lebih mirip buku tulis. Surdi
berpikir sepintas dalam hati, apa Tofan tega give me only a writing book?
Surdi membuka kertas kadonya.
Sepintas dia terkejut. Dia pikir Tofan benar-benar tega, tapi ternyata dia
salah. Di buku itu tertulis “The Rangers”.
Saat dia membuka buku itu,
tertulis di tengah-tengah halaman angka 7 romawi. Isinya adalah foto-foto The
Rangers ketika masih kelas 7. Surdi terkejut lagi. Ternyata dia sekecil itu
saat masih SMP dan sama sekali tidak keren. Di halaman-halaman selanjutnya,
juga ada foto-foto The Rangers saat kelas 8 dan 9. Di dalam hatinya, ia rindu
masa-masa SMP-nya dulu.
“Thanks, Fan. Dari mana you dapet
foto-foto ini?” tanya Surdi.
“Dari HP gue sama dari
jejaring-jejaring sosial. Kan banyak yang di-upload, Gan,” sahut Tofan.
Erwin dari tadi melirik ke arah
Tommy yang masih betah saja hanya memakai celana boxer dan bermandikan bedak.
Ia tak tahan untuk berkata pada Tommy.
“Tom, bagaimana kamu bisa betah
menjadi tuyul begitu? Apa kamu tidak ingin berganti baju?” tanya Erwin.
“Nanti aja deh, Win. Di rumah. Gue
pake jaket aja, hehe…” jawab Tommy mengambil jaketnya di tas kasur Surdi. Ia
juga menitipkan pakaiannya kembali ke tas Tofan.
“Oh iya, Tom, I am very kaget
waktu lihat you jadi tuyul. Acting you bagus. Apalagi ada pocong-pocongan
segala,” kata Surdi mengacungkan ibu jarinya.
“Pocong-pocongan?” Tofan, Erwin,
dan Tommy bertanya hampir bersamaan.
“Lho, emangnya itu bukan ulah you?
So, apa yang tadi I lihat?”
Glek! Mereka semua menelan ludah.
Jangan-jangan…
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar