B
|
ELUM genap pukul setengah enam, Erwin kecil berusia sepuluh
tahun sudah duduk-duduk di teras rumah. Hari itu hari Minggu sehingga Erwin
memang perlu mengusir jenuhnya bersekolah. Ia duduk sendirian, menikmati
suasana pagi yang tiada duanya. Hembusan angin pagi menerpa wajahnya, meniup
lembut rambut bergelombangnya itu. Pikiran Erwin pun mengembara, menjelajahi
dunia imajinasi tanpa batas.
Khayalannya tiba-tiba kabur
melihat seorang gadis seusianya bersepeda menuju rumahnya. Erwin kecil mengenal
gadis itu. Rambutnya yang kecokelatan dan dikuncir seperti ekor kuda sudah
menjadi ciri khasnya. Ia menghampiri dan hendak menanyai gadis itu, tapi tak
sepatah kata keluar dari mulut Erwin.
“Wiin, sepedaan, yuk!” ajak gadis
itu. Matanya yang bulat memancarkan kepolosan dan kejujuran.
Erwin tersenyum. “Ayo,” jawabnya
singkat.
Erwin mengambil sepedanya di
garasi, lalu dengan semangat bersepeda dengan gadis itu. Sepanjang perjalanan,
Erwin diam. Sebenarnya sedari tadi, ia ingin mengucapkan banyak sekali
perkataan. Tapi entah mengapa lidahnya menjadi kelu.
“Kok diem aja sih?” tanya gadis
itu heran.
“Mm… Tidak ada apa-apa, kok.
Memang aku yang pendiam,” jawab Erwin sekenanya.
“Kalo gitu, aku ajak ngomong, deh,
biar nggak bosen,” sahutnya. “Kamu pasti bertanya-tanya kan, kok tumben banget
seorang Kiran ngajakin sepedaan pagi-pagi?”
“Iya. Memangnya hendak ke mana,
Ran?”
“Aku mau ngajakin kamu ke suatu
tempat yang bagus. Aku ajak pagi-pagi biar tempat itu kelihatan lebih bagus.
Kamu pasti kagum, deh, waktu lihat,” jelas Kiran.
“Tempat apa?” tanya Erwin singkat.
“Ada deeh… Biar penasaran dulu.”
Kiran tertawa kecil.
Erwin sebenarnya tak tahu hendak
ke mana. Jalan yang dilewatinya dengan Kiran pun masih asing. Namun Erwin
menikmati perjalanan itu dengan Kiran. Sesekali ia memandangi wajah Kiran
sambil tersenyum, sampai-sampai hampir menabrak apa yang ada di depannya. Dan
Kiran juga tersenyum hangat melihat tingkah laku Erwin.
Mereka berdua lalu masuk ke sebuah
gang. Di papan nama gang itu bertuliskan “Gang Buntu”. Merasa bingung membaca
namanya, Erwin pun menggumam.
“Gang Buntu…?”
“Iya, emang buntu. Aku nemuin
tempat ini waktu njelajah-njelajah nggak jelas gitu,” sahut Kiran sambil
nyengir.
“Oh, gitu.” Erwin manggut-manggut.
Sesampainya di ujung gang, Kiran
memarkirkan sepedanya, lalu menunjukkan pada Erwin sebuah pemandangan yang
indah.
“Coba lihat, Win! Padang rumput
yang indah dan luas!” seru Kiran senang.
“Wow…” Erwin takjub.
Padang rumput terbentang di depan
mata mereka berdua, dikepung oleh sawah-sawah dengan sebuah saung untuk
beristirahat. Rerumputan hijau bergoyang mengikuti arah angin dengan embun yang
masih menempel di permukaannya. Bunga-bunga yang berwarna-warni serta matahari
yang belum terlalu tinggi ikut menyemarakkan keindahannya.
Erwin dan Kiran bermain bersama di
sana, mulai dari berkejar-kejaran sampai menangkap belalang. Hingga akhirnya
mereka lelah dan duduk berdua di sebuah saung.
“In… indah banget, ya, Ran? Mm…
Rasanya pingin di sini terus,” kata Erwin.
Kiran tak menjawab. Erwin heran,
lalu memandang wajahnya. Wajah Kiran tiba-tiba saja menjadi datar.
“Win, udah mau setengah tujuh!”
Kiran berkata dengan nada aneh.
“Memangnya kenapa?” sahut Erwin.
“Ini hari pertama kamu pakai
seragam SMP!” Kiran entah bagaimana malah menyiramkan gelas berisi air padanya.
“Hah…?” Erwin mulai sadar. Ia
membuka mata dan melihat ibunya membawa gelas. “Oh… ternyata mimpi itu lagi,”
gumamnya.
“Win, ayo mandi, nanti telat,”
kata ibunya. “Jam weker kamu tadi bunyi terus masa nggak kedengeran?”
“Eh, sudah jam berapa ini?” Erwin
sekilas melirik jam wekernya. Ia pun langsung panik, kemudian melesat menuju
kamar mandi.
***
Beberapa saat kemudian, Erwin
sudah keluar dari rumah mengendarai sepeda mini milik kakaknya. Ia cepat-cepat
pergi ke sekolah. Hari ini memang hari pertama Erwin setelah masa orientasi
sehingga tidak enak jika harus terlambat.
Erwin terus melaju dan menatap
lurus, tanpa melihat sekeliling. Hingga tiba-tiba ada seseorang memanggilnya.
“Hei, lo! Hei, lo yang naik
sepeda!” panggil orang itu.
Erwin kontan mengerem sepedanya
dan berbalik. Ia melihat seorang anak berlari menghampirinya. Tubuh anak itu
kecil. Jika saja ia tak memakai seragam SMP, Erwin pasti mengira dia masih SD.
“Ada apa? Sepertinya kamu sedang
bingung,” tanya Erwin.
“Lo anak SMP Kusuma kan? Boncengin
gue dong, hehe…” pintanya.
“Iya, tak apa-apa,” jawab Erwin
dengan senang hati. “Tapi ngomong-ngomong, kamu itu yang namanya Tommy, ya?”
“Kok tahu? Baru beberapa hari aja,
gue udah terkenal ternyata,” sahut Tommy sok-sokan.
“Bukan, di seragam kamu kan sudah
tertera namanya, hehe…,” canda Erwin. “Ya sudah, ayo kuboncengi. Ini sudah
hampir terlambat.”
Dengan muka sedikit cemberut, anak
kecil bernama Tommy itu membonceng di sepeda mini Erwin.
Di tengah perjalanan, Tommy
bertanya pada Erwin. “Oh, iya. Nama lo siapa?”
“Namaku Erwin,” jawab Erwin sambil
terus mengayuh. “Ngomong-ngomong rumahmu di mana? Apa kamu jalan kaki ke
sekolah?”
“Rumah gue lumayan jauh, sih.
Cuman tadi habis ngecengin cewek di bus, hehe… Terus baru sadar kalo sekolah udah
kelewatan,” jelas Tommy.
“Lalu kamu turun dari bus. Saat
kamu melihatku bersepeda, kamu pun minta diantar sekalian. Begitukah?” tebak
Erwin.
“Kok tahu? Wah, lo pasti
paranormal!” sahut Tommy asal-asalan.
Diselingi obrolan saat perjalanan,
mereka berdua tak terasa sudah dekat dengan sekolah. Sekitar dua ratus meter
lagi mereka sampai. Tapi…, Teeeeet! Bel sekolah berbunyi dengan keras,
terdengar sampai jauh di luar.
Mendengar itu, Erwin langsung
melajukan sepedanya dengan sangat kencang, hingga tak lama kemudian, mereka
sampai di depan gerbang.
Namun nasib malang menimpa mereka.
Gerbang sekolah baru saja ditutup oleh Pak Satpam.
Berlanjut ke Bab 1 Akhir...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar