Rabu, 25 September 2013

Pameran Cihuy Bagian 2

Melihat itu, tanpa pikir panjang Tommy langsung menghampiri. Ia mengguncang bahu Agus sambil berkata, “Gus! Bangun, Gus! Kalo lo mati, gue nggak bisa utang lagi sama lo.”
“Gue belum mati, Oon!” sahut Agus kasar. “Lagipula mana mau gue mati kalo utang lo belum lunas?”
“Tapi gue masih boleh ngutang lo kan?” tanya Tommy.
Agus hanya memandangi dengan muka cemberut. Ia mencoba berdiri, tapi kakinya terluka. Ia juga syok melihat sepedanya rusak. “Hah? Sepeda gue yang baru dan mahal!” Ia memandangi Tommy lagi, kini dengan muka marah. “Tommy!”
Siswa-siswa di sana hanya menonton Agus dan Tommy. Salah satu warga di sana yang tahu langsung menghampiri dan menawari bantuan.
“Habis kecelakaan, ya? Sini, saya bantu,” ujar warga tersebut ramah.
Ia membantu Agus berjalan menuju rumahnya yang dekat dari sana. Tommy ikut sambil membawa sepeda Agus yang rusak. Warga yang ramah itu mengobati luka Agus dan meminta Agus bercerita tentang kecelakaan tadi.
“Semua ini salah dia!” Agus menunjuk Tommy. “Sepedanya berhenti di tengah jalan. Gue coba menghindar, tapi malah ketabrak motor yang lewat.”
“Ini bukan salah dia aja. Dia kan nggak bermaksud nyelakain kamu,” sanggah warga itu.
“Tapi Abang udah lihat sepeda gue kan? Berarti paling enggak kan dia harus ganti rugi,” sahut Agus.
Ganti rugi? Batin Tommy terkejut. Gue aja sering ngutang dia, gimana mau ganti rugi?
“Jangan ganti rugi dong, Gus. Yang lain aja, ya?” bujuk Tommy.
“Kalo gitu, gue tambahin utang lo.”
“Itu sama aja, Agus,” sahut Tommy. “Gimana kalo gue ngelakuin sesuatu buat ganti rugi? Utang-utang gue yang lain tetep, nggak usah ditambah-tambah.”
“Oke, gue setuju. Tapi lo harus nggantiin gue di fashion show Kusuma Expo malem Minggu besok. Deal?” tantang Agus.
“Fashion show? Badan gue kecil begini, mana pantes? Yang ada, gue malah diketawain,” sahut Tommy lagi.
“Lo berani, nggak? Kalo nggak mau, ya utang lo gue tambah senilai sepeda gue yang mahal itu,” balas Agus.
Tommy berpikir. Fashion show di kelas Tommy diwakili oleh Agus dan Kunti. Alasan anak-anak sekelas memilih mereka juga karena tidak ada yang berminat untuk ikut. Mungkin bisa dianggap ini kesempatan besar Tommy mengurangi utangnya yang juga besar, tapi masa dia ikut fashion show…?
***
“APA?!” Terlihat muka Kunti yang terkejut setengah hidup. “Gue ikut fashion show sama lo?!”
“Nggak usah alay, deh. Udah denger cerita gue tadi kan? Ini tuh karena terpaksa,” jelas Tommy.
“Iya, gue tau. Tapi lo itu…” Kunti tak tega melanjutkan perkataannya.
“Kenapa? Gue pendek? Nggak pantes?” tanya Tommy sensitif. “Iya, gue tau. Tapi mundur itu sama sekali bukan gue banget. Yang penting ikut, nggak peduli menang atau kalah.”
“Ya jelas lah, kita kan udah pasti kalah,” sahut Kunti.
“Tolongin dong, Kun. Masa lo nggak kasian sama temen lo satu ini?” Tommy memasang muka super melas.
Melihat muka itu, dinding emosi Kunti pun luluh. “Iya deh, iya. Tapi gue pakai topeng, ya? Biar nggak kelihatan.”
“Cihuy!” Tommy menyahut senang.
Tommy, Kunti, dan beberapa temannya melanjutkan menjaga stand pameran. Stand kelas mereka bernuansa halloween. Mungkin karena ini awal November, sehingga suasana halloween lalu masih terasa. Atau mungkin karena ada tuyul dan kuntilanak di kelas mereka, alias Tommy dan Kunti, hehe…
Namun, tema halloween tersebut justru tak membawa berkah. Buktinya, anak-anak kecil pada takut masuk stand itu karena dikira ada tuyul dan kuntilanak betulan. Tema itu juga jadi masalah bagi Surdi karena ia takut masuk ke dalam.
Sorenya, siswa-siswa lain datang untuk bergiliran menjaga stand. Giliran Tommy dan Kunti hari ini selesai, tapi mereka sudah memutuskan untuk berlatih fashion show dahulu.
Mereka berdua berlatih sendiri di dekat tempat parkir. Dilihat pengendara yang lewat bukan masalah bagi mereka, justru merupakan latihan percaya diri. Saat Tommy mencoba berjalan bak model, di depannya terlihat seorang putri cantik. Bukannya naik kereta kuda, ia justru naik sepeda motor. Dan bukannya memakai mahkota, ia justru memakai helm. Putri itu membonceng seorang pria bak kusir kereta kuda. Dan terkejutnya Tommy ketika tahu kalau pria itu Surdi, temannya sendiri.
Surdi memarkirkan kendaraannya, lalu putri yang diboncengkannya itu turun. Putri itu membuka helm. Maka terlihatlah wajah Raita yang bersinar. Surdi dan Raita kemudian pergi dari tempat parkir tanpa tahu kehadiran Tommy dan Kunti.
Tommy tak jadi berjalan bak model. Ia mematung, melongo dari tadi. Meski kini Raita sudah pergi, ia masih melongo. Dari tadi Kunti juga sudah berceloteh, tapi tak ditanggapi Tommy. Karena kesal, ia pun pergi meninggalkan Tommy sendirian.
Tommy baru sadar ketika sepeda motor di belakangnya membunyikan klakson. Diiin…!
“Ayam! Ayam!” latah Tommy.
Berlanjut ke Bagian 3...

Rabu, 18 September 2013

Pameran Cihuy Bagian 1

M
INGGU esok, ada yang berbeda di SMA Kusuma. Mengapa? Karena SMA Kusuma akan berulangtahun. Cihuy! Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya, akan mengadakan pameran bertajuk Kusuma Expo. Tapi berbeda, pada tahun ini, pamerannya akan lebih meriah karena ini adalah ulangtahun sekolah ke-25. Jika itu ulangtahun perkawinan, sudah perkawinan perak namanya.
Bagi siswa-siswa seperti Tommy, minggu esok terasa bagai angin sejuk. Tiada pelajaran yang membebani otak, juga ulangan maupun remedial. Namun, pada minggu terakhir sebelum pameran, justru ada sesuatu yang membebani hati Tommy.
Tommy sering melihat Surdi bersama dengan Raita akhir-akhir ini. Entah bagaimana, Tommy merasa keberatan alias jealous. Pertemuan dengan Raita sebelum ini telah menumbuhkan rasa berbeda di hati Tommy. Yah, bagi Tommy, Raita itu cantik, wangi, pintar menulis, aktif, idaman banget pokoknya.
Saat pulang, Tommy keluar kelas bersama Erwin. Biasanya, ia ikut Erwin menunggu Surdi dan Tofan di kelas sebelah. Tapi tak seperti biasanya, Surdi sudah di luar kelas… sedang mengobrol dengan Raita!
Takut jika perasaannya ini bisa dideteksi, ia lebih memilih berbohong dan kabur. “Win, perut gue sakit nih. Kayaknya bakal lama di toilet. Gue duluan aja, ya,” katanya ekspresif sambil memegang perut. Saking ekspresifnya, mukanya yang imut-imut jadi amit-amit.
“Iya, tidak apa-apa, Tom,” sahut Erwin singkat.
Tommy berlari ke toilet supaya terlihat meyakinkan. Tapi sesampainya di sana, ia justru kebelet beneran.
“Aduh, perut gue beneran sakit, nih. Ini pasti gara-gara sambel korek Emak tadi malem,” kata Tommy yang kini serius memegang perutnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung masuk ke dalam toilet.
Erwin yang setiap hari membonceng Surdi ke sekolah, kini sedang ikut nimbrung dengan Surdi dan Raita. Sedangkan Tofan yang aktif itu sedang mengurusi pameran sekolah minggu depan. Berbeda dengan Tommy, adanya pameran sekolah justru terasa bagai angin panas bagi Tofan. Buktinya, ia berkeringat terus karena sibuk mengurusi pameran itu.
“Sur, ekstranya mau mulai, nih,” kata Raita.
“Okay,” sahut Surdi. “Mm… Win, nanti you pulangnya bareng Tommy, ya. Lho? Where is Tommy?”
“Katanya, dia ke toilet dulu. Perutnya sakit,” jawab Erwin.
“Oh, ya sudah. I ikut extracuricular dulu ya, Win,” sahut Surdi lagi. Ia dan Raita pun pergi ke aula meninggalkan Erwin.
Erwin pun pergi ke toilet menunggu Tommy keluar. Pulang tak bersama Surdi sudah biasa Erwin jalani. Hampir setiap minggu, saat Surdi ikut ekstra seni musik. Tapi bukan masalah karena Erwin bisa pulang bersama temannya yang lain.
Tak lama kemudian, Tommy keluar dari toilet. Ia terkejut melihat Erwin menunggunya.
“Eh, Erwin. Ada apa?” tanya Tommy.
“Ayo, kita pulang bersama. Surdi sedang ikut ekstra seni musik,” sahut Erwin.
“Oh gitu,” Tommy manggut-manggut. “Ayo. Tapi tadi kenapa Surdi sama Raita? Emangnya Raita juga ikut seni musik?”
“Iya. Dia kan vokalis. Masa kamu baru tahu?”
“Iya, gue baru tahu, hehe…” Tommy nyengir.
Tommy dan Erwin berjalan menuju halte depan sekolah. Kemudian mereka pun naik bus bersama. Beruntung, mereka mendapat tempat duduk bersebelahan. Mengisi waktu, Tommy mencoba mengorek lebih dalam soal Surdi dan Raita.
“Win, ngomong-ngomong, kenapa belakangan ini Surdi deket sama Raita, ya?” tanya Tommy.
“Ternyata Tommy bisa cemburu juga, ya. Kukira kamu mudah gonta-ganti perempuan,” sahut Erwin.
Muka Tommy bersemu merah. “Siapa yang cemburu? Semua cewek kalo gue deketin juga mau,” Tommy ngeles sok-sokan.
“Tak usah malu, Tom. Kelihatan kok,” goda Erwin.
“Masa kelihatan kalo gue suka sama Raita?” Tommy keceplosan, baru sadar kalau barusan dia dites Erwin.
“Cie… Ternyata dugaanku benar. Hehe…” sahut Erwin sambil cengengesan.
“Huh, ketahuan, deh. Jadi lo tahu nggak soal hubungan Surdi sama Raita?”
“Aku kurang tahu, sepertinya hanya teman biasa,” jawab Erwin.
“Hmm… Ya sudah lah.”
***
Pada hari Senin dan Selasa, dilakukan persiapan pameran. Pameran dilakukan di lapangan sekolah. Pada hari-hari tersebut, para siswa sibuk memasang stand dan dekorasi. Baru pada hari Rabu, pameran itu dibuka dengan acara sepeda santai.
Dari depan sampai belakang sekolah, berbaris para pesepeda seperti prajurit kavaleri yang hendak menyerbu suatu daerah. Bedanya, prajurit itu berseragam olahraga dan menunggangi sepeda.
Meski yang naik sepeda itu hanya perwakilan setiap kelas, tapi acara tersebut berlangsung meriah. Para pesepeda itu bersepeda melalui rute yang sudah ditentukan, memberi pemandangan berbeda bagi siapa saja yang melihat.
Di saat siswa-siswa itu melewati sebuah SD, anak-anak SD sedang membeli jajan di luar. Sepertinya mereka sedang istirahat. Mengetahui ada rombongan pesepeda di luar, mereka pun menontonnya. Anak-anak SD yang perempuan saling berbisik-bisik, apalagi ketika Erwin dan Tommy lewat.
“Mas-nya yang itu ganteng, ya?” kata salah satu dari mereka sambil menunjuk-nunjuk.
Tommy yang mendengar itu langsung menyahut dengan ge-er. “Makasih, Dek.”
Anak itu balas menyahut dengan suara keras dan cempreng. “Lho, Mas-nya masih kecil kok boleh ikut?”
Telinga Tommy langsung panas mendengar itu. Ia serasa ingin melempar sepatunya pada anak tersebut. Untunglah, Tofan datang meredakan suasana.
“Hai, Gan!” sapa Tofan pada Erwin dan Tommy.
“Lho, ada Tofan. Kamu ikut bersepeda?” sahut Erwin.
“Iya, nih. Sekalian santai sedikit,” kata Tofan.
“Oh, begitu. Apa Surdi juga ikut?” tanya Erwin.
“Kayaknya di depan, sama si Raita.”
“Hah? Sama Raita?” Tommy terkejut. Tanpa sadar, ia tak mengayuh lagi sepedanya. Hatinya serasa dingin meski sinar mentari sedang terik.
Lambat laun, sepeda Tommy berhenti sendiri. Dari belakang, Agus si gemuk sedang ngebut dengan sepeda mahalnya. Melihat Tommy menghadang lajunya, ia mencoba menghindar, tapi seorang pengendara motor menyerempetnya hingga jatuh.
Pengendara motor itu cuek dan tetap melaju. Setelah kejadian balapan dengan Erwin, kini Agus sekali lagi menerima tabrak lari. Terlihat di tengah jalan, ia terbaring dengan luka di sikut dan lutut kanannya. Sepedanya terbaret dan rodanya peyok.

Melihat itu, tanpa pikir panjang Tommy langsung menghampiri. Ia mengguncang bahu Agus sambil berkata, “Gus! Bangun, Gus! Kalo lo mati, gue nggak bisa utang lagi sama lo.”
Berlanjut ke Bagian 2...

Minggu, 15 September 2013

Perempuan di Antara The Rangers



S
ELAIN The Rangers yang laki-laki semua, mungkin kalian sering melihat beberapa tokoh perempuan dalam cerita. Didorong oleh persamaan derajat dalam gender, kini bergantian dijelaskan para tokoh perempuan. Siapa mereka? Ini dia profilnya.

Kiran si Artis
Kiran adalah tokoh utama suatu sinetron yang tenar namanya. Reputasinya yang menanjak naik membuatnya direkrut ke dalam girlband bernama Fairies. Ia bahkan melakukan tur ke beberapa kota di Indonesia, termasuk kota asalnya.
Sebelum di Jakarta, Kiran dulu bertetangga dengan Erwin dan berteman baik. Meski berasal dari kota kecil, namun kecantikannya tak kalah dengan anak-anak Jakarta. Rambutnya kecokelatan, matanya bulat, dan jarinya lentik. Dia adalah gadis yang hangat dan polos. Tak heran jika banyak laki-laki yang menaksirnya.
Hobi Kiran adalah menyatu dengan alam, seperti memanjat pohon, bermain dengan hewan-hewan, atau merawat tanaman. Semua makhluk hidup adalah temannya. Namun, ia paling takut dengan suara petir karena pernah nyaris tersambar petir saat hujan-hujanan.

Kunti si Bayangan
Disebut bayangan karena Kunti sering terlihat bersama-sama The Rangers padahal bukan anggotanya. Apalagi kulitnya gelap sehingga semakin memperkuat citranya sebagai bayangan. Rambutnya yang juga hitam terurai sepunggung. Jika kesulitan mencarinya di malam hari, buatlah dia tertawa dan Kunti akan memperlihatkan gigi-giginya yang bersinar. Tapi jangan terkejut dengan tawa Kunti yang cetar membahana, “Hihihi….”
Kunti itu emosional dan perasa. Sifatnya ini membuat dia sering galau. Jika galau, ia sering curhat lewat SMS, facebook, twitter, dan media lainnya. Ia bahkan mengoleksi foto konyol teman-temannya untuk menghibur dirinya yang galau, meski itu tak berpengaruh banyak.
Kunti memiliki seekor kucing bernama Franky. Kucing itu seluruh bulunya berwarna hitam, tapi Kunti tak takut takhayul atau apa pun itu. Kunti justru menganggapnya teman senasib karena sama-sama hitam. Konon kata Surdi, nama Franky diambil dari kata “Frankenstein”. Ih, sereeem…

Raita si Penulis
Raita adalah salah satu siswi cantik di SMA Kusuma. Kata Tommy, ia bagai malaikat yang menyembuhkan penat di sekolah. Tommy rela mendapat nilai ulangan buruk dan dimarahi jika nantinya bertemu Raita. Penampilannya, keaktifannya di sekolah, dan parfumnya yang wangi permen karet itu memiliki daya magnet bagi para laki-laki.
Meski laki-laki banyak yang serasa lengket dengannya, ia justru risih. Ia akan memasang sifat sok jutek untuk menjaga image-nya dari para laki-laki. Soalnya ia memiliki prinsip untuk tidak berpacaran dulu di SMA. Ia ingin pacaran jika serius, bukan untuk main-main. Hal ini tentu saja menyiutkan nyali laki-laki di sekitarnya. Lagipula, belum ada cowok yang pernah menyentuh hati Raita, padahal bagi Raita yang penting hanya satu, yaitu keren. “Cowok keren adalah cowok yang mengerti dan menghargai seni,” begitu kata Raita.
Hobi Raita adalah menulis. Ia suka menulis karena ia suka membaca. Keindahan kata-kata para pengarang membuatnya tertarik ke dunia sastra. Ia memiliki mimpi dan tekad yang kuat untuk menjadi penulis. Hal itu membuat bakat Raita terasah. Ia kemudian dipercaya menjadi kepala pembuatan majalah sekolah. Jika ditanya mengapa ingin jadi penulis, ia akan menjawab dengan singkat, “A pen is sharper than a sword.”

Rabu, 11 September 2013

Raita si Penulis Bagian 4

Cewek itu dengan cuek hendak berjalan lagi, tapi langkahnya dihentikan Surdi. “Bentar, bentar. You yang namanya Raita, ya?” tanyanya.
“Iya. Emang kenapa? Masalah?” sahut Raita.
“Bukan. Itu, tadi you dipanggil di ruang sekretariat magazine. Ini I sebenarnya mau nyariin you, eh malah pakai acara nabrak-nabrak segala,” jelas Surdi.
“Oh, lo nyariin gue buat ngasih tau itu? Emang gue kenal sama lo?”
“Masa you nggak kenal? I kan calon gitaris band papan atas,” jawab Surdi pede.
“Kan baru calon,” sahut Raita. “Ya udah gue ke ruang sekretariat dulu. Makasih ya, infonya.”
Raita pun meninggalkan Surdi. Surdi tanpa sadar memandanginya terus dari belakang. “Raita itu beautiful juga ternyata,” gumamnya. “Oh iya. I harus beritahu Tofan.” Surdi pun mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Pintu ruang sekretariat majalah terbuka, tak seperti biasanya. Raita mengetuk pintu yang terbuka itu lalu masuk. Ruangan itu sepi dan gelap, seperti tak ada orang. Saat Raita mencoba memeriksa ruangan itu, pintu di belakangnya tiba-tiba ditutup oleh sosok makhluk kecil.
“Waa, tuyul!” Raita menoleh terkejut.
Sosok itu menyalakan lampu dan tampaklah wujud Tommy.
“Lho, lo ngapain di sini?” tanya Raita.
Bukannya menjawab genit seperti biasanya, ia justru menunjuk Tofan, Erwin, dan Kunti yang berdiri di dekat situ. Memang untuk masalah misi seperti ini, Tommy menurut kepada Tofan karena ia percaya Tofan akan melakukan yang terbaik bagi semua.
“Raita, kenapa lo ngelakuin ini semua ke kita?” tanya Kunti emosional.
“Ngelakuin apa?” Raita sok tidak tahu apa-apa.
“Tak perlu emosional, Kunti. Biar Tofan yang menjelaskan,” sahut Erwin.
“Kita udah tahu semua, Raita. Tommy ngeliat lo waktu lo pergi ke PT Suara Bangsa buat nyebarin foto pelukan Erwin dan Kiran. Lo juga ketua pembuatan majalah sekolah. Dengan leluasa, lo bisa masukin foto-foto gue dan Kunti dalam majalahnya. Jadi, lo pasti dalang di balik semua masalah foto kita,” jelas Tofan.
“Tapi, gimana lo bisa tahu? Lo cuma bisa menduga.” Raita mencoba beralasan. “Lo kan nggak tahu apa yang gue lakuin di PT Suara Bangsa. Yang masukin foto-foto kalian juga bisa aja dari teman-teman yang lain.”
“Kalau begitu, katakan apa yang kamu lakukan di PT Suara Bangsa,” pinta Erwin.
“Aduh, apa-apaan sih ini? Kalian lebay deh. Udah, gue mau pulang.”
“Lo harus tanggung jawab, Raita,” kata Kunti menunjukkan foto konyol Raita di ponselnya.
“Eh, dari mana lo dapet foto itu?” Raita terkejut.
“Dari mananya itu nggak penting. Yang penting, lo ngaku atau foto ini gue sebarin,” sahut Kunti.
“Iya deh, iya. Gue yang nyebarin foto-foto kalian. Gue ketemu kalian naik mobil, jadi gue ikutin sambil gue foto. Maafin gue. Gue iri sama persahabatan kalian soalnya gue nggak punya temen kayak gitu. Gue kesepian karena mungkin gue terlalu fokus sama impian penulis gue,” Raita mengaku. Ia kini merasa bersalah.
“Tidak apa-apa. Kadang-kadang aku juga sepertimu. Tetaplah fokus pada impianmu, tapi juga tetap ingatlah dengan hal lain, seperti pergaulan. Kalau kamu ingin, kamu boleh menjadi teman kita,” sahut Erwin.
“Beneran?” Mata Raita membelalak.
“Beneran. Lebih juga boleh kok,” tiba-tiba Tommy ikut menyambung.
“Huh, itu kan maunya lo doang,” sahut Raita jutek.
“Jadi gimana nih? Kita damai?” tanya Tofan.
“Iya. Semuanya, maafin gue ya. Gue nggak bakal ngelakuin hal itu lagi. Gue akan coba ngendaliin emosi gue. Untuk majalah yang lalu, udah terlanjur sih. Mau gimana lagi?” Raita menyalami semua yang ada di ruangan itu, sambil sekali lagi berkata “maaf”.
“Maaf ya, Kun,” kata Raita sambil bersalaman.
“Iya, nggak pa-pa. Gosip kosong lama-lama juga bakal hilang kok,” sahut Kunti.
“Maaf ya, Tom,” Raita menyalami Tommy.
“Iya. Ngomong-ngomong, tangan kamu halus deh.”
“Huh, gombal,” sahut Raita masih jutek. “Tapi kayaknya sahabat kalian masih kurang satu deh.”
“Iya, nih. Surdi kok belum nyusul?”
Sementara itu, Surdi yang memakai kacamata hitam sedang kehilangan arah. Dalam berjalan, ia beberapa kali menabrak benda seperti tembok, pohon, bahkan guru yang lewat. Entah kacamatanya yang terlalu gelap atau Surdi yang bego, tak ada yang tahu. Yang pasti kacamata itu benar-benar tak cocok bagi Surdi.

TAMAT

Selasa, 10 September 2013

Raita si Penulis Bagian 3

Mendengar perkataan sang pembawa acara, kepala Erwin sontak menghadap TV, menghentikan makan siangnya.
Di TV, terlihat foto Kiran sedang berpelukan dengan seorang cowok. Dan masalahnya, cowok itu adalah Erwin saat bertemu Kiran di minimarket SPBU dulu. Juga terlihat Kiran yang ditanya-tanyai wartawan soal hubungannya dengan cowok itu. Kiran pun selalu mengeles, “Dia cuma temen. Aku masih pacaran sama Pandu.”
“Maaf, Kiran. Aku tidak bermaksud mengganggumu,” kata Erwin pelan.
Kakaknya yang mendengar suatu bisikan dari Erwin, menoleh. “Apa kamu bilang sesuatu, Win?”
“Eh, tidak, tidak. Makanannya enak, hehe…” kata Erwin sambil melahap makanannya yang belum habis. Ia mengunyah sambil tersenyum, mencoba meyakinkan kakaknya.
“Ya enak lah. Kan ada aku yang ngebantuin Ibu masak,” sahut Kak Ersa ge-er.
Erwin melahap makanannya sambil berpikir. Foto-foto di majalah sekolah dan foto pelukan tadi terjadi pada waktu yang sama, yaitu saat hendak pergi ke konser Kiran. Berarti dalang di balik semua ini adalah orang yang sama, batin Erwin.
***
Keesokan harinya pada jam istirahat, The Rangers dan Kunti berkumpul di kantin. Mereka hendak membicarakan soal masalah kemarin.
“Gimana? Dapet petunjuk?” tanya Tofan.
“Aku dapat, Fan. Kemarin aku melihat infotainment. Di sana ada fotoku saat dipeluk Kiran. Beruntung, fotonya tidak terlalu jelas. Menurutku, foto itu dan foto-foto di majalah sekolah berasal dari orang yang sama. Dan tujuannya seperti dugaan Tommy, sudah pasti untuk menjatuhkan kita,” Erwin berpendapat.
“Ternyata tontonan Erwin kayak gitu,” gumam Tommy.
“Hei, kakakku yang menonton. Aku hanya ikut-ikut,” Erwin ngeles.
“Kemarin, I juga baca newspaper dengan isi yang sama,” tambah Surdi.
Kata “newspaper” mengingatkan Tommy tentang suatu nama. “Newspaper? Koran Suara Bangsa?”
“Yes. Emangnya ada apa, Tom?” Surdi balik bertanya.
“Soalnya gue pernah ngecengin cewek di bus sampai rumah gue kebablasan. Cewek itu mau pergi ke PT Suara Bangsa. Untung, gue dipinjemin duit. Jadinya ya bisa pulang.” Tommy justru bercerita.
“Kok malah cerita soal ngecengin cewek?” Kunti jadi geram.
“Sebentar, sebentar. Ini bisa jadi petunjuk. Apa lo tahu nama cewek itu, Tom?” tanya Tofan.
“Namanya Raita. Kemarin, gue juga ketemu sama dia. Wah, emang kalau jodoh itu nggak ke mana-mana,” Tommy bergurau ringan.
“Raita? Dia kan cewek yang aktif di kegiatan sekolah. Dia juga jadi ketua pembuatan majalah sekolah,” sahut Tofan. “Kalau begitu bisa jadi dia ketemu kita waktu pergi ke konser Kiran, kemudian diikuti sambil difoto. Di hari selanjutnya, dia mencetak majalah sekolah berisi foto-foto itu, juga mempublikasikan foto pelukan Kiran lewat PT Suara Bangsa.”
“Wah, good job, Tom! Ternyata kerjaan ngecengin cewek di bus ada gunanya juga,” puji Surdi.
“Tapi, apa motif Raita?” tanya Erwin.
“Mungkin iri sama kekompakan kalian. Yah, maklum lah. Biasanya cewek lebih emosional daripada cowok,” jawab Kunti.
“Oke. Berarti kemungkinan besar pelakunya adalah Raita, tapi apa yang bisa bikin dia mengaku?” tanya Tofan.
“Oh, gue tahu. Foto dibalas foto,” sahut Kunti menunjukkan ponselnya. “Raita itu temen SMP gue. Dan gue punya foto-foto konyolnya waktu MOS. Hihihi…”
“Kenapa photo kayak gitu you simpan?” tanya Surdi heran.
“Soalnya gue labil, gampang galau. Biar terhibur, gue koleksi deh macem-macem foto konyol. Hihihi…”
Tofan yang terlihat seperti komandan The Rangers pun berpikir sejenak. Ia kemudian menjelaskan strateginya. “Oke. Kalau begitu, misinya seperti ini …”
***
Sepulang sekolah, Surdi berjalan menuju kelas Raita dengan memakai kacamata hitam. Ia berkata itu untuk penyamaran, juga agar Surdi merasa lebih keren. Padahal bukannya keren, ia justru terlihat aneh. Mungkin jika ditambah tongkat, ia persis dengan orang tunanetra.
Entah bagaimana, Surdi malah seperti tunanetra beneran. Ia bertabrakan dengan seorang cewek.
“Jalan kok nggak liat-liat sih?” cewek itu sedikit kesal.
“Ini tuh bukan salah I aja. Kalo you jalannya liat-liat, udah pasti nggak nabrak I,” bantah Surdi.
“Huh.”
Cewek itu dengan cuek hendak berjalan lagi, tapi langkahnya dihentikan Surdi. “Bentar, bentar. You yang namanya Raita, ya?” tanyanya.
Berlanjut ke Bagian 4...

Sabtu, 07 September 2013

Raita si Penulis Bagian 2

Keesokan harinya pada jam istirahat, Kunti menghampiri The Rangers yang sedang mengobrol di kantin.
“Tofaan…!” panggil Kunti. “Gawat! Coba lihat ini.” Kunti menunjuk-nunjuk majalah sekolah yang ia bawa.
Tofan memperhatikan majalah yang ditunjuk Kunti. Surdi pun berceletuk, “Dasar. Emangnya friend dia cuma Tofan?”
“Tak usah cemburu, Surdi,” sindir Erwin.
“Huh, siapa yang jealous? I kan calon gitaris band papan atas. Minimal levelnya itu cewek bule, lah,” sahut Surdi ngeles.
“Wajar lah, Sur. Tofan itu yang paling normal di antara The Rangers. Kalau lo pingin ngedapetin hati Kunti, minimal lo harus waras dulu. Wkwkwk,” sambung Tommy sok tahu.
“Rangers, ini bukan waktu yang tepat untuk ketawa,” kata Tofan sambil menunjukkan salah satu halaman majalahnya.

TIPS AMAN BERKENDARA MOBIL
Sekolah kita melarang para siswa membawa mobil ke sekolah. Soalnya membawa mobil cenderung memberikan permasalahan kepada para remaja, misalnya siswa menjadi sok dan pamer sehingga menimbulkan niat mencuri, atau munculnya kasta antara siswa kaya dan siswa miskin. Selain itu, para remaja labil cenderung sembrono dengan kebut-kebutan di jalan tanpa peduli bahayanya. Nah, di bawah sini terpampang nyata tips-tips aman berkendara mobil bagi para remaja.

“Terpampang nyata? Emangnya Syahrini?” komentar Tommy.
“Bukan itunya, Tommy…,” sahut Kunti agak keki. “Coba lihat foto-foto di bawahnya.”
Tommy terkejut. Ia seperti pernah melihat foto-foto itu. Lebih tepatnya, berada di sana secara langsung. Di foto itu, terpampang nyata penyimpangan dalam berkendara mobil, seperti tidak memakai sabuk pengaman, menerobos saat lampu terlihat merah, dan lain-lain. Dan masalahnya, pengemudi mobil di foto itu adalah Kunti saat pergi ke konser Kiran dulu.
“Dari mana the writer dapet foto itu? And apa tujuannya?” gumam Surdi.
“Bukan hanya itu. Coba lihat foto ini.” Kunti menunjuk salah satu foto di antara banyak tulisan. “Ada foto Tofan ndorong mobil gue waktu bensinnya habis. Juga foto Tofan dan gue yang duduk bareng di depan.”
“Eh, iya, bener. Tujuannya sudah pasti mau ngejatuhin kita,” sambung Tommy.
“Prediksi gue, bakal muncul gosip-gosip yang mengganggu kita karena isi majalah ini. Kita harus minta pertanggungjawaban penulisnya,” sahut Tofan.
“Sial, di sini nggak ditulis nama writer-nya.”
Bunyi bel terdengar 3 kali, tanda kalau jam istirahat sudah habis.
“Ya sudah, kita lanjutin besok aja. Usahain cari tahu penulisnya, ya. Kalau ada petunjuk, besok dibilangin,” kata Tofan mengakhiri pembicaraan di kantin.
Tak terasa 90 menit telah berlalu, jam pelajaran sudah habis. Ternyata benar prediksi Tofan, ia dan Kunti dilirik-lirik siswa lain ketika pulang. Beberapa dari mereka berbisik-bisik di belakang. Ada juga yang menahan tawa dan senyum-senyum sendiri. Sungguh perasaan yang tidak enak bagi Kunti dan Tofan.
Saat mereka berdua berpapasan di tempat parkir, ada juga yang meledek. “Cie… naik mobil berdua…”
Sementara itu, Tommy berjalan menuju halte depan sekolah untuk menunggu bus. Tiba-tiba tercium bau parfum yang seperti bau permen karet. Tommy pun mengendus-endus dan menemukan sumber baunya. Seorang cewek yang sedang duduk-duduk di halte. Cewek itu adalah cewek cantik yang pernah bertemu dengan Tommy beberapa waktu yang lalu, yaitu Raita.
Secepat kilat, Tommy menghampiri dan duduk di tempat duduk sebelah Raita yang kosong.
“Hai, Raita!” sapa Tommy.
“Eh, lo lagi. Lo ngikutin gue, ya?”
“Gue nggak ngikutin lo, cuman hati kita yang terhubung kayak magnet. Jadinya ketarik deh, ke sini,” gombal Tommy.
“Huh, gombal,” sahut Raita. “Utang lo nggak lo bayar sekarang aja? Biar lo segera ilang dari hidup gue.”
“Oh iya. Soal utang itu, maaf ya. Duit gue udah pas buat naik bus. Mungkin besok-besok aja, hehe…” jawab Tommy sambil nyengir.
Terdengar suara bus yang direm. Bus itu berhenti di depan halte. Tommy berlari menuju bus, tapi heran melihat Raita masih duduk-duduk saja.
“Raita nggak naik bus?” tanya Tommy sewaktu hendak masuk ke bus.
“Nggak. Gue naik odong-odong!” sahut Raita jutek.
Tommy masuk ke dalam bus. Ia mendapat tempat duduk di pinggir dekat kaca. Ia pun memandang Raita dari kaca. Ia sebenarnya mau berkata pada Raita kalau odong-odong tidak lewat depan sekolah, tapi tidak jadi karena ada seseorang yang mengajak ngobrol Raita. Ia membawa beberapa majalah sekolah di tangannya.
“Kerja lo bagus. Majalah kita langsung laris,” kata siswi yang membawa majalah sekolah pada Raita.
Tommy tetap memandang kedua siswi itu sampai jauh, meski ia tak mendengar apa pun yang dikatakan mereka.
***
Seperti biasa pada jam-jam ini, Erwin mengambil makan siang di dapur. Ia melakukan itu setiap hari seperti sudah terjadwal. Biasanya setelah ini, dia akan browsing atau membaca buku sampai sore, dilanjutkan mandi dan makan malam, baru belajar. Bahkan jika ada acara atau hari libur pun, ia punya jadwal tersendiri. Jadwal itu seperti sudah terekam di otaknya.
Kalau tidak sedang lapar, Erwin selalu susah makan. Ia tak bernafsu, padahal ia selalu punya jadwal harian. Untuk mengantisipasi, biasanya ia makan di depan TV agar tak terasa makanannya sudah habis. Seperti yang ia lakukan kali ini. Ia makan bersama Kak Ersa, kakaknya yang sedang libur kuliah.
Kakaknya yang hobi menonton TV itu sedang melihat acara infotainment, acara yang sama sekali tidak disukai Erwin.
“Kak, lihat saluran yang lebih bermutu saja,” saran Erwin.
“Saluran apa? Berita?” tebak Kak Ersa.
“Bukan. Mister Bean.”
“Ckckck…” Kakak Erwin geleng-geleng kepala.
Melihat jeda iklan sudah habis, Kak Ersa menonton TV kembali. Pembawa acaranya berlagak sok misterius, membuat Erwin keki menonton.
“Setelah hubungannya dengan Pandu, bermunculan beberapa isu mengenai artis cantik Kiran. Salah satu yang fenomenal adalah foto mesra antara Kiran dengan seorang pria remaja. Lantas ada hubungan apakah Kiran dengan pria tersebut? Dan bagaimana dengan Pandu?”
Mendengar perkataan sang pembawa acara, kepala Erwin sontak menghadap TV, menghentikan makan siangnya.
Berlanjut ke Bagian 3...