Setelah menunggu sebentar di
alun-alun kota, mata The Rangers terpana oleh motor gede mahal mengkilap yang
mungkin hanya ada satu di kota itu. Warnanya hitam dan ditempeli stiker
berbentuk nyala api. Sudah seperti motor pembalap betulan. Sayangnya,
penunggangnya terlihat tidak matching dengan tunggangannya. Sosok penunggang
berperut besar itu melepas helmnya, dan terlihatlah wajahnya yang kurang kece.
Dialah Agus.
“Hei, Tukang Tebeng! Lo berani
juga, ya, ternyata. Berani kalah maksudnya. Haha…” ledek Agus.
Erwin naik motor Surdi, lalu
menatap Agus tanpa ekspresi. “Kita buat kesepakatan dulu. Kalau aku menang,
jangan pernah ejek aku lagi.”
“Tapi kalo lo kalah, lo bakal jadi
bulan-bulanan gue seumur hidup. Hahaha…” Agus terbahak.
Tofan menuju tengah jalan. Ia
mengeluarkan bendera semaphore dari tas extra large-nya. Sekarang ia berada
persis di depan garis putih bertuliskan “START” yang dicat di jalan aspal
tersebut. Garis itu biasanya digunakan untuk lomba-lomba di kotanya, seperti
lomba lari atau sepeda santai.
Erwin dan Agus sudah siap dengan
sepeda motor mereka masing-masing. Deru sepeda motor mereka membisingkan
telinga. Untung, alun-alun saat itu tak terlalu ramai sehingga mereka bisa
balapan tanpa protes dari pengguna jalan lain.
Tofan menyiapkan benderanya
seperti di ajang balapan sesungguhnya. Ia menghitung mundur dari angka 3, lalu
mengangkat benderanya. Kedua pengendara motor itu pun memulai balapan.
“Good luck, Ranger,” kata Tofan
lirih.
Erwin dan Agus saling lincah
menyalip. Tak bisa diperkirakan siapa yang menang. Agus sampai terkejut begitu
tahu Erwin menyamai kemampuannya. Tapi dia tak mau kalah, begitu pula dengan
Erwin. Dengan teknik-teknik yang ia pelajari saat berlatih, Erwin dengan gesit
dapat menyalip Agus lagi sampai jauh ke depan.
Lampu lalu lintas terlihat berwarna
merah. Erwin pun memelankan laju motornya untuk berhenti di belakang zebra
cross. Tapi Agus menerobos lampu merah tersebut.
“Lo ngapain berhenti, Cupu?” ledek
Agus lagi sambil menengok ke Erwin.
Dari arah lain, ada pula mobil
berkecepatan tinggi yang membunyikan klakson. Agus yang terkejut spontan
memutar stangnya. Tapi naas, ia tak sempat menghindar. Sepeda motornya rusak
dan Agus terluka di sebagian tubuhnya. Sedangkan mobil yang menabrak Agus hanya
terbaret dan penyok sedikit. Pengemudi mobil itu tanpa pikir panjang langsung kabur.
“Aguus!” teriak Erwin.
Erwin menghampiri Agus dengan
sepeda motornya. Terlihat Agus pingsan dengan luka berdarah di kepala serta
beberapa luka di kaki dan tangannya.
“Aduh, bagaimana ini?” Erwin turun
dari motornya dan memandang ke sekitar jalan. Semuanya cuek, tak ada yang
peduli dengan kecelakaan ini. Erwin pun memboncengkan Agus di belakang dalam
keadaan pingsan. Dengan sepeda motornya, ia membawa Agus ke rumah sakit
terdekat.
***
Begitu sadar, Agus melihat
ayah-ibunya tengah sedih di hadapannya, dengan mata berkaca-kaca. Ia terbaring
di ranjang rumah sakit. Ia hendak bangkit tapi tangan dan kakinya sakit. Ia
baru menyadari ada perban di tangan, kaki, serta kepalanya.
“Gue… gue ada di mana?” tanya Agus
bingung.
“Kamu di rumah sakit, Agus. Kamu
habis terkena tabrak lari. Kamu harus berterima kasih sama temen kamu, soalnya
tadi mereka mengantarmu ke sini,” kata ayah Agus.
Pintu ruangan tersebut diketuk
lalu terbuka. The Rangers masuk membawa sebungkus plastik makanan dan minuman.
Ketiga Ranger mendorong tubuh Erwin agar memberikan bungkusan plastik itu
karena dialah yang menolong Agus.
“Wah, kamu sudah bangun, ya, Gus?”
tanya Erwin basa-basi. “Ini… kita belikan makanan dan minuman untuk kamu.”
Erwin menyerahkan bungkusan plastik itu.
“Makasih, Win. Maaf banget, ya.
Gue dari dulu suka nge-bully lo. Lo ternyata baik banget. Gue anggep lo menang
dalam balapan tadi. Gue nggak akan ngejek lo lagi,” sahut Agus mengulurkan
tangannya yang terbalut perban.
“Iya, sama-sama, Gus.” Erwin
bersalaman dengan Agus.
“Aduh… Tangan gue jangan diremas.
Masih sakit,” rintih Agus sambil menarik tangannya.
“Hahaha…” semuanya tertawa.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar