“Hmm… My feeling nggak enak,”
gumam Surdi.
Mereka berlima pun memarkirkan
sepeda, lalu masuk ke restoran itu.
“Haa…?” Keempat cowok itu
tercengang melihat bagian dalam restoran.
Bagian dalamnya terlihat klasik
dengan dinding yang memajang berbagai lukisan dan kepala hewan, juga dilengkapi
beberapa penyejuk ruangan. Meja-meja kayu berbentuk oval disediakan di sana
dengan enam kursi untuk setiap meja. Dan yang mencengangkan, pelayannya
berkostum setan. Dari kostum seperti drakula dan frankenstein hingga kostum
tuyul dan kuntilanak ada semua.
“Nah, kalian duduk aja di meja
yang kalian sukai. Gua mau pesen makanan di kasir dulu. Minumnya es teh semua,
ya?” kata Mega.
“Oke, Meg!” seru cowok-cowok itu
kompak.
Mereka pun duduk di salah satu
meja. Mereka mengagumi keadaan tidak biasa di ruangan itu, kecuali satu orang,
yaitu Surdi. Di dalam ruangan ber-AC, Surdi justru berkeringat. Ekspresinya
terlihat cemas dan takut, meski ditutup-tutupi.
“Hebat, ya, Gan? Bisa bikin
restoran seunik ini,” puji Tofan.
“Iya, Fan. Coba liat kostum
pelayannya. Gokil banget,” sahut Tommy. “Tapi, kenapa nggak ada yang pake
kostum pocong, ya?”
“Udah jelas, kan, Tom? Kalau pake
kostum pocong, gimana bisa mbawain nampan atau mbersihin meja?” sahut Tofan.
“Oh iya, bener juga, hehe…” kata
Tommy sambil membayangkan kostum pocongnya.
Sementara itu, Erwin mengamati
wajah Surdi yang aneh dan berkeringat. “Sur, dingin-dingin seperti ini kok kamu
bisa berkeringat?”
“Ah, it’s okay. Maybe karena habis
sepedaan tadi, jadi keringetan,” sahut Surdi.
“Jangan-jangan lo takut, ya, Sur?”
tanya Tommy.
“Siapa yang scared? I nggak..,
nggak scared, kok,” sangkal Surdi.
“Makanannya akan segera dianter
kemari,” ujar Mega yang baru kembali. Ia kemudian duduk di kursi sebelah Surdi.
Tapi ia tiba-tiba melihat kejanggalan di kaki Surdi. “Sur, kaki lu kenapa
gemeteran?” tanya Mega.
“What? Err… nggak, kok. I cuma
nggoyang-nggoyangin kaki aja soalnya lagi bored,” sangkal Surdi lagi.
Tiba-tiba seorang pelayan berkostum
mumi menyentuh pundak Surdi dari belakang. Mata anak-anak itu kontan tertuju
pada si pelayan yang membawakan nampan berisi pesanan. Pelayan itu menaruh
pesanan di atas meja, lalu kembali.
“Cuma satu porsi?” Tommy terkejut.
“Kalian berempat coba habisin aja
dulu. Kalau cuma satu porsi, justru nguntungin kalian kan?” sahut Mega.
“Berempat? Gue rasa bertiga,” kata
Tofan sambil menunjuk Surdi yang pingsan.
“Ckckck… Ketakutan, ya?” Mega
berdecak heran. “Belum makan aja udah pingsan.”
“Biarin aja si Surdi itu, nanti
juga bangun sendiri. Yang penting sekarang, ayo makan!” Tommy bersemangat
sembari mengambil sendok dan garpu.
Erwin dan Tofan menyusul mengambil
sendok dan garpu. Tapi, Tofan ragu-ragu menyuap makanannya. Nasi goreng itu terlihat
begitu merah. Bagi Tofan, walau dilengkapi sayuran dan telur dadar, nasi goreng
itu masih tampak seperti api merah yang siap membakar lidahnya.
Yang pertama kali mencoba nasi
goreng itu adalah Tommy. Pada suapan pertama, mata Tommy langsung membelalak
dan wajahnya berkeringat. “Wow!” serunya. Ia pun dengan lahap kembali menyuap
nasi goreng itu.
Erwin juga mencoba menyuap nasi
gorengnya. Namun pada suapan pertama, muka Erwin langsung berubah merah karena
pedasnya. “Makanan macam apa ini?” keluhnya.
“Fan, kok cuma diliatin? Cobain
dong,” tantang Mega.
Tofan diam saja.
“Nunggu apaan, sih? Nunggu gua
suapin?” tanya Mega.
“Jangan nyuapin Tofan, Meg.
Nyuapin gue aja,” sahut Tommy iseng.
Karena didesak, Tofan mencoba
sesuap nasi goreng itu. Tapi, lidahnya langsung panas. “Waa, pedees!” Tofan pun
segera menghabiskan segelas es tehnya.
“Sesendok udah nyerah, Fan?”
sindir Mega.
“Ah, sialan. Gue nggak doyan
pedes, tauk,” jawab Tofan sedikit malu.
“Nggak usah malu, Fan. Semua orang
punya kelebihan dan kekurangan,” sahut Erwin.
Setelah beberapa lama, Erwin pun
tak kuat menghabiskan nasi goreng itu. Kini tinggal Tommy yang berjuang
menghabiskannya.
Erwin menghabiskan minumannya,
tapi ia masih kepedasan. Ia menjulurkan lidahnya. Biar lidahnya dingin, katanya.
“Huaaaah! Pedas sekali!” kata Tommy
sambil mengipasi lidahnya dengan tangan. Ia lalu minum es tehnya hingga tinggal
setengah.
“Ayo, Tom, semangat! Kurang
sedikit lagi!” Erwin dan Tofan menyemangati Tommy yang terus makan.
Beberapa menit kemudian, terdengar
suara sendok beradu dengan piring. Rupanya Tommy sudah menghabiskan nasi goreng
itu. Dengan wajah yang merah dan berkeringat, Tommy mengacungkan jempolnya pada
Mega sambil tersenyum lebar.
Plok, plok, plok! Mega bertepuk
tangan melihat hasil kerja Tommy. “Hebat lu, Tom!” pujinya.
Mendengar suara tepukan tangan,
Surdi pun terbangun, persis seperti orang yang habis dihipnotis di acara TV.
“I habis dihipnotis, ya?” tanyanya
linglung.
“Iya, Gan. Lo habis dihipnotis
sama mumi,” sahut Tofan.
“Waa! Where is the mummy?” Surdi
terkejut sambil celingukan. Saat melihat piring kosong di depan Tommy, ia
bertanya lagi. “Where is my fried rice?”
“Tantangannya udah diselesaiin
Tommy. Lu telat, Sur,” jawab Mega.
“Yaaah, padahal kalau I ikut
makan, I bisa ngabisin tanpa bantuan you bertiga,” sahut Surdi sok-sokan.
“Mm… Tunggu, Meg. Sebenarnya aku
punya pertanyaan,” kata Erwin pada Mega. “Mengapa kita harus makan nasi goreng?
Dan mengapa juga harus di sini? Kalau dipikir-pikir, tak ada hubungannya dengan
perbuatan yang kita lakukan.”
“Iseng aja, sih. Gua mau liat
wajah lu itu kalo kepedesan. Haha…” jawab Mega sambil tertawa.
“Ternyata orang yang disiplin
kayak lo bisa iseng juga,” sahut Tommy sambil mengelap keringat di wajahnya
dengan tisu.
“Ya udahlah, pokoknya masalah kita
sudah selesai. Sekarang, ayo kita pulang,” ajak Tofan.
Mereka berlima pun pulang dengan
bersepeda bersama. Sepanjang jalan, mereka mengobrol dan bercanda. Mega yang
tak pernah punya teman dekat itu menjadi senang dengan kehadiran keempat cowok
itu.
Saat rumahnya sudah dekat, Mega
berkata pada teman-temannya. “Mm… temen-temen, seneng deh bisa sepedaan sama
kalian.”
“Kita juga senang,” sahut Erwin.
“Kalau lo mau, tiap hari Minggu
pagi lo bisa ikut kita sepedaan, kok,” sambung Tofan.
“Beneran? Wah, boleh juga, tuh.”
Mega menyahut senang.
Tak lama, Mega telah sampai di
rumahnya. Ia pun berpamitan dengan teman-temannya. “Temen-temen, duluan, ya!”
Tak disadari, dari tadi ada mobil
sedan hitam yang membuntuti mereka. Dalam mobil itu ada dua orang pria yang
berpenampilan layaknya preman. Yang jadi sopir bertubuh gemuk dan yang di
sebelahnya bertubuh cungkring.
“Yang itu kan anaknya?” tanya si gemuk
sambil menunjuk dari dalam mobil.
“Ya iya lah. Lo nggak liat apa, dia
masuk ke rumah mewah itu?” jawab si cungkring.
“Oh iya, ya,” sahut si gemuk
sambil manggut-manggut. “Jadi, kapan misi kita dimulai?”
“Harus secepatnya. Mungkin besok
pagi.”
Berlanjut ke Bab 4 (Awal)...