Saat itu, tak ada orang di luar
museum sehingga berapa kali pun Surdi berteriak minta tolong, tak ada yang
mendengar. Surdi dibawa ke gua persembunyian mereka. Di sana ada beberapa
manusia purba yang tengah menunggu.
Mereka saling berkomunikasi dengan
bahasa aneh seperti orang gagu. Surdi juga melihat bahwa di sana perempuan jauh
lebih banyak daripada lelakinya. Sepertinya, manusia purba itu menculik Surdi
untuk menambah jumlah kaum pria.
Surdi dimanjakan seperti seorang
raja di sana. Ia diberi bermacam makanan dan buah-buahan. Ia juga diberi seutas
kalung oleh pemimpin kelompok, seakan sebagai tanda bahwa Surdi sudah menjadi
bagian dari mereka. Kalung itu berupa tali berbentuk lingkaran dengan
hiasan-hiasan kecil dari tulang di sekelilingnya.
“Ternyata you semua baik, ya.
Tadinya I kira, manusia macam you itu buas and nakutin, but I salah,” puji
Surdi.
Setelah pemimpin kelompok
mengalungkannya ke leher Surdi, para manusia purba bersorak. Mereka kemudian
memasak daging kerbau dengan memanaskannya di atas api begitu saja. Si pemimpin
kelompok memberikan bagian daging yang paling besar ke Surdi, tapi Surdi tentu
saja tidak doyan makanan seperti itu.
“Sorry, I nggak doyan makanan
you,” tolak Surdi sambil menggeleng.
Namun, si pemimpin kelompok bersikeras
memberikannya. Ia menaruh daging kerbau yang baru dipanaskan itu di atas tangan
Surdi, tapi Surdi tanpa sengaja menjatuhkannya karena panas. “Ouch, it’s hot!”
Surdi mengaduh sambil mengelus telapak tangannya.
Tampaknya, perbuatan Surdi membuat
marah si pemimpin kelompok. “GAAR!” katanya marah. Ia seakan memerintah anak
buahnya untuk menangkap Surdi.
Surdi takut. Ia pun berlari keluar
gua sekencangnya, tapi ada yang berhasil meraih tas selempang Surdi. Surdi
tetap berlari sehingga tas itu robek. Cring, cring! Uang-uang koin dalam tas Surdi
jatuh bergerincing.
“My money!” Surdi menengok merasa
sayang dengan uangnya. Tapi Surdi tetap tak bisa mengambilnya lagi karena para
manusia purba mengejarnya dengan marah.
Surdi terus berlari sampai tak ada
suara dari belakang. Masih berlari, ia menoleh ke belakang. Memang tiada
manusia purba yang terlihat, tapi ia menabrak sesuatu di depannya. Sesuatu yang
ia tabrak berbulu halus dan berwarna kekuningan. Makhluk itu meneteskan air
liur dari atas. Ketika Surdi mendongak ke atas, terlihatlah seekor macan purba
raksasa!
“Don’t eat me! Don’t eat me!”
teriak Surdi.
“Gan, lo ngomong apa?” tanya Tofan
heran.
“Hah?” Surdi membuka matanya.
Ternyata semua itu tadi hanya mimpi. Ia tertidur di tempat duduk di luar
museum. Di hadapannya ada Paman Fumito dan teman-temannya.
Surdi lalu meraba kepalanya.
Basah.
Kok basah? Batinnya penuh tanya.
Apa air liur tiger in my dream itu nyata?
“Sori, Sur. Tadi gue siram pake
air. Habisnya, lo nggak bangun-bangun sih, hehe…” sahut Tommy.
“Sorry, guys. I ketiduran soalnya
last night begadang,” kata Surdi.
“Ya suda, sekarang mari kita pergi
ke shitus penemuan foshilnya,” sambung Paman Fumito semangat.
Mereka bertujuh berjalan menuju
situs penggalian. Perjalanan ke sana melalui jalan setapak dengan beberapa
rumah dan pepohonan di tepinya. Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di
situs penggalian. Tempat itu adalah tanah bekas galian yang besar. Di sana
hanya terdapat tanah dan sedikit pepohonan. Tak heran jika mereka kepanasan
terpapar sinar matahari.
Seorang pemandu menjelaskan
tentang tempat itu. Paman Fumito mendengarkan serta mencatat hal yang penting
di sebuah buku catatan kecil. Tak jarang, ia bertanya beberapa hal untuk
penelitiannya.
Ai, Tofan, dan Kunti mendengarkan
dan memperhatikan si pemandu, sedangkan Surdi dan Tommy bermain-main. Erwin
dengan penasaran mencoba mencari-cari benda terpendam dalam tanah.
Erwin kemudian menemukan batu
berwarna aneh. Sebagian besar berwarna abu-abu seperti batu biasa, namun di
beberapa tempat berwarna kuning dan perak. Penasaran, Erwin mencoba mengikis
batu itu dengan peralatan Tofan.
“Fan, apa kamu membawa tatah dan
palu untuk mengikis batu ini?” tanya Erwin.
“Apa pun yang lo butuhin selalu
ada di tas extra large gue,” sahut Tofan. Ia lalu mengeluarkan benda yang
diminta Erwin. Teman-temannya memang selalu heran bagaimana dia membawa
benda-benda yang begitu lengkap dalam tasnya.
Erwin mengikis batu itu dengan
hati-hati. Beberapa lama kemudian, ia mendapatkan uang-uang logam.
“Teman-teman, lihat! Aku mendapat
uang-uang logam,” kata Erwin pada teman-temannya.
“Uang logam? Emangnya pada zaman
prasejarah udah dikenal uang logam? Mungkin ada orang iseng yang nggali uang
itu,” sahut Tommy.
“Mungkin juga, sih,” sambung
Tofan.
“Coba I lihat the money,” kata
Surdi menghampiri teman-temannya. “Bentuk dan ukurannya kok kayak our money now,
ya?”
“Benar juga. Berarti memang ada
yang iseng menggali uang itu,” sahut Erwin. “Benar-benar kurang kerjaan.”
“Ngomong-ngomong, sejak kapan lo
pake kalung, Sur?” tanya Tofan.
“Kalung?” Surdi meraba lehernya.
Ia memakai kalung dengan hiasan dari tulang, persis seperti yang ada di
mimpinya. “Jangan-jangan…” Surdi kembali melihat uang yang ditemukan Erwin dan
menghitungnya. Ia juga memeriksa tasnya. Uang logamnya hilang dan jumlahnya
sama dengan yang ditemukan Erwin.
“Kalung and the money… how can?”
Surdi menggumam penuh tanya. Ia sendiri tak tahu bagaimana ini terjadi. Ia
benar-benar bingung dan memikirkan mimpinya.
Setelah dari situs, mereka
bertujuh pulang dan Surdi masih memikirkan mimpinya. Sampai akhirnya, Surdi menganggap
manusia prasejarah itu baik hati. Mereka tidak buas, hanya saja berbeda cara dan
budaya. Dan gara-gara kalung berhiaskan tulang itu, Surdi tak takut lagi dengan
tulang dan tengkorak. Ia kini menganggap tulang dan tengkorak hanyalah benda mati.
Untuk apa ia harus takut?
TAMAT