Rabu, 27 Agustus 2014

Quotes The Rangers Begin

D
I bawah ini ditampilkan beberapa quote atau kutipan kata-kata dari tokoh-tokoh dalam cerita petualangan The Rangers Begin. Tunggulah keseruan cerita para Ranger saat mereka sudah kelas XI SMA!

ERWIN
  • “Main game itu tak selalu berkesan negatif. Kita bisa punya teman karenanya.” 
  • “Mungkin kalau kata Surdi, ‘Life isn’t a movie’, hidup ini bukan seperti yang ada di film.” 
  • “Masa-masa itu takkan kembali lagi. Kita hanya bisa berusaha di masa kini demi masa depan yang lebih cerah.”
MEGA

  • “Kita kan punya hati nurani. Kita bisa ngebedain mana yang bener dan salah, mana yang baik dan buruk. Kalau kita ngelakuin yang salah dan buruk, berarti kita melanggar aturan.”
SURDI

  • “I nggak pernah bilang kalau ‘life isn’t a movie’. Life… is… a movie… Kitalah tokoh utamanya. But, yang nentuin kelanjutan movie ini adalah we sendiri, entah we make it better or worse.” –kepada Erwin yang sedang ragu. 
  • “Surdi is always ready.” 
  • “Itu cara biasa. An athlete akan lakuin dengan cara athlete.” –saat hendak membangunkan pelayan restoran Sambal Setan dari hipnotis dengan jurus Fireball Kick. 
  • “Yang paling penting itu our friendship feeling. Jadi, meski jauh di mata, tetep deket in our heart. Itulah The Rangers.”
TOFAN
  • “Nggak usah banyak mikir, Gan. Yang penting kita nyoba ngelakuin hal yang baik.”
TOMMY
  • “Kita kan orang Indonesia, biasa ngaret.” 
  • “Ah, omong kosong. Suatu saat nanti, kita pasti bisa ketemu lagi. Gue yakin.” –kepada Mega yang takut jika tidak bisa bertemu lagi.

Rabu, 13 Agustus 2014

Epilog "The Rangers Begin"

“A
PA you nggak bawa senter? Nggak enak kalo telling story sambil gelap-gelapan,” kata seorang cowok di padang rumput yang gelap itu.
“Santai, kali,” sahut seorang cewek. “Lagipula ceritanya udah selesai.”
“Tapi, nggak enak juga kalo diliat. Nanti dikira kita ngapa-ngapain,” sambung cowok yang lain. “Gue bawa lampu emergensi, nih. Gue nyalain, ya.” Cowok itu merogoh sesuatu di tasnya, lalu mengeluarkan lampu.
Begitu lampu menyala, terlihatlah wajah-wajah mereka. Ternyata mereka adalah Tofan, Erwin, Surdi, Tommy, dan Mega. Malam-malam, mereka nongkrong di padang rumput itu, mengamati bulan dan bintang-bintang yang bersinar terang. Padang rumput yang sama saat Erwin diajak Kiran bersepeda untuk pertama kali dan saat Mega membuntutinya sebelum diculik.
“Kangen, deh, sama masa-masa SMP kita,” kata Mega memulai obrolan.
“Masa-masa itu takkan kembali lagi. Kita hanya bisa berusaha di masa kini demi masa depan yang lebih cerah,” sahut Erwin.
“Lagipula we juga udah lulus,” sambung Surdi.
“Tapi, Meg, apa lo serius mau ngelanjutin SMA di Bali?” tanya Tofan.
“Gua nggak punya pilihan lain. Maaf, ya, temen-temen,” jawab Mega sambil menahan air matanya keluar. “Mungkin ini kali terakhir kita kumpul bareng.”
“Ah, omong kosong,” sahut Tommy yang baru kali ini tampak serius. “Suatu saat nanti, kita pasti bisa ketemu lagi. Gue yakin.”
“That’s right, Tommy,” sambung Surdi. “Lagipula yang paling penting itu our friendship feeling. Jadi, meski jauh di mata, tetep deket in our heart. Itulah The Rangers.”
“Ngomong-ngomong soal The Rangers, gua punya sesuatu buat kalian,” sahut Mega. Ia lalu mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Tampak empat buah gelang karet yang “glow in the dark” di tangannya. Masing-masing memiliki warna yang berbeda.
Mega kemudian membagi gelangnya pada keempat cowok itu. “Itu gelang buat kalian. Warnanya matching sama jaket kalian. Buat kenang-kenangan aja,” kata Mega.
“Terus, gelang buat lo sendiri mana, Meg?” tanya Tommy.
“Nggak ada. Soalnya gua bukan The Rangers,” tutur Mega.
“Bagaimana bisa? Dinamai The Rangers karena kita selalu berlima seperti Power Rangers,” sanggah Erwin.
“Nggak. Gua nggak sama kayak kalian,” jawab Mega. “Kalian cowok, gua cewek. Kalian suka ngenet buat main game, gua enggak. Kalian juga sebenernya nggak suka gua denda, kan? Lagipula kita nggak akan berlima lagi setelah ini. Gua akan pindah.”
“But…,” sambung Surdi. “You tetep bagian dari The Rangers. Kalau you nggak mau dipanggil Ranger, you bisa we panggil The Rangers’ Special Agent.”
“Hmm, terserah deh,” sahut Mega.
Selama beberapa saat, mereka saling curhat soal impian dan harapan di masa mendatang. Namun, perasaan sedih mereka tak bisa ditutupi. Tommy yang jenuh pun mencairkan suasana saat itu.
“Udah, ah, jangan sedih-sedihan lagi. Mending kita nyanyi sambil gitaran ria. Betul, nggak, Sur?” ujarnya.
“That’s right, Tommy!”
Mereka kemudian bernyanyi bersama lagu dari Bondan Prakoso & Fade2Black yang bertajuk “Kita Selamanya”.
“Bergegaslah, kawan… ‘tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman ‘tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat… Kita untuk s’lamanya!”
Begitu lagu selesai, di langit tampak sebuah bintang jatuh. “Hei, temen-temen! Lihat, ada bintang jatuh!” seru Mega.
Mereka berlima pun membatin, mengucapkan suatu permohonan.
Aku ingin menjadi teman yang baik, begitu batin Erwin. Menjadi teman yang setia dan selalu ingat temannya meski jauh, seperti Kiran dan… Mega yang juga akan pindah. Padang rumput bersejarah ini akan dinamai Padang Harapan, di mana aku dan teman-temanku berharap akan berkumpul lagi di sini. Semoga persahabatan ini takkan berakhir….

Rabu, 06 Agustus 2014

Bab 5: Life is a Movie (Akhir)

“Gimana nih, Sur? Mega nggak ada di sini,” kata Tommy.
“I don’t know. Di luar, maybe?” sahut Surdi yang berkeringat banyak saking takutnya.
“Lo kok keringetan sih, Sur? Kalo takut, lo jaga di luar aja. Biar gue yang nyari Mega,” ujar Tommy sambil nyengir.
“I nggak takut. I cuma… capek.” Surdi beralasan sambil berakting capek. Ia lalu mengalihkan pembicaraan. “Eh Tom, maybe Mega ada di bagian belakang restaurant,”
“Mungkin juga, sih. Misi kita buat meriksa bagian depan udah selesai. Kita cuma bisa nunggu panggilan dari Tofan,” sahut Tommy.
“Yeah, boring,” gumam Surdi.
“Oh iya, Sur. Gue bawa bolanya Erwin, lho. Sebenernya mau gue kembaliin hari ini, tapi berhubung ada misi kayak gini ya ditunda dulu. Tapi, kalo begini, kita kan bisa main bola biar nggak bosen,” ujar Tommy sambil mengeluarkan bola sepak dari tasnya. Ia lalu berdiri sambil membawa bola itu. “Lo berani ngelawan gue apa nggak, Sur?” tantang Tommy.
“Surdi is always ready,” sahut Surdi sok-sokan.
Mereka berdua pun bermain bola di dalam restoran. Melihat itu, beberapa pelanggan mengeluarkan ocehannya, seperti “Ini bukan lapangan sepakbola!” atau “Hei, anak kecil! Main bolanya di luar dong!”. Namun mereka berdua tak menggubrisnya. Lama-lama para pelanggan yang kesal malah makan di luar, sedangkan Tommy dan Surdi bermain di dalam.
Saat bermain, Tommy tampak lebih unggul dari Surdi karena Surdi takut jika dihadang pelayan berkostum hantu. Banyak pelayan berlalu lalang di sana.
“Hei, Sur, gimana sih? Masa nggak bisa ngerebut bola dari gue?” ledek Tommy.
“Awas you, Tom. I will keluarin my special technique,” sahut Surdi.
Surdi makin bersemangat dan akhirnya dapat merebut bola Tommy dengan jurus Sledding Tackle mirip di film kartun Tsubasa. “Amazing Sledding Tackle!” seru Surdi sambil melancarkan jurusnya.
Bola itu pun lepas dari kendali Tommy. Sementara Surdi tersenyum gembira, bola itu terlempar mengenai kepala seorang pelayan berkostum perawat yang sedang ngesot.
Senyum Surdi kontan luntur.
“Abis lo, Sur! Lo bakal dihantui suster ngesot tiap malem,” goda Tommy.
“Aduuh, siapa sih yang main bola di dalam ruangan? Harus dikenai denda!” kata suster ngesot itu sambil mengelus kepalanya.
Mendengar kata-kata si suster ngesot, Surdi dan Tommy justru jadi gembira. “Mega!” seru mereka kompak.
“Eh, kalian!” Mega ikut terkejut. Ia lalu tambah terkejut melihat dirinya sendiri sedang ngesot dengan kostum perawat. “Hei, kenapa gua jadi kayak gini?”
“You habis diculik, Meg. We nemuin petunjuk yang you tulis on the clock,” sahut Surdi.
“Diculik? Oh, iya, pemilik restoran sinting ini, ya? Ugh, gua kesel banget sama dia. Dia harus diberi pelajaran,” tutur Mega. “Tapi kalian hebat bisa nemuin gua. Kalian sama Erwin juga?”
“Iya, Meg, sama Tofan juga. Kita berempat kini adalah The Rangers,” kata Tommy.
Ponsel Surdi tiba-tiba bergetar. Surdi pun memeriksanya.
“Hei, Tom. Ada message from Tofan,” ujarnya. “Katanya, we harus nepuk pundak para pelayan, so, they bebas from pengaruh hipnotis. After that, we kumpul in parking area.”
“Oke. Ayo kita lakuin!” ajak Tommy bersemangat.
Tapi Surdi yang takut dekat-dekat dengan para pelayan itu justru mendekati bola sepak tadi. “Itu cara biasa. An athlete akan lakuin dengan cara athlete,” katanya sambil menggiring bola di kakinya.
“Fireball Kick!” seru Surdi sambil menendang bola.
***
Sementara itu, Tofan, Erwin, dan pelayan berkostum mumi sudah menjelajahi hampir semua ruangan dan membebaskan pelayan-pelayannya. Hanya kurang dua ruangan.
“Jangan buka pintu sebelah kiri. Di dalamnya adalah ruangan pemilik restoran ini,” kata si mumi.
“Kalau begitu di sebelah kanan?” Tofan membuka pintu di kanan. Mereka tidak membaca tulisan di atas pintu yang berbunyi “Ruang Pengawasan CCTV”.
Di dalam ruangan itu, ada dua orang sedang tidur di bangkunya. Yang satu bertubuh tinggi kurus dan yang lain bertubuh gemuk. Di hadapan mereka ada monitor yang menunjukkan keadaan seluruh restoran lewat CCTV.
“Ayo kita bangunkan mereka berdua,” ajak Tofan.
“Eh, tunggu!” halang si mumi. Namun, Tofan dan Erwin sudah terlanjur menepuk pundak dua orang itu. Dua orang itu pun terbangun sambil mengumpat-umpat.
“Ngapain kalian di sini?!” tanya mereka dengan marah.
“Lho, bukan hantu, ya? Maaf, kami kira hantu,” kata Erwin seraya kabur dengan Tofan dan si mumi.
Dua orang yang tak lain adalah para penculik itu langsung menggedor pintu ruangan bos mereka.
“Bos, ada penyusup! Mereka membawa kabur para pelayan!” seru para penculik.
“Apa?!” Terdengar suara amarah dari balik pintu. “Kejar! Culik mereka!” perintah bos itu.
Erwin, Tofan, dan si mumi berlari menuju tempat parkir. Sesampainya di sana, mereka bertemu Mega, Surdi, dan Tommy.
“Kalian pulang saja, biar aku yang menghubungi polisi,” ujar si mumi. “Sampai nanti!” Si mumi itu kemudian pergi dengan misterius.
Setelah itu, mereka berlima pun segera bersepeda pulang, sementara para penculik dan bosnya kebingungan mencari kunci mobil yang hilang dibawa Tofan.
***
Keesokan paginya, seisi kelas 7H berkerumun menonton sesuatu di laptop Tofan. Di sana juga ada Mega, Erwin, dan Tommy. Rupanya mereka melihat siaran berita kemarin yang direkam Tofan.
Di monitor laptop, terlihat seorang pembawa berita melaporkan beritanya.
“Siang ini, pihak berwajib telah menutup sebuah restoran bernama ‘Sambal Setan’ yang diketahui dimiliki oleh seorang buronan yang kabur dari penjara. Berdasarkan laporan dari seorang saksi, restoran tersebut menggunakan sumberdaya manusia secara paksa melalui penculikan dan tindak hipnotis.”
Setelah itu, terlihat video penangkapan buronan tersebut oleh para polisi. Mata kiri bos itu tampak kosong. Para penculik dan bos itu kemudian dibawa ke dalam mobil polisi, sementara restoran ditutup dan dibatasi oleh garis polisi.
Tommy pun mengacungkan jempolnya pada Tofan, Erwin, dan Mega. Mereka senang, terutama Mega karena Mega kini mendapat teman-teman baru. Tiap minggu, mereka bisa bersepeda dan menghabiskan waktu bersama. Namun, Mega tetap sama seperti dulu, tidak berubah.
Sepertinya masih kurang satu personil lagi, ya? Benar. Mana Surdi? Berkejaran dengan waktu, Surdi masuk kelas dengan terburu-buru. Namun, bel telah berbunyi lebih dulu. Surdi terlambat, meski beberapa detik saja.
Melihat teman-temannya berkerumun menonton laptop Tofan, Surdi ikut menghampiri. “Apa I ketinggalan sesuatu?”
Mega pun dengan cekatan mengambil buku dan pulpen. “Sur, lu telat. Lu kena denda!” kata Mega.
“What?” Surdi terperangah.
Berlanjut ke Epilog...

Rabu, 30 Juli 2014

Bab 5: Life is a Movie (Tengah)

Saat ia hendak menuliskan sesuatu di buku, Tommy tiba-tiba menghalanginya. “Tunggu, Fan,” katanya. “Demi kekompakan kita, tim kita perlu nama, hehe…”
“Aneh-aneh aja lo, Tom, ngasih nama segala,” sahut Tofan.
“Tapi boleh juga, Tom. Bagaimana kalau tim ‘The Rainbow Bikers’?” usul Erwin. “Kita kan kalau sepedaan suka pakai jaket warna-warni seperti pelangi.”
“Terlalu biasa, Win,” komentar Tommy. “Kita cari nama yang unik bin aneh bin ajaib.”
“Ah, I know… We are The Rangers!” seru Surdi semangat sambil mengacungkan jempolnya. “Selain our jacket warna-warni kayak rainbow, we juga membela keadilan kayak tontonan waktu we masih anak-anak, Power Rangers! You semua setuju?”
“Gue sih setuju-setuju aja,” sahut Tofan.
“Aku juga,” sambung Erwin.
“Sebenarnya agak kayak anak kecil, sih. Tapi berhubung gue suka anak kecil, gue suka nama itu,” tambah Tommy.
“Oke. Sekarang dengerin rencana gue.”
Di tempat parkir restoran, Tofan menulis sesuatu di bukunya dikerumuni ketiga temannya. Mereka sedang menyusun rencana untuk menyelamatkan Mega.
Beberapa saat kemudian, Tofan menutup bukunya. Ia lalu berkata, “Begitulah rencana kita, Rangers. Dan misi kita kali ini dimulai… sekarang!”
Surdi dan Tommy masuk ke restoran tersebut, sedangkan Tofan dan Erwin pergi ke bagian belakang restoran. Di situ, Tofan dan Erwin melihat ada mobil sedan berwarna hitam.
“Fan, mobil itu sepertinya mencurigakan,” kata Erwin sambil menunjuk mobil sedan itu dari jauh.
“Mencurigakan gimana?” tanya Tofan.
“Tidak tahu, tapi perasaanku tak enak begitu melihat mobil itu,” sahut Erwin.
“Kalo gitu, ayo kita lihat lebih dekat,” ajak Tofan.
Mereka berdua mendekati mobil itu lalu memeriksanya. Erwin juga mencoba mengintip kaca mobilnya. Dan terkejutlah ia begitu melihat benda di dalamnya.
“Fan, di dalam mobil ini ada tasnya Mega!” seru Erwin.
“Hah? Serius?” sahut Tofan yang sedang melihat-lihat bagian depan mobil.
“Serius,” jawab Erwin.
“Pintunya bisa dibuka apa nggak, ya?” Tofan menghampiri lalu mencoba membuka pintu mobil.
Klek! Terbuka!
“Wah, nggak dikunci rupanya. Kunci mobil bahkan masih nempel. Dasar sembrono,” gumam Tofan.
Erwin mengambil tas Mega. “Tapi, itu justru menguntungkan kita kan?” katanya.
“Hehe… lebih baik, kunci ini kubawa, kalau-kalau ada apa-apa.” Tofan iseng melepas kunci mobil itu dan mengantonginya.
Erwin menggendong tas Mega di punggung, menindih tas Erwin yang sudah lebih dulu di sana. “Sekarang ayo kita segera ke belakang restoran,” kata Erwin lagi.
Tofan dan Erwin pergi ke bagian belakang restoran itu. Dari belakang maupun dari depan, gedung restoran itu masih tampak sama, terkesan kuno dan angker. Mereka berdua lalu mengintip lewat jendela belakang. Begitu tahu kalau sepi, mereka pun masuk.
Di dalam, mereka mengendap-endap seperti pencuri. Mereka tidak tahu hendak ke arah mana. Di samping kiri, kanan, maupun depan mereka, terdapat beberapa pintu.
Tiba-tiba dari pintu di depan mereka, muncul seorang pelayan berkostum manusia serigala. Tofan dan Erwin kontan gelagapan karena takut ketahuan. Mereka spontan berjongkok di pojok ruangan, berharap pelayan itu tak melihat mereka.
Namun pelayan itu seperti tak menyadari hal aneh dan masuk ke sebuah ruangan. Tofan dan Erwin pun kembali berdiri.
“Untunglah mereka nggak ngeliat kita,” kata Tofan.
“Iya. Tapi sekarang kita hendak ke mana?” tanya Erwin.
“Ayo kita coba ngintip yang dilakuin manusia serigala itu. Mungkin kita akan dapet petunjuk,” ajak Tofan.
Mereka hendak mengintip ke ruangan yang baru saja dimasuki pelayan tadi. Tapi sesampainya di depan ruangan, tak tampak jendela di sana dan pintunya tertutup.
Cklek! Pintu tiba-tiba terbuka dan muncullah manusia serigala tadi sedang membawa nampan berisi makanan. Tofan dan Erwin kembali gelagapan, tapi kini mereka tak bisa lari. Mereka berdua secara spontan malah mengangkat kedua tangan, seperti penjahat yang ketahuan polisi.
“Mmm… kami cuma… salah masuk. Iya, salah masuk. Toilet di mana, ya?” kata Tofan gugup pada pelayan itu.
Tapi pelayan itu cuek dan terus berjalan untuk mengantar pesanan. Tofan dan Erwin pun bertanya-tanya dalam hati.
“Kok mereka cuek gitu aja?” gumam Tofan kebingungan.
Erwin mengangkat bahu.
“Ini aneh,” pikir Tofan. “Paling enggak mereka harusnya heran melihat kita.”
“Apa mungkin mereka tidak melihat kita?” sahut Erwin.
“Maksudnya?”
“Mereka… dihipnotis,” kata Erwin lagi. “Tapi kalau benar begitu, berarti…”
“Mega juga!” seru mereka berdua kompak.
“Semuanya makin jelas. Si pemilik resto ini mungkin mendapat pelayannya dengan cara menculik, lalu menghipnotis,” kata Tofan. “Win, lo tahu cara ngilangin efek hipnotis?”
“Entahlah. Tapi bagaiamna kalau menepuk bahu mereka dari belakang?” usul Erwin.
“Ayo kita coba!”
Mereka berdua menunggu pelayan datang. Begitu keluar seorang pelayan berkostum mumi, Tofan menghadangnya sambil bertanya. “Mas, toilet di sebelah mana, ya?”
Tapi pelayan itu cuek dan terus berjalan.
“Kayaknya bener dihipnotis, Win,” kata Tofan pada Erwin di sebelahnya.
“Kalau begitu…” Buk! Erwin menepuk bahu pelayan itu dari belakang.
“Adaw! Sialan, sakit tauk!” Pelayan itu menjerit sambil mengelus-elus bahunya. “Eh, di mana aku?”
“Di restoran Sambal Setan. Anda pelayan berkostum mumi di sini. Anda habis dihipnotis,” sahut Erwin.
“Pelayan?” Si mumi itu melihat sekujur tubuhnya yang dibalut perban. “Oh, astaga! Aku baru ingat. Pemilik restoran ini sungguh sinting. Ia menculikku lalu berkata bahwa wajahku lebih cocok ditutup perban. Sialan!” Si mumi itu mengumpat-umpat kesal. “Terima kasih, ya. Berkat kalian aku bebas dari hipnotis itu. Sekarang ayo kita bebaskan semua orang dari pengaruh hipnotis!”
Mereka bertiga pun menjelajah ruangan-ruangan di sana dan membebaskan para pelayan yang dihipnotis.
***
Sementara itu, Surdi dan Tommy sedang berada di dalam restoran. Kata Tofan, mereka harus mencari Mega. Tapi walau dicari di sudut mana pun, Mega tetap tak ketemu. Yang belum mereka periksa adalah ruangan di balik pintu bertuliskan “Dilarang masuk kecuali pegawai”.
Karena tak ketemu, mereka lalu duduk di salah satu tempat duduk.
“Gimana nih, Sur? Mega nggak ada di sini,” kata Tommy.
Berlanjut ke Bab 5 (Akhir)...