Kamis, 26 Juni 2014

Bab 3: Sambal Setan (Akhir)

“Hmm… My feeling nggak enak,” gumam Surdi.
Mereka berlima pun memarkirkan sepeda, lalu masuk ke restoran itu.
“Haa…?” Keempat cowok itu tercengang melihat bagian dalam restoran.
Bagian dalamnya terlihat klasik dengan dinding yang memajang berbagai lukisan dan kepala hewan, juga dilengkapi beberapa penyejuk ruangan. Meja-meja kayu berbentuk oval disediakan di sana dengan enam kursi untuk setiap meja. Dan yang mencengangkan, pelayannya berkostum setan. Dari kostum seperti drakula dan frankenstein hingga kostum tuyul dan kuntilanak ada semua.
“Nah, kalian duduk aja di meja yang kalian sukai. Gua mau pesen makanan di kasir dulu. Minumnya es teh semua, ya?” kata Mega.
“Oke, Meg!” seru cowok-cowok itu kompak.
Mereka pun duduk di salah satu meja. Mereka mengagumi keadaan tidak biasa di ruangan itu, kecuali satu orang, yaitu Surdi. Di dalam ruangan ber-AC, Surdi justru berkeringat. Ekspresinya terlihat cemas dan takut, meski ditutup-tutupi.
“Hebat, ya, Gan? Bisa bikin restoran seunik ini,” puji Tofan.
“Iya, Fan. Coba liat kostum pelayannya. Gokil banget,” sahut Tommy. “Tapi, kenapa nggak ada yang pake kostum pocong, ya?”
“Udah jelas, kan, Tom? Kalau pake kostum pocong, gimana bisa mbawain nampan atau mbersihin meja?” sahut Tofan.
“Oh iya, bener juga, hehe…” kata Tommy sambil membayangkan kostum pocongnya.
Sementara itu, Erwin mengamati wajah Surdi yang aneh dan berkeringat. “Sur, dingin-dingin seperti ini kok kamu bisa berkeringat?”
“Ah, it’s okay. Maybe karena habis sepedaan tadi, jadi keringetan,” sahut Surdi.
“Jangan-jangan lo takut, ya, Sur?” tanya Tommy.
“Siapa yang scared? I nggak.., nggak scared, kok,” sangkal Surdi.
“Makanannya akan segera dianter kemari,” ujar Mega yang baru kembali. Ia kemudian duduk di kursi sebelah Surdi. Tapi ia tiba-tiba melihat kejanggalan di kaki Surdi. “Sur, kaki lu kenapa gemeteran?” tanya Mega.
“What? Err… nggak, kok. I cuma nggoyang-nggoyangin kaki aja soalnya lagi bored,” sangkal Surdi lagi.
Tiba-tiba seorang pelayan berkostum mumi menyentuh pundak Surdi dari belakang. Mata anak-anak itu kontan tertuju pada si pelayan yang membawakan nampan berisi pesanan. Pelayan itu menaruh pesanan di atas meja, lalu kembali.
“Cuma satu porsi?” Tommy terkejut.
“Kalian berempat coba habisin aja dulu. Kalau cuma satu porsi, justru nguntungin kalian kan?” sahut Mega.
“Berempat? Gue rasa bertiga,” kata Tofan sambil menunjuk Surdi yang pingsan.
“Ckckck… Ketakutan, ya?” Mega berdecak heran. “Belum makan aja udah pingsan.”
“Biarin aja si Surdi itu, nanti juga bangun sendiri. Yang penting sekarang, ayo makan!” Tommy bersemangat sembari mengambil sendok dan garpu.
Erwin dan Tofan menyusul mengambil sendok dan garpu. Tapi, Tofan ragu-ragu menyuap makanannya. Nasi goreng itu terlihat begitu merah. Bagi Tofan, walau dilengkapi sayuran dan telur dadar, nasi goreng itu masih tampak seperti api merah yang siap membakar lidahnya.
Yang pertama kali mencoba nasi goreng itu adalah Tommy. Pada suapan pertama, mata Tommy langsung membelalak dan wajahnya berkeringat. “Wow!” serunya. Ia pun dengan lahap kembali menyuap nasi goreng itu.
Erwin juga mencoba menyuap nasi gorengnya. Namun pada suapan pertama, muka Erwin langsung berubah merah karena pedasnya. “Makanan macam apa ini?” keluhnya.
“Fan, kok cuma diliatin? Cobain dong,” tantang Mega.
Tofan diam saja.
“Nunggu apaan, sih? Nunggu gua suapin?” tanya Mega.
“Jangan nyuapin Tofan, Meg. Nyuapin gue aja,” sahut Tommy iseng.
Karena didesak, Tofan mencoba sesuap nasi goreng itu. Tapi, lidahnya langsung panas. “Waa, pedees!” Tofan pun segera menghabiskan segelas es tehnya.
“Sesendok udah nyerah, Fan?” sindir Mega.
“Ah, sialan. Gue nggak doyan pedes, tauk,” jawab Tofan sedikit malu.
“Nggak usah malu, Fan. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan,” sahut Erwin.
Setelah beberapa lama, Erwin pun tak kuat menghabiskan nasi goreng itu. Kini tinggal Tommy yang berjuang menghabiskannya.
Erwin menghabiskan minumannya, tapi ia masih kepedasan. Ia menjulurkan lidahnya. Biar lidahnya dingin, katanya.
“Huaaaah! Pedas sekali!” kata Tommy sambil mengipasi lidahnya dengan tangan. Ia lalu minum es tehnya hingga tinggal setengah.
“Ayo, Tom, semangat! Kurang sedikit lagi!” Erwin dan Tofan menyemangati Tommy yang terus makan.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara sendok beradu dengan piring. Rupanya Tommy sudah menghabiskan nasi goreng itu. Dengan wajah yang merah dan berkeringat, Tommy mengacungkan jempolnya pada Mega sambil tersenyum lebar.
Plok, plok, plok! Mega bertepuk tangan melihat hasil kerja Tommy. “Hebat lu, Tom!” pujinya.
Mendengar suara tepukan tangan, Surdi pun terbangun, persis seperti orang yang habis dihipnotis di acara TV.
“I habis dihipnotis, ya?” tanyanya linglung.
“Iya, Gan. Lo habis dihipnotis sama mumi,” sahut Tofan.
“Waa! Where is the mummy?” Surdi terkejut sambil celingukan. Saat melihat piring kosong di depan Tommy, ia bertanya lagi. “Where is my fried rice?”
“Tantangannya udah diselesaiin Tommy. Lu telat, Sur,” jawab Mega.
“Yaaah, padahal kalau I ikut makan, I bisa ngabisin tanpa bantuan you bertiga,” sahut Surdi sok-sokan.
“Mm… Tunggu, Meg. Sebenarnya aku punya pertanyaan,” kata Erwin pada Mega. “Mengapa kita harus makan nasi goreng? Dan mengapa juga harus di sini? Kalau dipikir-pikir, tak ada hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan.”
“Iseng aja, sih. Gua mau liat wajah lu itu kalo kepedesan. Haha…” jawab Mega sambil tertawa.
“Ternyata orang yang disiplin kayak lo bisa iseng juga,” sahut Tommy sambil mengelap keringat di wajahnya dengan tisu.
“Ya udahlah, pokoknya masalah kita sudah selesai. Sekarang, ayo kita pulang,” ajak Tofan.
Mereka berlima pun pulang dengan bersepeda bersama. Sepanjang jalan, mereka mengobrol dan bercanda. Mega yang tak pernah punya teman dekat itu menjadi senang dengan kehadiran keempat cowok itu.
Saat rumahnya sudah dekat, Mega berkata pada teman-temannya. “Mm… temen-temen, seneng deh bisa sepedaan sama kalian.”
“Kita juga senang,” sahut Erwin.
“Kalau lo mau, tiap hari Minggu pagi lo bisa ikut kita sepedaan, kok,” sambung Tofan.
“Beneran? Wah, boleh juga, tuh.” Mega menyahut senang.
Tak lama, Mega telah sampai di rumahnya. Ia pun berpamitan dengan teman-temannya. “Temen-temen, duluan, ya!”
Tak disadari, dari tadi ada mobil sedan hitam yang membuntuti mereka. Dalam mobil itu ada dua orang pria yang berpenampilan layaknya preman. Yang jadi sopir bertubuh gemuk dan yang di sebelahnya bertubuh cungkring.
“Yang itu kan anaknya?” tanya si gemuk sambil menunjuk dari dalam mobil.
“Ya iya lah. Lo nggak liat apa, dia masuk ke rumah mewah itu?” jawab si cungkring.
“Oh iya, ya,” sahut si gemuk sambil manggut-manggut. “Jadi, kapan misi kita dimulai?”
“Harus secepatnya. Mungkin besok pagi.”
Berlanjut ke Bab 4 (Awal)...

Kamis, 19 Juni 2014

Bab 3: Sambal Setan (Awal)

D
I kota itu, ada sebuah tempat yang selalu ramai oleh pelajar laki-laki. Bahkan pada hari-hari libur sekalipun! Tempat itu bernama “Planet”. Tapi Planet bukanlah nama sekolah atau tempat bimbingan belajar, melainkan warnet yang terkenal sebagai markas para pemain Futsol.
Seperti pada hari Minggu ini. Dari pukul enam sampai hampir pukul sepuluh, warnet itu masih ramai saja. Halaman parkirnya penuh oleh kendaraan roda dua, mulai dari sepeda ontel hingga motor gede ada semua. Bahkan terkadang, delman pun ada! Sungguh ajaib warnet itu.
Namun keajaiban Planet sudah biasa dirasakan oleh pelanggannya, termasuk Erwin, Surdi, Tommy, dan Tofan. Mereka pergi ke Planet setiap hari Minggu. Dan seandainya saja tidak ada janji dengan Mega, mereka pasti masih bermain Futsol di dalam.
“Ayo, Gan. Kita segera ke restoran itu. Nanti Mega marah kalau kita nggak tepat waktu,” ajak Tofan di halaman parkir Planet.
“Ah, nggak pa-pa. Kita kan orang Indonesia, biasa ngaret,” sahut Tommy santai.
“Tapi kalian tidak mau kalau Mega marah dan menambah dendanya kan?” sambung Erwin.
“Of course, I nggak mau. Ayo, guys! Let’s go!” kata Surdi semangat.
Mereka berempat pun mengambil sepeda mereka dan segera beranjak dari Planet.
Di tengah perjalanan, Tofan membatin. Restoran Sambal Setan itu kayak gimana, ya? Dari namanya kok kayaknya pedas banget masakannya. Tapi, gue kan nggak doyan pedas. Masa gue ngaku? Gengsi dong. Masa ketua kelas 7H, pencipta sistem denda nggak doyan pedas?
“Win, restoran Sambal Setan itu yang mana sih?” tanya Tofan, hanya untuk mengetahui seberapa pedas masakannya.
“Yang itu…, depannya kantor pos,” jawab Erwin.
“Katanya makanan di sana pedas-pedas, ya?” tanya Tofan lagi.
“Katanya begitu. Tapi aku juga tak tahu pasti, soalnya aku belum pernah ke sana. Hanya pernah lewat.”
“Oh, ya udah,” kata Tofan yang sama sekali tidak bertambah lega.
Saat itu, mereka bersepeda melewati rumah-rumah pinggir jalan. Seorang anak kecil yang sedang duduk di teras rumahnya pun heran saat melihat mereka.
“Apa itu?” kata anak kecil itu. Ia melihat ada empat pesepeda dengan pakaian warna-warni. Dia mengira mereka adalah sosok asli Power Rangers yang ia tonton tiap minggu.
“Woii, Power Rangers!” teriak anak kecil itu sambil berlari ke pinggir jalan. Namun, suara anak kecil itu kalah oleh suara truk yang lewat.
Telinga Erwin yang lumayan tajam mendengar suara anak itu samar-samar. “Hei, teman-teman, apa kalian dengar suara anak kecil?” tanya Erwin.
“Suara apa?” Tofan bertanya balik.
“Katanya, ‘Power Rangers’,” sahut Erwin.
“Power Rangers? Maybe karena pakaian kita warna-warni kayak Power Rangers, hehe…” tambah Surdi.
“Ada-ada aja,” komentar Tommy.
Jika dilihat, mereka memang lucu dengan pakaian yang warna-warni. Hal itu membuat mereka menjadi pusat perhatian. Erwin dengan jaket biru Chelsea bekas kakaknya, Tofan dengan jaket merah Liverpool, Surdi dengan jaket hijau bertuliskan “Go Green!”, dan Tommy hanya berkaos oblong hitam dengan lambang Garuda Pancasila di bagian depan.
Kring, kring! Tiba-tiba dari belakang, menyaliplah sebuah sepeda. Dan orang di atas sepeda itu adalah Mega. Cewek itu memakai jaket kuning dengan celana training.
“Hei!” sapa Mega.
“Hei, lo kok sepedaan sendirian?” tanya Tommy.
“Kebalik. Harusnya gua yang nanya. Kalian kok sepedaan bareng?” tanya Mega balik.
“Kita kan emang suka sepedaan bareng,” sahut Tofan.
“Kok bisa? Perasaan jarak rumah kalian agak jauh,” tanya Mega lagi.
“Because we have satu tujuan, yaitu main Futsol di Planet,” jelas Surdi.
“Jadi, main game itu tak selalu berkesan negatif. Kita bisa punya teman karenanya,” lanjut Erwin.
“Tapi tetep banyak negatifnya, kan?” sanggah Mega.
“Yeah, whatever,” sahut Surdi lagi. “By the way, mana sih, the restaurant? I udah nggak sabar ngabisin the fried rice.”
“Setengah porsi aja lu belum tentu bisa ngabisin, lho,” kata Mega sambil tersenyum penuh arti.
Dalam percakapannya sepanjang perjalanan, Mega sebenarnya iri dengan mereka. Mega tak pernah punya teman dekat. Di lingkungan tempat tinggal Mega, para tetangga terlihat enggan jika dekat-dekat dengan keluarga Mega. Anak-anak tetangga yang seumuran pun dilarang orangtuanya untuk bergaul dengan Mega. Karena katanya, orangtua Mega itu terkenal galak, pelit, dan sombong. Oleh sebab itulah, Mega bersikap tegas dan disiplin di kelas untuk menutupi rasa sepi dan sedihnya.
Akhirnya, mereka berlima sampai di restoran Sambal Setan. Jika dilihat dari luar, restoran itu lebih mirip rumah angker. Bangunannya terlihat seperti rumah kuno yang tak terurus. Yang membedakannya hanya spanduk di depan rumah dan plang di pinggir jalan yang bertuliskan: “Restoran Sambal Setan. Pedesnya serem!”. Di samping tulisan itu ada logo restorannya, yaitu gambar kuntilanak yang ngulek sambal dengan cobek.
“Hmm… My feeling nggak enak,” gumam Surdi.
Berlanjut ke Bab 3 (Akhir)...