Rabu, 26 Februari 2014

Remaja & Pacaran Bagian 1

P
AGI ini ada pelajaran bahasa Inggris. Seperti biasa, Pak Ferry tidak datang tepat waktu. Karena itu, Tommy dengan santainya menghampiri bangku Ai meski masih jam pelajaran. Mereka mojok berdua sambil mengobrol. Jengkel bangkunya dipakai berpacaran, Kunti pun pindah tempat duduk di sebelah Erwin.
Hingga setengah jam kemudian, Pak Ferry masuk ke kelas. Tommy gelagapan melihat Pak Ferry datang. Seisi kelas langsung menuju bangkunya masing-masing. Tommy pun kembali ke bangku sebelah Erwin, tapi…
“Lo ngapain? Sama pacar lo aja sana,” kata Kunti terdengar kesal.
“Serius dong. Ini kan pelajaran, kalo gue sebelahan sama Ai-chan nanti nggak konsen,” sahut Tommy.
“Dari tadi juga jam pelajaran, tapi lo sebelahan sama Ai,” timpal Kunti.
“Huh.” Tommy kembali ke bangku sebelah Ai dengan muka masam.
Pak Ferry tersenyum memperhatikan Tommy. Ia kemudian memulai pelajaran. “Okay, good morning, class! Now, we will discuss about exposition text.”
Selama pelajaran, Tommy memang tidak dapat konsentrasi. Sesekali ia melirik ke arah Ai untuk menatap wajahnya yang cantik. Ia juga modus “pura-pura tidak sengaja” menyentuh tangan Ai. Sampai-sampai Pak Ferry memperhatikan gerak-gerik Tommy.
“Tommy, do you understand?” tanya Pak Ferry di tengah penjelasannya.
Seisi kelas menoleh ke arah Tommy. “Stand, Sir,” jawab Tommy spontan.
Tawa teman-temannya pun membahana. “What did I talk about?” tanya Pak Ferry lagi.
“Exposition text, Sir,” jawab Tommy lagi.
“What is exposition text?”
“Err… a text to expose something, maybe,” jawab Tommy ngawur.
“It’s not fully correct, Tommy. So, listen to me,” sahut Pak Ferry.
Tommy pun mengangguk dan mencoba lebih berkonsentrasi. Namun akhirnya pun tak jauh beda dari sebelumnya.
Tak terasa sejam telah berlalu, diikuti oleh bunyi bel sekolah sebagai tanda selesainya jam bahasa Inggris. Saat itu tiba-tiba saja Pak Ferry memanggil Ai.
“Mm… Ai, please come here,” panggilnya.
Kontan Tommy takut jika Ai dimarahi karena berpacaran terus. Terus terang saja, Ai kan pintar di pelajaran bahasa Inggris. Mungkin Pak Ferry takut kalau nilai Ai turun.
Ai maju ke depan dan Pak Ferry terlihat bicara panjang lebar pada Ai. Ai sesekali menanggapi dengan mengangguk atau bertanya. Setelah Pak Ferry selesai dan keluar kelas, Ai pun kembali ke bangkunya. Tommy dengan penasaran menanyainya.
“Ai-chan tadi dibilangin apa sama Pak Ferry?”
“Itu… saya mau di…”
“Dijadiin menantu? Tidaaak!” sela Tommy alay persis Surdi.
“Bukan, Tommy-kun. Saya mau diikutkan lomba pidato bahasa Inggris,” ujar Ai.
“Oh, lomba. Lombanya dalam rangka apa? Di mana?” tanya Tommy.
“Lombanya di balai kota dalam rangka hari lingkungan hidup sedunia. Tanggal 5 Juni,” jawab Ai.
“Latihan yang serius, ya, Ai-chan. Biar bisa menang,” dukung Tommy.
“Iya, makasih, Tommy-kun.”
***
Hari ini tanggal 4 Juni. Seperti biasa saat istirahat, Ai dan Tommy mojok di kelas. Mereka membicarakan soal lomba pidato bahasa Inggris Ai besok.
“Tommy-kun, saya grogi banget untuk besok. Saya takut blank waktu di panggung,” tutur Ai.
“Ah, nggak usah pesimis gitu. Kalau Ai-chan percaya bisa, Ai-chan bisa. Lagipula Ai-chan kan cantik. Juri yang ngeliat pasti udah klepek-klepek duluan,” gombal Tommy.
“Ah, Tommy-kun gombal.”
Tiba-tiba Raita masuk ke kelas saat itu. Ia mencari Tommy. Ketika mendapati Tommy tengah berduaan dengan Ai, ia pun menghampiri.
Raita berjalan sambil membawa buku dan pulpen. Tommy sepertinya sudah tahu apa maksud Raita menghampirinya. Ia dengar dari Tofan kalau Raita pernah menanyainya banyak soal pacaran. Katanya, ia melakukan itu untuk dijadikan data dalam karya ilmiahnya. “Pacaran itu bikin kita punya banyak pengalaman jadi remaja,” begitu pendapat Tofan saat ditanyai Raita.
Kemudian Raita menepuk bahu Tommy. “Tom, gue lagi dapet tugas bikin karya ilmiah nih. Dan yang gue bikin menyoroti soal remaja dan pacaran,” jelas Raita. “Nah, lo kan pacaran, terus dari yang gue amati, lo itu beda dan selalu jadi diri lo sendiri. Jadi, lo pasti punya pendapat yang beda soal pacaran. Boleh gue tanya-tanya seputar itu?”
“Mm… boleh aja, sih,” jawab Tommy.
“Ng… saya ganggu kalian, ya? Saya akan pergi dulu,” kata Ai menyingkir dari sana.
“Eh, Ai-chan, di sini aja,” bujuk Tommy, tapi Ai tidak menggubris perkataannya.
Tommy ingin mengejar Ai, tapi dicegah oleh Raita. “Sebentar aja, Tom,” pinta Raita. Tommy pun duduk kembali di kursi. “Pertanyaan pertama: mengapa Anda berpacaran?”
“Gue pacaran soalnya gue sayang sama Ai,” jawab Tommy standar.
“Jawaban yang simple,” komentar Raita. “Pertanyaan kedua: apakah dengan berpacaran, ada dampak yang signifikan bagi Anda?”
“Mm… gue jadi lebih tahu soal cewek. Misalnya, siklus emosinya atau kode-kode bahasanya. Gue juga jadi lebih pe-de soalnya udah punya pacar. Kemudian kita juga jadi lebih aktif, aktif SMS-an, telponan, sehingga waktu kita dapat terisi. Kita juga jadi pintar memijit-mijit HP, hehe….”
Raita manggut-manggut mendengarkan kata-kata Tommy. “Kita itu kan pelajar SMA. Menurut Anda, bagaimana dampaknya terhadap pendidikan atau semangat belajar?”
“Dampaknya kita jadi punya mitra sekolah. Kalau si dia nyuruh belajar, paling tidak kita bisa buka-buka buku sedikit. Kalau si dia ngerjain pe-er, paling tidak kita bisa nyontek-nyontek dikit.”
“Bagaimana dengan waktu yang terbuang untuk SMS-an dan pacaran, daripada belajar?”
“Kan udah gue bilang tadi. Waktu kita jadi bisa terisi. Siswa juga nggak boleh belajar terus, tau. Nanti bisa jebol otaknya.”
“Hmm… Jadi, lebih banyak mana dampak positif dengan….”
Belum selesai Raita berbicara, perkataannya sudah harus disela oleh bel sekolah. Jam istirahat sudah selesai dan Raita ingat kalau setelah ini ada ulangan.
“Yaah, istirahat udah selesai, Tom. Dilanjutkan besok, ya? Cuma kurang beberapa pertanyaan aja. Maaf, buru-buru, soalnya habis ini gue ada ulangan,” kata Raita sambil meninggalkan kelas Tommy.
Berlanjut ke Bagian 2...

Rabu, 12 Februari 2014

Topeng Tengkorak Bagian 3

“Pembully harus mati?” gumamnya bertanya-tanya.
Bagas kontan teringat cerita Indra mengenai siswa yang pernah bunuh diri karena selalu dibully. “Hiii…” Ia pun ketakutan dan berlari keluar kamar.
Di lain tempat, Ardhi sedang bersiap menghampiri Bagas untuk latihan ngeband. Ia sudah memakai helm pembalap kebanggaannya dan menunggangi sepeda motor kerennya. Tapi sewaktu ia sudah mau tancap gas, helmnya direbut dari belakang hingga lepas. Saat Ardhi refleks menoleh, ia melihat sosok kecil berwarna putih yang hanya memakai kolor membawa pergi helmnya.
“Ha? Ada tuyul sore-sore begini?” gumam Ardhi.
Ardhi pun mengejar tuyul itu dengan sepeda motornya, sampai-sampai masuk gang-gang kecil yang sulit dilewati. Namun lama-lama Ardhi kehilangan jejaknya. Awalnya ia tak menyerah untuk mencari helm kebangaannya, tapi karena ia hampir terlambat ngeband, ia memutuskan kembali ke rumah untuk memakai helm yang lain.
Setelah ia hendak mengambil helm ayahnya, tiba-tiba saja ia melihat helmnya ada di dekat pohon mangga depan rumah. Ia pun mengambil helm itu. Tapi sewaktu ia melihat ke atas iseng mencari mangga yang matang, ia malah mendapati hantu bertopeng tengkorak tengah melayang-layang dan tertawa dengan jahat.
“Waa!” Ardhi cepat-cepat memakai helm itu dan tancap gas menghampiri Bagas.
Sesampainya di rumah Bagas, Bagas langsung keluar rumah dan menghampiri motor Ardhi. Tapi ia melihat kejanggalan di helm Ardhi.
“Dhi, helm lo kenapa?” tanya Bagas.
“Ada apa?” Ardhi melepas helmnya.
“Ada tulisan warna merah darah!”
“Pembully harus mati?” mereka mengeja tulisan itu.
Bagas teringat kejadian tadi sore dan menceritakan itu pada Ardhi. “… Kayaknya kita harus segera pergi dari sini deh, atau hantu itu bakal ngelakuin hal yang lebih buruk.”
“Lo percaya gituan?” ejek Ardhi. “Bisa aja tadi orang iseng. Mana ada hantu muncul sore-sore gini?”
“Hihihihi….” Suara tawa yang seram memecah keheningan.
Bagas dan Ardhi menoleh ke atas dan melihat sosok kuntilanak tengah duduk di dahan pohon besar.
“Waaa!” Mereka ketakutan dan segera cabut menuju studio band.
Sesampainya di studio band, mereka melihat Surdi tengah duduk-duduk sendirian.
“Tofan mana?” tanya Bagas.
“I don’t know, telat maybe,” sahut Surdi. “We tunggu aja dulu.”
“Ah, buat apa ditunggu? Kita ngeband dulu, nanti dia juga bakal nyari kita,” ujar Ardhi.
Ardhi pun masuk ke ruang studio, diikuti oleh Bagas dan Surdi. Namun ketika Ardhi mencoba menyalakan lampu di ruang tertutup itu, lampu tidak juga menyala. Malah muncul tulisan terang berwarna merah di dinding. “PEMBULLY HARUS MATI!” begitu bunyinya. Dan dari ujung ruangan, muncul sosok bermata terang. Sosok itu perlahan mendekati mereka bertiga.
“Waaa!” Bagas dan Ardhi lari tunggang langgang, cepat-cepat kembali ke rumah. Namun Surdi kembali pingsan di tempat.
“Sur! Surdi!” Sosok itu mencoba membangunkan Surdi. “Gue bukan…”
Belum selesai sosok itu berbicara, Surdi sudah sadar dan kontan keluar ruangan itu. “Waaa, ghost!” teriaknya sambil berlari.
Surdi berlari hendak pulang dengan motornya, tapi ia kembali terkejut. Di hadapannya ada tuyul, kuntilanak, dan 2 hantu bertopeng tengkorak yang berboncengan naik sepasang motor. Ia hendak pingsan, tapi tuyul itu dengan cekatan menghampiri Surdi.
“Sur, gue Tommy,” katanya.
“Hah?” Surdi melongo tak jadi pingsan.
Sosok bertopeng tengkorak tadi keluar dari ruang studio, lalu melepas topengnya. Ternyata sosok itu Tofan. Dua sosok hantu bertopeng tengkorak yang lain juga ikut melepas topengnya. Mereka adalah Erwin dan Indra.
“So, who is the kuntilanak?” tanya Surdi masih takut-takut.
“Gue Kuntiii…” jawab kuntilanak itu.
“Oh, pantes,” sahut Surdi. “And bagaimana ceritanya you semua jadi ghost-ghost-an?”
“Yang pertama jadi hantu itu gue. Gue pingin Bagas sama Ardhi kapok ngerjain gue sama murid-murid lain,” sahut Indra.
“Oh, berarti penampakan di toilet for girls, parking place, and ruang ganti itu you semua?” tanya Surdi lagi.
“Iya, gue mau nyebar gosip dan cerita hoax dulu supaya mereka percaya dan ketakutan,” ujar Indra. “Waktu di ruang ganti, gue nyeritain itu ke Tofan dan bikin rencana. Kita semua pun ngerjain mereka tadi. Tapi maaf, ya, Sur, gue nggak cerita sama lo waktu itu, soalnya lo pingsan segala, sih.”
“Hehe… it’s alright. Yang penting Bagas and Ardhi pasti nggak bakal ganggu you lagi.”
“Eh iya, Ndra, waktu di toilet cewek lo sempet ngintip, nggak?” tanya Tommy iseng.
“Mm… rahasia dong.”
“Hah?” Teman-teman Indra saling berpandangan.
TAMAT

Sabtu, 08 Februari 2014

Topeng Tengkorak Bagian 2

“Eh, eh, gue mau pakai celana gue dulu…!” kata Tofan panik.
Bagas dan Ardhi lari menuju kelas. Ia berkata pada teman-temannya dengan panik.
“Temen-temen! Gawat, itu… Surdi…, sama Tofan… ditangkep To…” sahut Bagas dan Ardhi terbata-bata.
“To…? Tokek?” terka teman-temannya.
“Bukan…” sahut Bagas.
“Oh, gue tahu. Tomcat?” terka salah satu dari mereka.
“Bukan, Bego!” maki Ardhi. “Surdi sama Tofan ditangkep Topeng Tengkorak!”
“Ah, ini pasti akal-akalan lo kan, biar kita ketipu lagi?” sahut salah satu dari mereka.
“Enggak. Kita serius. Kalo nggak percaya, ayo pergi ke ruang ganti cowok.”
“Gue kan cewek,” ujar salah satu dari mereka sok imut.
Tiba-tiba Indra masuk ke kelas membawa jajanan. Begitu melihat teman-temannya berkerumun, Indra menghampiri.
“Ada apa lagi ini?” tanyanya.
“Gawat, Culun!” Bagas mengguncang pundak Indra. “Surdi sama Tofan ditangkep hantu bertopeng tengkorak di ruang ganti!”
“Hah? Jadi itu bukan ulah kalian?” tanya Indra terkejut.
“Bukan kita. Serius,” Bagas mengacungkan dua jarinya ke atas.
Indra diam sebentar, kelihatan bengong. “Sebenarnya…” Indra berkata serius sambil membenarkan letak kacamatanya. “Sebenarnya gue pernah denger cerita dari ibu kantin.”
“Cerita apa?” tanya Ardhi.
“Katanya…,” Indra mulai bercerita. “Dulu pernah ada anak yang sukanya dibully sama anak-anak sok jagoan di SMA ini. Anak itu tinggal di rumah hanya bersama neneknya. Ibunya telah meninggal dan ayahnya suka bepergian untuk bekerja. Suatu hari, anak-anak sok jagoan itu mengunci anak tersebut di dalam ruang ganti. Dan parahnya, penjaga sekolah pun tak tahu kalau masih ada anak di dalamnya. Penjaga sekolah menguncinya dan anak itu tak bisa keluar. Sampai keesokan paginya, penjaga sekolah menemukannya dan ia keluar menjadi gila. Beberapa hari kemudian…,” Indra menelan ludah. “Ia gantung diri di parkiran sekolah karena tak tahan menjalani hidupnya yang sepi dan penuh siksaan.”
“Wah, mengerikan…”
“Apa hantu bertopeng tengkorak itu arwahnya?”
“Tapi mengapa baru sekarang ia muncul?”
Beberapa pertanyaan dari teman-temannya muncul bertubi-tubi.
“Terus apa lagi yang lo tahu?” tanya Ardhi.
“Katanya, ia akan membalaskan dendamnya. Ia akan menghantui anak-anak yang suka membully anak lain,” sahut Indra.
“Hiii….” Bagas bergidik.
Tak lama, Tofan masuk ke kelas bersama Surdi yang sempoyongan sambil memegangi kepalanya. Teman-teman sekelasnya menghampiri dan bertanya bagai kerumunan wartawan yang menyerbu artis.
“Lo kok lama? Habis diapain sama hantu itu?” tanya mereka.
“The ghost punya magic yang bikin I pingsan,” sahut Surdi.
“Bukannya lo yang ketakutan sampai pingsan?” tanya Ardhi.
“Hehe…” Surdi hanya nyengir.
“Gue lihat sosok topeng tengkorak itu. Tapi nggak tahu, habis itu dia ngilang,” ujar Tofan.
***
Sorenya, Tofan hendak pergi untuk ngeband dengan Surdi. Rencananya, mereka hendak ngeband di studio dekat rumah Kunti pukul 4 sore. Namun anehnya, sekarang masih jam 3 sore dan Tofan pergi bersama Erwin dan Tommy.
Band Tofan bernama Bats. Nama band itu berasal dari singkatan nama-nama personilnya, yaitu Bagas sebagai basis, Ardhi sebagai vokalis, Tofan sebagai drummer, dan Surdi sebagai gitaris. Walau Bagas dan Ardhi itu suka jahil dan iseng, namun mereka memiliki jiwa musik yang tinggi. Tanpa mereka, band Bats mungkin tak sebaik sekarang.
Soal nama band, sebenarnya Surdi pernah mengusulkan nama “Sabt” (baca: sabet), tapi langsung ditolak mentah-mentah oleh yang lain. Lagipula, nama “Bats” memiliki filosofi tersendiri. Bats yang berarti kelelawar melambangkan keunikan, kebebasan, dan jiwa musik yang tinggi.
Tofan, Erwin, dan Tommy mampir sebentar di rumah Kunti. Di sana sudah ada sebuah skutermatik. Dan ketika mereka mengetuk pintu ruang tamu yang terbuka, sudah ada Kunti dan sesosok makhluk dengan mata yang bercahaya.
***
Pukul setengah 4. Bagas masih tidur terlelap di kamarnya. Dasar pemalas! Namun, tidurnya terganggu oleh bunyi ketukan di jendela kamarnya. Tuk, tuk, tuk! Bagas setengah sadar menegakkan kepalanya dan memandang ke arah jendela. Ia melihat sosok memakai jubah dan pakaian hitam dengan topeng tengkorak. Begitu sadar, ia langsung terkejut sampai-sampai terjatuh dari ranjangnya.
Bagas kemudian terbangun sambil mengelus punggungnya yang sakit setelah jatuh. Ia melihat kembali ke arah jendela, namun sosok topeng tengkorak itu menghilang. Bagas sebenarnya tak berani mendekat, tapi ia melihat tulisan di jendelanya berwarna merah darah. Ia mendekati jendela dan membaca tulisan itu.
“Pembully harus mati?” gumamnya bertanya-tanya.
Berlanjut ke Bagian 3...