Rabu, 30 April 2014

Bab 1: Pagi Pertama di Putih Biru (Awal)

B
ELUM genap pukul setengah enam, Erwin kecil berusia sepuluh tahun sudah duduk-duduk di teras rumah. Hari itu hari Minggu sehingga Erwin memang perlu mengusir jenuhnya bersekolah. Ia duduk sendirian, menikmati suasana pagi yang tiada duanya. Hembusan angin pagi menerpa wajahnya, meniup lembut rambut bergelombangnya itu. Pikiran Erwin pun mengembara, menjelajahi dunia imajinasi tanpa batas.
Khayalannya tiba-tiba kabur melihat seorang gadis seusianya bersepeda menuju rumahnya. Erwin kecil mengenal gadis itu. Rambutnya yang kecokelatan dan dikuncir seperti ekor kuda sudah menjadi ciri khasnya. Ia menghampiri dan hendak menanyai gadis itu, tapi tak sepatah kata keluar dari mulut Erwin.
“Wiin, sepedaan, yuk!” ajak gadis itu. Matanya yang bulat memancarkan kepolosan dan kejujuran.
Erwin tersenyum. “Ayo,” jawabnya singkat.
Erwin mengambil sepedanya di garasi, lalu dengan semangat bersepeda dengan gadis itu. Sepanjang perjalanan, Erwin diam. Sebenarnya sedari tadi, ia ingin mengucapkan banyak sekali perkataan. Tapi entah mengapa lidahnya menjadi kelu.
“Kok diem aja sih?” tanya gadis itu heran.
“Mm… Tidak ada apa-apa, kok. Memang aku yang pendiam,” jawab Erwin sekenanya.
“Kalo gitu, aku ajak ngomong, deh, biar nggak bosen,” sahutnya. “Kamu pasti bertanya-tanya kan, kok tumben banget seorang Kiran ngajakin sepedaan pagi-pagi?”
“Iya. Memangnya hendak ke mana, Ran?”
“Aku mau ngajakin kamu ke suatu tempat yang bagus. Aku ajak pagi-pagi biar tempat itu kelihatan lebih bagus. Kamu pasti kagum, deh, waktu lihat,” jelas Kiran.
“Tempat apa?” tanya Erwin singkat.
“Ada deeh… Biar penasaran dulu.” Kiran tertawa kecil.
Erwin sebenarnya tak tahu hendak ke mana. Jalan yang dilewatinya dengan Kiran pun masih asing. Namun Erwin menikmati perjalanan itu dengan Kiran. Sesekali ia memandangi wajah Kiran sambil tersenyum, sampai-sampai hampir menabrak apa yang ada di depannya. Dan Kiran juga tersenyum hangat melihat tingkah laku Erwin.
Mereka berdua lalu masuk ke sebuah gang. Di papan nama gang itu bertuliskan “Gang Buntu”. Merasa bingung membaca namanya, Erwin pun menggumam.
“Gang Buntu…?”
“Iya, emang buntu. Aku nemuin tempat ini waktu njelajah-njelajah nggak jelas gitu,” sahut Kiran sambil nyengir.
“Oh, gitu.” Erwin manggut-manggut.
Sesampainya di ujung gang, Kiran memarkirkan sepedanya, lalu menunjukkan pada Erwin sebuah pemandangan yang indah.
“Coba lihat, Win! Padang rumput yang indah dan luas!” seru Kiran senang.
“Wow…” Erwin takjub.
Padang rumput terbentang di depan mata mereka berdua, dikepung oleh sawah-sawah dengan sebuah saung untuk beristirahat. Rerumputan hijau bergoyang mengikuti arah angin dengan embun yang masih menempel di permukaannya. Bunga-bunga yang berwarna-warni serta matahari yang belum terlalu tinggi ikut menyemarakkan keindahannya.
Erwin dan Kiran bermain bersama di sana, mulai dari berkejar-kejaran sampai menangkap belalang. Hingga akhirnya mereka lelah dan duduk berdua di sebuah saung.
“In… indah banget, ya, Ran? Mm… Rasanya pingin di sini terus,” kata Erwin.
Kiran tak menjawab. Erwin heran, lalu memandang wajahnya. Wajah Kiran tiba-tiba saja menjadi datar.
“Win, udah mau setengah tujuh!” Kiran berkata dengan nada aneh.
“Memangnya kenapa?” sahut Erwin.
“Ini hari pertama kamu pakai seragam SMP!” Kiran entah bagaimana malah menyiramkan gelas berisi air padanya.
“Hah…?” Erwin mulai sadar. Ia membuka mata dan melihat ibunya membawa gelas. “Oh… ternyata mimpi itu lagi,” gumamnya.
“Win, ayo mandi, nanti telat,” kata ibunya. “Jam weker kamu tadi bunyi terus masa nggak kedengeran?”
“Eh, sudah jam berapa ini?” Erwin sekilas melirik jam wekernya. Ia pun langsung panik, kemudian melesat menuju kamar mandi.
***
Beberapa saat kemudian, Erwin sudah keluar dari rumah mengendarai sepeda mini milik kakaknya. Ia cepat-cepat pergi ke sekolah. Hari ini memang hari pertama Erwin setelah masa orientasi sehingga tidak enak jika harus terlambat.
Erwin terus melaju dan menatap lurus, tanpa melihat sekeliling. Hingga tiba-tiba ada seseorang memanggilnya.
“Hei, lo! Hei, lo yang naik sepeda!” panggil orang itu.
Erwin kontan mengerem sepedanya dan berbalik. Ia melihat seorang anak berlari menghampirinya. Tubuh anak itu kecil. Jika saja ia tak memakai seragam SMP, Erwin pasti mengira dia masih SD.
“Ada apa? Sepertinya kamu sedang bingung,” tanya Erwin.
“Lo anak SMP Kusuma kan? Boncengin gue dong, hehe…” pintanya.
“Iya, tak apa-apa,” jawab Erwin dengan senang hati. “Tapi ngomong-ngomong, kamu itu yang namanya Tommy, ya?”
“Kok tahu? Baru beberapa hari aja, gue udah terkenal ternyata,” sahut Tommy sok-sokan.
“Bukan, di seragam kamu kan sudah tertera namanya, hehe…,” canda Erwin. “Ya sudah, ayo kuboncengi. Ini sudah hampir terlambat.”
Dengan muka sedikit cemberut, anak kecil bernama Tommy itu membonceng di sepeda mini Erwin.
Di tengah perjalanan, Tommy bertanya pada Erwin. “Oh, iya. Nama lo siapa?”
“Namaku Erwin,” jawab Erwin sambil terus mengayuh. “Ngomong-ngomong rumahmu di mana? Apa kamu jalan kaki ke sekolah?”
“Rumah gue lumayan jauh, sih. Cuman tadi habis ngecengin cewek di bus, hehe… Terus baru sadar kalo sekolah udah kelewatan,” jelas Tommy.
“Lalu kamu turun dari bus. Saat kamu melihatku bersepeda, kamu pun minta diantar sekalian. Begitukah?” tebak Erwin.
“Kok tahu? Wah, lo pasti paranormal!” sahut Tommy asal-asalan.
Diselingi obrolan saat perjalanan, mereka berdua tak terasa sudah dekat dengan sekolah. Sekitar dua ratus meter lagi mereka sampai. Tapi…, Teeeeet! Bel sekolah berbunyi dengan keras, terdengar sampai jauh di luar.
Mendengar itu, Erwin langsung melajukan sepedanya dengan sangat kencang, hingga tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang.
Namun nasib malang menimpa mereka. Gerbang sekolah baru saja ditutup oleh Pak Satpam.
Berlanjut ke Bab 1 Akhir...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar