Sabtu, 07 September 2013

Raita si Penulis Bagian 2

Keesokan harinya pada jam istirahat, Kunti menghampiri The Rangers yang sedang mengobrol di kantin.
“Tofaan…!” panggil Kunti. “Gawat! Coba lihat ini.” Kunti menunjuk-nunjuk majalah sekolah yang ia bawa.
Tofan memperhatikan majalah yang ditunjuk Kunti. Surdi pun berceletuk, “Dasar. Emangnya friend dia cuma Tofan?”
“Tak usah cemburu, Surdi,” sindir Erwin.
“Huh, siapa yang jealous? I kan calon gitaris band papan atas. Minimal levelnya itu cewek bule, lah,” sahut Surdi ngeles.
“Wajar lah, Sur. Tofan itu yang paling normal di antara The Rangers. Kalau lo pingin ngedapetin hati Kunti, minimal lo harus waras dulu. Wkwkwk,” sambung Tommy sok tahu.
“Rangers, ini bukan waktu yang tepat untuk ketawa,” kata Tofan sambil menunjukkan salah satu halaman majalahnya.

TIPS AMAN BERKENDARA MOBIL
Sekolah kita melarang para siswa membawa mobil ke sekolah. Soalnya membawa mobil cenderung memberikan permasalahan kepada para remaja, misalnya siswa menjadi sok dan pamer sehingga menimbulkan niat mencuri, atau munculnya kasta antara siswa kaya dan siswa miskin. Selain itu, para remaja labil cenderung sembrono dengan kebut-kebutan di jalan tanpa peduli bahayanya. Nah, di bawah sini terpampang nyata tips-tips aman berkendara mobil bagi para remaja.

“Terpampang nyata? Emangnya Syahrini?” komentar Tommy.
“Bukan itunya, Tommy…,” sahut Kunti agak keki. “Coba lihat foto-foto di bawahnya.”
Tommy terkejut. Ia seperti pernah melihat foto-foto itu. Lebih tepatnya, berada di sana secara langsung. Di foto itu, terpampang nyata penyimpangan dalam berkendara mobil, seperti tidak memakai sabuk pengaman, menerobos saat lampu terlihat merah, dan lain-lain. Dan masalahnya, pengemudi mobil di foto itu adalah Kunti saat pergi ke konser Kiran dulu.
“Dari mana the writer dapet foto itu? And apa tujuannya?” gumam Surdi.
“Bukan hanya itu. Coba lihat foto ini.” Kunti menunjuk salah satu foto di antara banyak tulisan. “Ada foto Tofan ndorong mobil gue waktu bensinnya habis. Juga foto Tofan dan gue yang duduk bareng di depan.”
“Eh, iya, bener. Tujuannya sudah pasti mau ngejatuhin kita,” sambung Tommy.
“Prediksi gue, bakal muncul gosip-gosip yang mengganggu kita karena isi majalah ini. Kita harus minta pertanggungjawaban penulisnya,” sahut Tofan.
“Sial, di sini nggak ditulis nama writer-nya.”
Bunyi bel terdengar 3 kali, tanda kalau jam istirahat sudah habis.
“Ya sudah, kita lanjutin besok aja. Usahain cari tahu penulisnya, ya. Kalau ada petunjuk, besok dibilangin,” kata Tofan mengakhiri pembicaraan di kantin.
Tak terasa 90 menit telah berlalu, jam pelajaran sudah habis. Ternyata benar prediksi Tofan, ia dan Kunti dilirik-lirik siswa lain ketika pulang. Beberapa dari mereka berbisik-bisik di belakang. Ada juga yang menahan tawa dan senyum-senyum sendiri. Sungguh perasaan yang tidak enak bagi Kunti dan Tofan.
Saat mereka berdua berpapasan di tempat parkir, ada juga yang meledek. “Cie… naik mobil berdua…”
Sementara itu, Tommy berjalan menuju halte depan sekolah untuk menunggu bus. Tiba-tiba tercium bau parfum yang seperti bau permen karet. Tommy pun mengendus-endus dan menemukan sumber baunya. Seorang cewek yang sedang duduk-duduk di halte. Cewek itu adalah cewek cantik yang pernah bertemu dengan Tommy beberapa waktu yang lalu, yaitu Raita.
Secepat kilat, Tommy menghampiri dan duduk di tempat duduk sebelah Raita yang kosong.
“Hai, Raita!” sapa Tommy.
“Eh, lo lagi. Lo ngikutin gue, ya?”
“Gue nggak ngikutin lo, cuman hati kita yang terhubung kayak magnet. Jadinya ketarik deh, ke sini,” gombal Tommy.
“Huh, gombal,” sahut Raita. “Utang lo nggak lo bayar sekarang aja? Biar lo segera ilang dari hidup gue.”
“Oh iya. Soal utang itu, maaf ya. Duit gue udah pas buat naik bus. Mungkin besok-besok aja, hehe…” jawab Tommy sambil nyengir.
Terdengar suara bus yang direm. Bus itu berhenti di depan halte. Tommy berlari menuju bus, tapi heran melihat Raita masih duduk-duduk saja.
“Raita nggak naik bus?” tanya Tommy sewaktu hendak masuk ke bus.
“Nggak. Gue naik odong-odong!” sahut Raita jutek.
Tommy masuk ke dalam bus. Ia mendapat tempat duduk di pinggir dekat kaca. Ia pun memandang Raita dari kaca. Ia sebenarnya mau berkata pada Raita kalau odong-odong tidak lewat depan sekolah, tapi tidak jadi karena ada seseorang yang mengajak ngobrol Raita. Ia membawa beberapa majalah sekolah di tangannya.
“Kerja lo bagus. Majalah kita langsung laris,” kata siswi yang membawa majalah sekolah pada Raita.
Tommy tetap memandang kedua siswi itu sampai jauh, meski ia tak mendengar apa pun yang dikatakan mereka.
***
Seperti biasa pada jam-jam ini, Erwin mengambil makan siang di dapur. Ia melakukan itu setiap hari seperti sudah terjadwal. Biasanya setelah ini, dia akan browsing atau membaca buku sampai sore, dilanjutkan mandi dan makan malam, baru belajar. Bahkan jika ada acara atau hari libur pun, ia punya jadwal tersendiri. Jadwal itu seperti sudah terekam di otaknya.
Kalau tidak sedang lapar, Erwin selalu susah makan. Ia tak bernafsu, padahal ia selalu punya jadwal harian. Untuk mengantisipasi, biasanya ia makan di depan TV agar tak terasa makanannya sudah habis. Seperti yang ia lakukan kali ini. Ia makan bersama Kak Ersa, kakaknya yang sedang libur kuliah.
Kakaknya yang hobi menonton TV itu sedang melihat acara infotainment, acara yang sama sekali tidak disukai Erwin.
“Kak, lihat saluran yang lebih bermutu saja,” saran Erwin.
“Saluran apa? Berita?” tebak Kak Ersa.
“Bukan. Mister Bean.”
“Ckckck…” Kakak Erwin geleng-geleng kepala.
Melihat jeda iklan sudah habis, Kak Ersa menonton TV kembali. Pembawa acaranya berlagak sok misterius, membuat Erwin keki menonton.
“Setelah hubungannya dengan Pandu, bermunculan beberapa isu mengenai artis cantik Kiran. Salah satu yang fenomenal adalah foto mesra antara Kiran dengan seorang pria remaja. Lantas ada hubungan apakah Kiran dengan pria tersebut? Dan bagaimana dengan Pandu?”
Mendengar perkataan sang pembawa acara, kepala Erwin sontak menghadap TV, menghentikan makan siangnya.
Berlanjut ke Bagian 3...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar