Kamis, 26 Desember 2013

Museum Prasejarah Bagian 2

Saat itu, tak ada orang di luar museum sehingga berapa kali pun Surdi berteriak minta tolong, tak ada yang mendengar. Surdi dibawa ke gua persembunyian mereka. Di sana ada beberapa manusia purba yang tengah menunggu.
Mereka saling berkomunikasi dengan bahasa aneh seperti orang gagu. Surdi juga melihat bahwa di sana perempuan jauh lebih banyak daripada lelakinya. Sepertinya, manusia purba itu menculik Surdi untuk menambah jumlah kaum pria.
Surdi dimanjakan seperti seorang raja di sana. Ia diberi bermacam makanan dan buah-buahan. Ia juga diberi seutas kalung oleh pemimpin kelompok, seakan sebagai tanda bahwa Surdi sudah menjadi bagian dari mereka. Kalung itu berupa tali berbentuk lingkaran dengan hiasan-hiasan kecil dari tulang di sekelilingnya.
“Ternyata you semua baik, ya. Tadinya I kira, manusia macam you itu buas and nakutin, but I salah,” puji Surdi.
Setelah pemimpin kelompok mengalungkannya ke leher Surdi, para manusia purba bersorak. Mereka kemudian memasak daging kerbau dengan memanaskannya di atas api begitu saja. Si pemimpin kelompok memberikan bagian daging yang paling besar ke Surdi, tapi Surdi tentu saja tidak doyan makanan seperti itu.
“Sorry, I nggak doyan makanan you,” tolak Surdi sambil menggeleng.
Namun, si pemimpin kelompok bersikeras memberikannya. Ia menaruh daging kerbau yang baru dipanaskan itu di atas tangan Surdi, tapi Surdi tanpa sengaja menjatuhkannya karena panas. “Ouch, it’s hot!” Surdi mengaduh sambil mengelus telapak tangannya.
Tampaknya, perbuatan Surdi membuat marah si pemimpin kelompok. “GAAR!” katanya marah. Ia seakan memerintah anak buahnya untuk menangkap Surdi.
Surdi takut. Ia pun berlari keluar gua sekencangnya, tapi ada yang berhasil meraih tas selempang Surdi. Surdi tetap berlari sehingga tas itu robek. Cring, cring! Uang-uang koin dalam tas Surdi jatuh bergerincing.
“My money!” Surdi menengok merasa sayang dengan uangnya. Tapi Surdi tetap tak bisa mengambilnya lagi karena para manusia purba mengejarnya dengan marah.
Surdi terus berlari sampai tak ada suara dari belakang. Masih berlari, ia menoleh ke belakang. Memang tiada manusia purba yang terlihat, tapi ia menabrak sesuatu di depannya. Sesuatu yang ia tabrak berbulu halus dan berwarna kekuningan. Makhluk itu meneteskan air liur dari atas. Ketika Surdi mendongak ke atas, terlihatlah seekor macan purba raksasa!
“Don’t eat me! Don’t eat me!” teriak Surdi.
“Gan, lo ngomong apa?” tanya Tofan heran.
“Hah?” Surdi membuka matanya. Ternyata semua itu tadi hanya mimpi. Ia tertidur di tempat duduk di luar museum. Di hadapannya ada Paman Fumito dan teman-temannya.
Surdi lalu meraba kepalanya. Basah.
Kok basah? Batinnya penuh tanya. Apa air liur tiger in my dream itu nyata?
“Sori, Sur. Tadi gue siram pake air. Habisnya, lo nggak bangun-bangun sih, hehe…” sahut Tommy.
“Sorry, guys. I ketiduran soalnya last night begadang,” kata Surdi.
“Ya suda, sekarang mari kita pergi ke shitus penemuan foshilnya,” sambung Paman Fumito semangat.
Mereka bertujuh berjalan menuju situs penggalian. Perjalanan ke sana melalui jalan setapak dengan beberapa rumah dan pepohonan di tepinya. Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di situs penggalian. Tempat itu adalah tanah bekas galian yang besar. Di sana hanya terdapat tanah dan sedikit pepohonan. Tak heran jika mereka kepanasan terpapar sinar matahari.
Seorang pemandu menjelaskan tentang tempat itu. Paman Fumito mendengarkan serta mencatat hal yang penting di sebuah buku catatan kecil. Tak jarang, ia bertanya beberapa hal untuk penelitiannya.
Ai, Tofan, dan Kunti mendengarkan dan memperhatikan si pemandu, sedangkan Surdi dan Tommy bermain-main. Erwin dengan penasaran mencoba mencari-cari benda terpendam dalam tanah.
Erwin kemudian menemukan batu berwarna aneh. Sebagian besar berwarna abu-abu seperti batu biasa, namun di beberapa tempat berwarna kuning dan perak. Penasaran, Erwin mencoba mengikis batu itu dengan peralatan Tofan.
“Fan, apa kamu membawa tatah dan palu untuk mengikis batu ini?” tanya Erwin.
“Apa pun yang lo butuhin selalu ada di tas extra large gue,” sahut Tofan. Ia lalu mengeluarkan benda yang diminta Erwin. Teman-temannya memang selalu heran bagaimana dia membawa benda-benda yang begitu lengkap dalam tasnya.
Erwin mengikis batu itu dengan hati-hati. Beberapa lama kemudian, ia mendapatkan uang-uang logam.
“Teman-teman, lihat! Aku mendapat uang-uang logam,” kata Erwin pada teman-temannya.
“Uang logam? Emangnya pada zaman prasejarah udah dikenal uang logam? Mungkin ada orang iseng yang nggali uang itu,” sahut Tommy.
“Mungkin juga, sih,” sambung Tofan.
“Coba I lihat the money,” kata Surdi menghampiri teman-temannya. “Bentuk dan ukurannya kok kayak our money now, ya?”
“Benar juga. Berarti memang ada yang iseng menggali uang itu,” sahut Erwin. “Benar-benar kurang kerjaan.”
“Ngomong-ngomong, sejak kapan lo pake kalung, Sur?” tanya Tofan.
“Kalung?” Surdi meraba lehernya. Ia memakai kalung dengan hiasan dari tulang, persis seperti yang ada di mimpinya. “Jangan-jangan…” Surdi kembali melihat uang yang ditemukan Erwin dan menghitungnya. Ia juga memeriksa tasnya. Uang logamnya hilang dan jumlahnya sama dengan yang ditemukan Erwin.
“Kalung and the money… how can?” Surdi menggumam penuh tanya. Ia sendiri tak tahu bagaimana ini terjadi. Ia benar-benar bingung dan memikirkan mimpinya.
Setelah dari situs, mereka bertujuh pulang dan Surdi masih memikirkan mimpinya. Sampai akhirnya, Surdi menganggap manusia prasejarah itu baik hati. Mereka tidak buas, hanya saja berbeda cara dan budaya. Dan gara-gara kalung berhiaskan tulang itu, Surdi tak takut lagi dengan tulang dan tengkorak. Ia kini menganggap tulang dan tengkorak hanyalah benda mati. Untuk apa ia harus takut?
TAMAT

Minggu, 22 Desember 2013

Museum Prasejarah Bagian 1

“T
EMAN-TEMAN, kalian ada acara gak besok Minggu?” tanya Ai pada Kunti, Tommy, dan Erwin di kelas.
“Kalo gue sih, nggak ada,” sahut Tommy.
“Gue juga nggak ada,” tambah Kunti. Erwin pun ikut menggeleng.
“Paman saya mau ke Indonesia, lho. Dia mau neliti situs prasejarah sambil ngunjungin museum prasejarah di Sangiran, Solo. Kalau kalian mau ikut, bisa kok, soalnya paman saya bawa mobil cukup besar,” kata Ai.
“Pas buat berapa orang?” tanya Kunti.
“Isinya bisa memuat 7 sampai 8 orang,” jawab Ai.
“Berarti kalo kita ngajak The Rangers boleh dong?” tanya Tommy memastikan.
“Boleh kok. Saya dan paman pasti senang,” sahut Ai lagi. “Kalau mau ikut, hari Minggu jam 6 kumpul di rumah saya, ya. Paman saya gak suka kalau siang-siang.”
***
Minggu paginya, Surdi dan Erwin datang paling terlambat di rumah Ai. Mereka berdua berboncengan naik motor dan baru sampai pada pukul setengah 7.
“I’m sorry, Ai. Last night, I begadang lihat music concert,” kata Surdi pada Ai.
“Iya, gak pa-pa kok,” sahut Ai. “Sebelum kita berangkat, saya mau ngenalin paman saya. Dia dari Jepang dan belum terlalu bisa bahasa Indonesia. Namanya Paman Fumito-san.”
Terlihat seorang pria berkulit kuning dan berambut hitam. Matanya sipit seperti orang Jepang dan wajahnya mirip dengan Ai. Umurnya sekitar 24 atau 25 tahun. Dia menganggukkan kepala, lalu berkata dengan semangat, “Selamat pagi! Nama saya Sakimi Fumito. Mari kita berangkat!”
Mereka pun masuk ke mobil. Tofan duduk di depan, bersama Paman Fumito untuk memandu jalan. Ai dan Kunti duduk di tengah, sedangkan Tommy, Erwin, dan Surdi duduk di belakang.
Sepanjang perjalanan, Tofan terlihat memandu jalan Paman Fumito. Tommy pun berceletuk, “Tofan emang pernah ke museum itu, ya?”
“Mungkin pernah,” jawab Erwin singkat.
“Eh guys, sebenarnya we mau ke museum apa, sih?” tanya Surdi.
“Jadi lo ikut, tapi sebenarnya nggak tahu mau ke mana?” Kunti yang mendengarnya sampai keheranan.
“Yeah, I cuma denger ke museum. I orangnya santai, nggak ambil pusing,” sahut Surdi.
“Kita mau pergi ke museum prasejarah, sama situs tempat menggalinya,” sambung Kunti.
“Hah? Prasejarah?” Surdi bertanya lagi sambil melotot.
“Iya, Surdi,” jawab Kunti.
Surdi terkejut. Meski ia belum pernah pergi ke museum prasejarah, ia tahu kalau museum itu berisi tulang-tulang, tengkorak, dan makhluk-makhluk prasejarah tiruan dari lilin. Ia jadi takut. Kalau masuk lab biologi saja, ia sering takut-takut jika berdekatan dengan kerangka manusia tiruan, apalagi jika masuk ke tempat yang penuh dengan tulang dan makhluk-makhluk aneh. Ia takut jika semua itu tiba-tiba bergerak-gerak sendiri. Ih, sereem…
Daripada kelihatan takut, Surdi memilih menjaga image dengan diam seribu bahasa. Dalam perjalanan, ia sama sekali tak tidur memikirkan museum itu, padahal ia begadang tadi malam.
Beberapa jam kemudian, mobil itu tiba di museum. Paman Fumito dan anak-anak turun dari mobil.
“Paman akan masuk ke museum. Kalian bole berpencar dan bermain, tapi tolong saling munghubungi. Paman akan kashi nomor ponsel Paman,” kata Paman Fumito dengan logat Jepang yang kental.
Setelah mereka diberi nomor ponsel Paman Fumito, mereka pun masuk ke dalam museum. Ternyata benar yang dibayangkan Surdi, museum itu berisi makhluk-makhluk aneh dari lilin yang dipajang, juga ada macam-macam tulang belulang. Meski beberapa ditaruh di dalam kotak kaca, Surdi tetap takut-takut untuk mendekatinya. Melihat ekspresi Surdi, Tommy sampai heran.
“Lo kenapa, Sur? Jangan-jangan lo takut, ya?” tanya Tommy sambil cengengesan.
“It’s impossible. I’m calon guitarist band papan atas, you know?” sahut Surdi sok-sokan.
“Emang ada hubungannya takut sama jadi gitaris?” tanya Tommy lagi.
“Umm… Kayaknya sih, nggak ada.”
Sepanjang perjalanan di museum, Surdi tegang. Baginya, ini seperti naik wahana rumah hantu. Namun, dia jaga image karena banyak orang yang bersikap biasa saja. Tangannya menjadi dingin dan dia berkeringat.
Erwin memperhatikan Surdi dengan penuh tanda tanya. “Sur, kamu kenapa?” tanyanya.
“I… I lagi…” Surdi berkata terbata-bata.
“Iya, nih. Lo kenapa, Sur? Badan lo keringetan, tangan lo dingin,” sambung Tofan mencoba memegang tangan Surdi. “Lo sakit?”
Sementara Tommy menahan tawanya, Surdi masih mencoba untuk jaga image. “I lagi… I lagi kebelet to the toilet, nih. Udah I tahan dari tadi, makanya begini.”
“Oh, kenapa nggak bilang dari tadi? Toilet di sebelah sana,” sahut Tofan menunjukkan arah ke toilet.
Surdi pun kabur. Setelah teman-temannya tak melihat, ia lari mencari jalan keluar. Beruntung, ia segera menemukannya. Di luar, ia mencari tempat untuk duduk dan bersandar dengan santai. Tas hitam kecil yang dari tadi ia bawa masih terselempangkan di pinggangnya.
Surdi mengatur nafasnya di sana. Ia mulai rileks. Ia tak mau masuk ke museum itu lagi. Meski teman-temannya bingung mencarinya, ia tak peduli. Ia hanya ingin keluar dari tempat “menakutkan” itu.
Surdi kemudian mendengar suara langkah kaki beberapa orang. Ia menengok ke sumber suara dan terlihatlah beberapa manusia prasejarah! Manusia-manusia itu berambut lebat berwarna cokelat kehitaman. Mukanya mirip seperti tiruan manusia purba dalam museum. Mereka tidak berpakaian dan beberapa membawa tombak dan kapak dari batu.
Surdi tak paham dengan apa yang terjadi dan berusaha lari. Ia kira manusia purba itu sudah punah. Namun, manusia purba itu seakan tertarik dengan Surdi. Salah seorang dari mereka –sepertinya pemimpinnya– menangkap dan menarik tangan Surdi, berusaha menculiknya. Surdi ketakutan sambil mencoba melepas genggaman tangannya, tapi genggaman itu sangat kuat sehingga Surdi tak bisa berbuat banyak.
Saat itu, tak ada orang di luar museum sehingga berapa kali pun Surdi berteriak minta tolong, tak ada yang mendengar. Surdi dibawa ke gua persembunyian mereka. Di sana ada beberapa manusia purba yang tengah menunggu.
Berlanjut ke Bagian 2...

Kamis, 19 Desember 2013

Dunia Maya Bagian 3

“Iya, bener. Ini dompet Tofan,” kata Tommy melihat foto Tofan di dalamnya.
“Ya udah, simpan dulu. Ayo kita buntuti Maya lagi,” sahut Ai.
Tommy dan Ai membuntuti Maya lagi. Sepertinya, Maya hendak turun dari lantai atas. Namun, karena lift yang penuh orang, ia turun dengan elevator. Surdi telah menghubungi Tommy dan memintanya turun lantai.
“Tommy-kun, ngomong-ngomong, kenapa Maya ngambil dompet Tofan? Dari tampilannya, bukannya dia orang kaya?” tanya Ai dalam perjalanan.
“Gue nggak tahu. Mungkin aja dia kleptomania, atau bisa jadi ada tujuan lain,” jawab Tommy.
Setelah The Rangers ditambah Ai kembali berkumpul, mereka terus membuntuti Maya sampai ke tempat parkir di lantai dasar. Tofan masih tidak paham apa yang terjadi. Bagaimana mungkin Maya seperti itu? Begitu batin Tofan.
Di tempat parkir di lantai dasar, Maya sudah ditunggu oleh seorang pria. Pria itu berusia sekitar 20-an, mungkin seorang mahasiswa. Pria itu memakai topi, kaos oblong dengan jaket, dan celana jins hitam. Dia menunggu Maya sambil merokok.
Maya menghampirinya. “Kak, gue beli yang kayak biasa,” katanya.
“Lo bawa berapa duit?” tanya pria itu.
“Malem ini cuma dikit,” jawab Maya sambil memberikan uang miliknya dan Tofan.
Pria itu terbahak. “Korban lo malem ini kurang tajir lagi?”
“Udah, diem. Mana barangnya?” sahut Maya ketus.
Pria itu memberikan plastik kecil berisi serbuk berwarna putih. “Lo pulang naik apa kalo duit lo habis?” tanya pria itu lagi.
“Ah, urusan gampang itu. Kayaknya cowok itu nggak bakal sadar kalo dompetnya gue ambil,” sahut Maya.
Pria itu kembali tertawa. “Ya udah, gue mau balik.”
Dari tempat parkir, Maya kembali ke dalam mall, tapi langkahnya terhalang oleh Tofan dan teman-temannya.
“Kalian mau apa?” tanya Maya. “Minggir, gue mau lewat.”
“May…” panggil Tofan.
“Eh, Fan. Ada apa?” tanya Maya pura-pura tak tahu.
“Kamu ngambil dompetku?” tanya Tofan.
“Dompet apa?” sahut Maya kembali akting.
“You nggak usah pura-pura don’t know. Dari tadi, we mbuntutin you,” sambung Surdi.
“Kalau misal aku yang ambil, apa kalian punya bukti?” tanyanya.
Ai menunjukkan dompet yang tadi ia pungut. “Ini dompet Tofan yang tadi saya temuin di tempat sampah. Tadi saya dan Tommy lihat kamu ngambil uangnya, lalu membuang dompetnya,” jawab Ai.
“Dan barusan, kita lihat lo beli sesuatu dengan uang itu,” lanjut Tommy. Ia lalu merebut tas kecil Maya dengan cepat. Benar-benar bakat tuyul, hehe…
Tommy membuka tas Maya, lalu mengeluarkan plastik kecil yang tadi dibeli Maya. Tommy memberikan plastik itu ke Erwin. “Win, lo tahu apa ini?”
Erwin melihat-lihat serbuk dalam plastik kecil itu, menyentuh serbuk itu dengan jarinya, dan mencium aromanya. “Aku tak tahu ini jenis apa, tapi yang pasti, ini narkoba,” katanya.
“Semua sudah terbongkar, May. Jelaskan,” sambung Tofan.
“Ngapain lo urusin urusan gue? Ini cara gue, dunia gue. Lo semua nggak bakal paham,” sahut Maya.
“Kamu cuma harus njelasin,” kata Tofan lagi.
Maya menyerah, ia lalu mengaku. “Gue kurang kasih sayang dari orangtua. Gue nggak tahu yang gue lakuin sampai akhirnya gue terjebak dalam dunia narkoba ini. Gue nggak tahu caranya lepas dari dunia itu. Kebutuhan narkoba gue selalu bikin kantong gue cekak. Untuk itu, gue selalu ngedeketin cowok dan kadang-kadang ngambil uangnya buat beli narkoba. Gue… gue cuma ngelakuin hal bodoh itu begitu aja, tanpa tahu gimana caranya berhenti.” Maya menangis. “Tolong jangan bilangin hal ini ke siapa-siapa.”
“Maafkan kita. Tapi sepertinya kita harus laporkan ini ke polisi. Ini bukan salahmu. Aku janji kamu akan sembuh dari kecanduan narkoba dan ini semua tak akan mempengaruhi kehidupanmu,” sahut Erwin.
“Ba… bagaimana caranya?” tanya Maya masih menangis.
Pada hari berikutnya, The Rangers dan Ai membawa Maya ke pihak berwajib. Maya dimintai keterangan-keterangan, tapi ia telah menyesal dan meminta saran agar tak lagi kecanduan.
Sedangkan Tofan yang tadinya adalah korban Maya, sekarang justru kembali dekat dengan Maya. Maya telah meminta maaf dan mengembalikan uang Tofan yang ia ambil. Meski awalnya ditipu, Tofan dan teman-temannya membantu Maya kembali ke jalan yang benar. Sekarang baru ketahuan apa hikmahnya.
TAMAT

Minggu, 15 Desember 2013

Dunia Maya Bagian 2

Sesampainya di mall, Tofan dan Maya pun berjalan-jalan. Ai, Tommy, Surdi, dan Erwin yang kurang kerjaan mengawasi mereka dari belakang.
“Kita mau ke mana?” tanya Tofan.
“Jalan-jalan dulu aja, yuk,” ajak Maya.
Mereka berdua berjalan-jalan tak tentu arah. Ketika Maya melihat deretan busana di sebuah toko, ia seketika menarik tangan Tofan mengajaknya masuk ke sana. Tofan yang ditarik tangannya merasa gugup dan salah tingkah. Jarang-jarang ada cewek mau berpegangan dengannya.
Maya dengan asyik melihat-lihat deretan baju dan celana. Ia memilih-milih pakaian yang pas untuknya. Tofan yang melihat itu sampai merasa bosan, lalu duduk di atas sebuah kursi plastik.
“Fan, yang ini cocok buat aku, nggak?” tanya Maya sambil menunjuk sebuah kaos.
“Hah… yang itu? Iya, cocok kok,” sahut Tofan sekenanya.
“Kalau yang ini?” tanya Maya lagi menunjuk sebuah celana panjang.
“Wah… cocok banget,” sahut Tofan lagi. Sebenarnya ia tak begitu paham soal cocok atau tidak cocok dalam berpakaian. Baginya, semua pakaian hampir sama, hanya warna dan harga yang membedakan.
“Beneran? Aku juga suka, sih,” sambung Maya. Ia pun melihat label harganya. “Mm… tapi harganya segini. Uangku cukup apa nggak, ya?”
Maya mengambil dompet di tas kecilnya. Dompet tebal Maya berisi beberapa lembar uang berwarna biru dan merah. Namun, Maya berkata, “Wah, masih nggak cukup. Gimana, nih? Padahal udah cocok banget.”
Maya seakan memberi kode pada Tofan. Tofan di sebelahnya pun bertanya, “Emang harganya berapa?”
Maya menunjukkan label harganya dan mata Tofan langsung membelalak. Yang bener aja…, batinnya. Ia sebenarnya ingin membelikan Maya agar membuatnya senang, tapi ia tak membawa uang banyak.
“Kamu pasti udah punya banyak celana kan? Mending kita beli yang kita butuhin, bukan yang kita pingin,” Tofan ngeles karena tak punya uang.
“Oh, begitu. Emangnya yang kita butuhin apa?” tanya Maya.
“Kalo aku sih, butuh makanan,” jawab Tofan.
“Ya udah, ayo beli makan.”
Tofan dan Maya pun mencari makan di mall itu. Ketika melewati restoran fast-food yang terkenal mahal, Maya bingung. Dia mengira akan makan di sana.
“Lho, nggak makan di sana?” tanya Maya sambil menunjuk restoran itu.
“Nggak ah, nggak suka. Fast-food nggak baik buat kesehatan,” sahut Tofan sok-sokan.
Tofan membawa Maya ke Indoresto, restoran langganan The Rangers. Selain itu, di sini harganya terjangkau dan makanannya 100% Indonesia.
“Ayo, masuk. Kita makan di sini, May,” ajak Tofan.
“Indoresto?” Maya masuk, lalu duduk satu meja dengan Tofan. Ketika pelayan memberikan menu, Maya heran karena isinya hanya makanan Indonesia. “Kenapa nggak ada makanan luar negeri?”
“Namanya juga Indoresto, ya dari Indonesia. Lagipula dari hal kecil ini, kita bisa belajar mencintai produk negeri sendiri,” sahut Tofan.
Maya sedikit cemberut, tapi tetap makan dengan Tofan. Setelah selesai makan, mereka berdua kembali berjalan-jalan.
“Sekarang kita ke mana?” tanya Maya.
“Kita nyari hiburan,” jawab Tofan.
“Hiburan apa? Nonton di bioskop?”
“Aku nggak suka nonton film. Soalnya kita cuma sebagai penonton, bukan pelaku,” jawab Tofan lagi.
“Terus kita ke mana?” tanya Maya lagi.
Tofan menunjuk suatu tempat gemerlapan yang bersuara ramai. Tempat itu adalah sebuah zona permainan. Maya terkejut sambil geleng-geleng kepala. Ia baru tahu ada cowok bukannya mengajak cewek ke bioskop, justru ke zona permainan.
Tofan menukarkan uangnya menjadi koin-koin permainan itu, lalu mulai asyik bermain. Ia mengajak Maya untuk ikut, tapi Maya menolak. Maya berkata akan menunggu di sebuah kios minuman.
Namun, beberapa menit menunggu di kios minuman, Maya berjalan pergi. Ai dan Ranger lain yang mengawasinya jadi heran. Mereka pun membuntuti Maya, sedangkan Tofan masih bermain di sana. Sepanjang perjalanan, Maya membuka sebuah dompet dari sakunya dan menghitung uangnya.
“Yah… cuma sedikit. Dasar, nggak berguna,” gumam Maya sambil terus berjalan.
Mendengar itu, Ai dan Ranger lain jadi curiga. Ditambah lagi, dompet yang Maya bawa mirip dengan dompet Tofan.
“Cepat, coba telepon Tofan. Mungkin itu dompetnya,” suruh Erwin.
Surdi pun menelepon Tofan. Tofan yang sedang asyik bermain, terkejut mendengar ponselnya berbunyi.
“Fan, dompet you masih?” tanya Surdi lewat telepon.
“Maksud lo?”
“Coba periksa dompet you,” sahut Surdi.
Tofan memeriksa dompet di sakunya. “Eh, dompet gue nggak ada.”
“Cepetan you ke sini. I and friends ada di depan book store,” sahut Surdi lagi.
“Bentar, tanggung nih game-nya.”
“You mau dompet you balik apa nggak, sih?” tanya Surdi gemas. Ia lalu mematikan teleponnya.
“Eh, tunggu, Sur. Kalau kita menunggu di sini, kita bisa kehilangan jejak Maya,” kata Erwin.
“Gue punya solusinya,” sahut Tommy. “Lo sama Surdi nunggu di sini, sementara gue sama Ai-chan mbuntutin Maya. Kalo udah ada Tofan, hubungi gue.”
Tommy cari-cari kesempatan, batin Surdi dan Erwin. Namun, mereka tetap menuruti usul Tommy. Tommy dan Ai pun membuntuti langkah Maya.
Di tengah perjalanan, Maya terlihat menelepon seseorang, tapi suaranya tak terdengar karena jaraknya tak cukup dekat dan mall sedang ramai. Kemudian setelah ia mengambil uang dari dompet itu, Maya membuang dompetnya. Ai dan Tommy yang melihat itu langsung menghampiri tempat sampah dan memeriksa dompetnya.
“Iya, bener. Ini dompet Tofan,” kata Tommy melihat foto Tofan di dalamnya.
Berlanjut ke Bagian 3...

Minggu, 08 Desember 2013

Dunia Maya Bagian 1

T
OFAN sedang facebook-an di depan komputer rumahnya. Dari balik kacamata, matanya terfokus pada layar komputer. Ia sedang bermain game strategi yang adiktif. Tring! Tiba-tiba ada seseorang yang mengajaknya chattingan. Tertulis di sana, namanya Maya Ditya.
Maya   : Hai, cowok.

Siapa ini? Batin Tofan. Karena alasan game, Tofan memang selalu mengonfirmasi teman facebook-nya tanpa peduli kenal atau tidak. Maka tak heran jika ia tak mengenal Maya. Ia pun mencoba membalas chat Maya.
Tofan  : Siapa, ya?
Maya   : Kenalin, aku Maya. Nama kamu Tofan, ya?
Tofan  : Iya, kan udah kelihatan lewat nama akunnya.
Maya   : Aku anak SMA Bintang. Kalau kamu?
Tofan  : SMA Kusuma.

Meski tak kenal, Tofan tetap membalas chattingan dari Maya. Jarang-jarang dia diajak chat oleh cewek. Dia ingin mendekati cewek itu. “Tommy aja bisa pacaran, masa gue nggak?” begitu kata Tofan.
Hari demi hari berlalu. Tofan kini chattingan dengan Maya tiap hari. Tofan juga sering melihat-lihat profil Maya dan status-statusnya. Lama-lama Tofan diberi nomor HP Maya dan mereka saling SMS-an.
Maya   : Fan, kamu pingin lihat aku secara langsung, nggak?
Tofan  : Pingin dong. Kapan ada waktu?
Maya   : Malam Minggu ini free. Kamu bisa?
Tofan  : Bisa. Di mana, May?
Maya  : Pinginnya sih jalan-jalan di luar, misalnya di mall. Masalahnya, nggak ada kendaraan.
Tofan  : Mau gue anter?
Maya   : Beneran? Nggak pa-pa?
Tofan  : Nggak pa-pa. Besok malam Minggu jam berapa rencananya?
Maya   : Jam enam dateng ke rumah, ya? Kukasih alamatnya.

Keesokan harinya di sekolah, Tofan bercerita pada teman-temannya mengenai Maya.
“Gan, gue sekarang deket sama cewek, lho,” pamer Tofan.
“Cewek? Siapa?” sahut Tommy semangat. Ai di belakangnya langsung menghentakkan kaki dengan muka kesal.
Tommy menoleh, lalu berusaha merayu Ai. Sejak berpacaran dengan Ai, Tommy memang dijaga ketat kelakuan ganjennya. Jika dekat dengan gadis lain, cewek pencemburu itu langsung minta putus dengan Tommy. Yah, memang tak ada yang bilang kalau pacaran itu mudah.
Tofan memandang Tommy dan Ai dengan tatapan aneh. Tatapan itu seperti tatapan iri hati atau tak mau kalah. Surdi memandangnya heran, lalu bertanya, “Who is she, Fan?”
Tatapan aneh Tofan menghilang, kemudian ia menjawab. “Namanya Maya dan aku kenal dia dari dunia maya. Lucu, ya?”
Namun tak ada yang tertawa dengan gurauan garing Tofan. Memecah suasana, Erwin mencoba bertanya. “Bagaimana kamu mengenalnya? Kamu mengobrolinya atau justru sebaliknya?”
“Dia nge-chat gue pertama kali, kemudian kita berdua terus chattingan. Malam Minggu besok, rencananya gue akan ngeboncengin dia dan nemenin jalan-jalan ke mall,” sahut Tofan bangga.
“You butuh The Rangers, nggak?” tanya Surdi.
“Iya. Lo butuh kita, nggak? Buat persiapan atau misi-misi lain,” sambung Tommy yang sudah berhasil merayu Ai lagi.
“Mm… Boleh juga.”
***
Sabtu sorenya, sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah Tofan. Kemudian pintu mobil itu terbuka dan muncullah Erwin, Surdi, Tommy, dan Ai. Gara-gara tahu kalau Tommy hendak pergi ke mall, Ai memaksa menyarankan untuk naik mobil dengan supir pribadinya. Ia hanya tak ingin Tommy menggoda gadis-gadis lain.
Para Rangers ditambah Ai masuk ke rumah Tofan. Mereka lalu menyiapkan semua yang Tofan butuhkan. Ai membantu menata penampilan luar Tofan, sedangkan Surdi memberi motivasi dan menyemangatinya. Erwin membantu mengatur rencana dan Tommy membantu dengan doa.
Setelah semua siap, Tofan berangkat dengan vespanya dan yang lain membuntuti naik mobil. Tofan memang tak ingin sok-sokan dengan naik sepeda motor mahal atau semacamnya. Ia hanya ingin naik vespa karena itulah yang dimilikinya dan merupakan peninggalan dari ayahnya. Bagi Tofan, vespa itu lebih berharga dari kendaraan mana pun di dunia.
Beberapa menit kemudian, bocah-bocah SMA dari dalam mobil memandangi Tofan yang sedang celingukan. Tofan berada beberapa meter di depan mobil, sedang mencari alamat rumah yang tepat dengan bantuan secarik kertas di tangannya. Tak lama, ia pun menemukan rumah yang tepat.
“Besar banget,” katanya salut
Rumah itu berpagar besi, berhalaman luas, bergarasi, dan bertingkat dua. Rumahnya indah dengan dinding dan keramik putih. Halamannya pun asri dengan berbagai rerumputan dan tanaman. Melihat semua itu, Tofan merasa minder. Ia hanya mengendarai vespa dan mengenakan helm yang tak seberapa harganya. Pakaian dan jaket Manchester United yang ia kenakan pun menjadi terasa biasa.
Tofan menarik nafas dalam dan berusaha memberanikan diri menekan bel rumah. Kurang dari semenit kemudian, Maya datang dengan make-up cantiknya dan busananya yang kurang panjang. Ia membawa pula tas kecil –seperti yang untuk kondangan–  berwarna biru.
Melihat itu, Tofan menelan ludah, lalu bertanya, “Lo nggak kedinginan malem-malem? Pakai jaket, gih.”
“Nggak usah. Lo… eh, maksudnya, kamu naik apa?” sahut Maya.
“Itu.” Tofan menunjuk vespanya.
“Hahaha… Kamu bercanda kan?” tanya Maya lagi. “Pasti pakai mobil sedan yang di sana itu.” Maya menunjuk mobil sedan Ai.
“Enggak kok, beneran naik ini,” jawab Tofan.
Maya tak jadi tertawa. Ia diam sebentar, lalu kembali bicara, “Ya udah deh, nggak pa-pa kok.”
“Ngomong-ngomong… kamu cantik, deh,” gombal Tofan (berdasarkan anjuran Tommy).
“Hehe… Makasih.”
Sesampainya di mall, Tofan dan Maya pun berjalan-jalan. Ai, Tommy, Surdi, dan Erwin yang kurang kerjaan mengawasi mereka dari belakang.
Berlanjut ke Bagian 2...

Minggu, 01 Desember 2013

How to Have A Girlfriend Bagian 4

Tommy pun bersepeda menuju tempat yang ia maksud. Selama perjalanan, mereka berdua sangat menikmatinya, terutama Tommy. Tommy dan Ai lalu bersepeda menuju sebuah gang buntu. Sesampainya di ujung gang buntu, Tommy menepuk bahu Ai dan menunjukkan pemandangan di depannya.
“Lihat! Ini dia, Padang Harapan!” kata Tommy semangat.
“Waaah…” Ai-chan takjub.
Di depan mata mereka berdua, terbentang padang rumput yang luas. Hanya ada rerumputan dan bunga-bunga di sana. Padang rumput itu bersebelahan dengan sawah-sawah dengan sebuah saung untuk beristirahat.
Tommy lalu mengajak Ai untuk duduk di atas rerumputan sambil melihat langit. Tommy bahkan terlentang di atas rumput dengan santai, sambil memejamkan mata.
“Tommy-kun…” panggil Ai. “Tadi kamu bilang ini Padang Harapan. Kenapa dinamai begitu?”
“Waktu SMP, The Rangers pernah ke sini malem-malem. Kita berempat saling curhat soal impian dan harapan kita. Kemudian ada bintang jatuh dan kita saling membatin permohonan kita. Karena itu, kita menamai tempat ini Padang Harapan,” jelas Tommy.
“Oh, begitu…” sahut Ai. Ia lalu melihat langit yang mulai ditutupi awan gelap. “Tommy-kun, kayaknya mau hujan deh.”
Rintik hujan kemudian menetes di dahi Tommy. Ia pun membuka matanya lalu bangkit berdiri. “Eh iya, bener. Ayo kita berteduh di saung itu,” ajak Tommy.
Tommy dan Ai pun berlari menuju saung itu sambil menutupi kepalanya. Mereka berteduh berdua di saung itu. Hanya ditemani suara hujan dan katak, Tommy pun mencoba menambah suara.
“Ai-chan, entah kenapa kalau hujan itu rasanya romantis, ya?” kata Tommy.
“Iya. Rasanya tenteram banget kalau lihat hujan,” sahut Ai.
“Tahu satu lagi yang romantis?” Tommy bertanya aneh.
“Apa?”
“Ini,” Tommy mengeluarkan kertas lecek dari saku celananya. Ai menerimanya sambil bertanya-tanya dalam hati. “Silakan dibaca dulu.”
Kertas lecek itu berisi puisi Tommy untuk Ai. Di tepi-tepi kertas yang kosong, diberi pula banyak lambang hati dari pulpen merah. Meski tulisannya tak terlalu bagus, namun arti di dalamnyalah yang membuatnya begitu indah gombal.
=============================
S  |  inar mata lo bagai sinar mentari pagi
A  | nget dan nyaman kalo diliatin
K  | ulit lo yang cerah bagai gula pasir
I    | mutnya pipi lo bagai bakpao rasa cokelat
M | anis… semoga gue nggak diabetes
I    | tu semua bikin hati gue melting

A  | i-chan, gue sayang sama lo
I    | nginkah lo jadi pacar gue?
============================

Ai menerima puisi itu dan membacanya. Judul puisi itu tak terletak di atas, tapi vertikal ke bawah sebagai huruf awal dari isinya. Walaupun penuh gombal dan agak tidak nyambung, tapi itu seni yang indah.
Setelah membacanya, Ai pun berkata. “Tommy-kun kebanyakan ngegombal. Saya suka yang gak perlu basa-basi…”
Mendengar itu, Tommy pesimis. Ia merasa Ai tak akan menerimanya. Tommy pun menyela perkataan Ai. “Jadi Ai-chan nolak gue?”
“Saya belum selesai ngomong, Tommy-kun,” sahut Ai. “Saya suka yang gak perlu basa-basi, tapi saya lebih suka kamu.” Ai tersenyum.
“Berarti Ai-chan mau jadi pacarnya A’ak Tommy?” tanya Tommy lagi dengan bersemangat.
“Iya, Tommy-kun,” sahut Ai masih tersenyum.
“Cihuy!” Tommy kegirangan.
Beberapa waktu kemudian, langit berhenti menurunkan hujan dan awan hitam menghilang. Sepasang pacar ini pun kembali pulang ke rumah masing-masing dengan senang.
Keesokan harinya, Tommy dengan bangga memamerkan kepada semua siswa bahwa dia punya pacar seorang Ai-chan. Teman-temannya, termasuk The Rangers bahkan sampai heran bagaimana cara dia melakukannya. Saat ditanya, “Gimana caranya? Rencana lo gimana?”, Tommy selalu menjawab, “Gue nggak tahu, semua itu berjalan dengan sendirinya.”

TAMAT