Minggu, 11 Agustus 2013

Tukang Tebeng Bagian 4

Setelah menunggu sebentar di alun-alun kota, mata The Rangers terpana oleh motor gede mahal mengkilap yang mungkin hanya ada satu di kota itu. Warnanya hitam dan ditempeli stiker berbentuk nyala api. Sudah seperti motor pembalap betulan. Sayangnya, penunggangnya terlihat tidak matching dengan tunggangannya. Sosok penunggang berperut besar itu melepas helmnya, dan terlihatlah wajahnya yang kurang kece. Dialah Agus.
“Hei, Tukang Tebeng! Lo berani juga, ya, ternyata. Berani kalah maksudnya. Haha…” ledek Agus.
Erwin naik motor Surdi, lalu menatap Agus tanpa ekspresi. “Kita buat kesepakatan dulu. Kalau aku menang, jangan pernah ejek aku lagi.”
“Tapi kalo lo kalah, lo bakal jadi bulan-bulanan gue seumur hidup. Hahaha…” Agus terbahak.
Tofan menuju tengah jalan. Ia mengeluarkan bendera semaphore dari tas extra large-nya. Sekarang ia berada persis di depan garis putih bertuliskan “START” yang dicat di jalan aspal tersebut. Garis itu biasanya digunakan untuk lomba-lomba di kotanya, seperti lomba lari atau sepeda santai.
Erwin dan Agus sudah siap dengan sepeda motor mereka masing-masing. Deru sepeda motor mereka membisingkan telinga. Untung, alun-alun saat itu tak terlalu ramai sehingga mereka bisa balapan tanpa protes dari pengguna jalan lain.
Tofan menyiapkan benderanya seperti di ajang balapan sesungguhnya. Ia menghitung mundur dari angka 3, lalu mengangkat benderanya. Kedua pengendara motor itu pun memulai balapan.
“Good luck, Ranger,” kata Tofan lirih.
Erwin dan Agus saling lincah menyalip. Tak bisa diperkirakan siapa yang menang. Agus sampai terkejut begitu tahu Erwin menyamai kemampuannya. Tapi dia tak mau kalah, begitu pula dengan Erwin. Dengan teknik-teknik yang ia pelajari saat berlatih, Erwin dengan gesit dapat menyalip Agus lagi sampai jauh ke depan.
Lampu lalu lintas terlihat berwarna merah. Erwin pun memelankan laju motornya untuk berhenti di belakang zebra cross. Tapi Agus menerobos lampu merah tersebut.
“Lo ngapain berhenti, Cupu?” ledek Agus lagi sambil menengok ke Erwin.
Dari arah lain, ada pula mobil berkecepatan tinggi yang membunyikan klakson. Agus yang terkejut spontan memutar stangnya. Tapi naas, ia tak sempat menghindar. Sepeda motornya rusak dan Agus terluka di sebagian tubuhnya. Sedangkan mobil yang menabrak Agus hanya terbaret dan penyok sedikit. Pengemudi mobil itu tanpa pikir panjang langsung kabur.
“Aguus!” teriak Erwin.
Erwin menghampiri Agus dengan sepeda motornya. Terlihat Agus pingsan dengan luka berdarah di kepala serta beberapa luka di kaki dan tangannya.
“Aduh, bagaimana ini?” Erwin turun dari motornya dan memandang ke sekitar jalan. Semuanya cuek, tak ada yang peduli dengan kecelakaan ini. Erwin pun memboncengkan Agus di belakang dalam keadaan pingsan. Dengan sepeda motornya, ia membawa Agus ke rumah sakit terdekat.
***
Begitu sadar, Agus melihat ayah-ibunya tengah sedih di hadapannya, dengan mata berkaca-kaca. Ia terbaring di ranjang rumah sakit. Ia hendak bangkit tapi tangan dan kakinya sakit. Ia baru menyadari ada perban di tangan, kaki, serta kepalanya.
“Gue… gue ada di mana?” tanya Agus bingung.
“Kamu di rumah sakit, Agus. Kamu habis terkena tabrak lari. Kamu harus berterima kasih sama temen kamu, soalnya tadi mereka mengantarmu ke sini,” kata ayah Agus.
Pintu ruangan tersebut diketuk lalu terbuka. The Rangers masuk membawa sebungkus plastik makanan dan minuman. Ketiga Ranger mendorong tubuh Erwin agar memberikan bungkusan plastik itu karena dialah yang menolong Agus.
“Wah, kamu sudah bangun, ya, Gus?” tanya Erwin basa-basi. “Ini… kita belikan makanan dan minuman untuk kamu.” Erwin menyerahkan bungkusan plastik itu.
“Makasih, Win. Maaf banget, ya. Gue dari dulu suka nge-bully lo. Lo ternyata baik banget. Gue anggep lo menang dalam balapan tadi. Gue nggak akan ngejek lo lagi,” sahut Agus mengulurkan tangannya yang terbalut perban.
“Iya, sama-sama, Gus.” Erwin bersalaman dengan Agus.
“Aduh… Tangan gue jangan diremas. Masih sakit,” rintih Agus sambil menarik tangannya.
“Hahaha…” semuanya tertawa.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar