T
|
OK, tok, tok… Pintu diketuk beberapa kali. Di dalam kamar
terlihat Erwin masih tidur. Tak seperti biasanya. Padahal di meja kamarnya ada
jam weker yang setiap hari selalu membangunkannya dengan setia, tapi tidak pada
hari ini.
Pintu kamar dibuka dari luar.
Seorang ibu masuk membawa nampan berisi makanan dan minuman, menggelengkan
kepala melihat anak laki-lakinya.
“Erwin… Bangun. Nanti telat, lho,”
kata ibu itu sambil menaruh isi nampan ke atas meja. Mata Erwin membuka
perlahan. “Cepetan dimakan dulu sarapannya.”
Setelah kesadarannya pulih, ia
mengucek-ucek matanya. “Lho, sekarang pukul berapa?” Ia melihat ke arah jam
wekernya, tapi jam weker itu mati, justru menunjukkan pukul 2.
“Oh, baterai jam weker ini habis
rupanya. Pantas saja tadi tak ada alarm,” gumam Erwin. “Wah, kalau terlambat
bagaimana ini? Aku harus cepat-cepat kalau nanti Surdi datang.” Erwin pun
memakan sarapan di meja kamarnya dengan lahap.
Setiap berangkat sekolah, Erwin
dan Surdi memang selalu bersama. Surdi selalu menghampiri Erwin di rumahnya
setiap pagi untuk memboncengkannya naik sepeda motor. Sebenarnya Erwin sungkan
membonceng Surdi terus, lagipula dia punya sepeda. Ini juga bukan kehendak
Erwin. Saat kawan-kawannya bermain di rumahnya waktu liburan, ibunya meminta
Surdi untuk mengantarkan Erwin ke sekolah tiap pagi.
Beberapa menit kemudian, sepeda
motor yang ditunggangi Surdi sudah siap di depan rumah Erwin. Erwin gelagapan.
Ia menemui Surdi di depan rumah, belum memakai seragam sekolah, belum mandi
pula.
“Sur, maaf, jam wekerku tadi habis
baterainya. Apa kamu berangkat dulu? Biar aku naik sepeda saja.”
“It’s okay, Win. I akan tunggu di
sini,” kata Surdi.
“Tapi kalau kita terlambat
bagaimana?” tanya Erwin lagi.
“Lebih baik I telat daripada harus
ninggalin my friend sendirian,” jawab cowok yang masih memakai helm itu sok bijak.
Erwin tersenyum. “Terima kasih,
Surdi. Ya sudah, aku mandi dulu.”
Beberapa menit kemudian, tepatnya
pukul 7 kurang 5 menit, Erwin baru siap berangkat. Mereka pun berangkat sekolah
dengan segera.
“Win, kita santai aja, ya.
Kayaknya udah pasti I sama you telat,” kata Surdi malas.
Karena santainya Surdi, mereka
berdua baru sampai sekolah pukul 7 lebih 10 menit. Setelah beberapa bla-bla-bla
dari guru, mereka memarkirkan sepeda motor lalu cepat-cepat menuju ke kelas
masing-masing.
Kelas Erwin dan Surdi memang
berbeda. Erwin sekelas dengan Tommy, sedangkan Surdi sekelas dengan Tofan. Saat
mereka tengah berlari itu, ada 2 orang guru yang baru keluar dari kelas Surdi,
berpapasan dengan mereka berdua. Sepasang guru itu membawa gunting, tapi
sepertinya tak menyadari kalau ada anak berambut gondrong yang melewati mereka.
“Thank God,” Surdi lega sambil mengelus-elus
dadanya. Ia takut sekali kalau rambut gondrong kesayangannya itu akan dipotong.
Ternyata Erwin juga tak menyadari kehadiran sepasang guru tadi karena ia
bergegas menuju kelas, takut dimarahi guru.
Di dalam kelas Surdi, seorang guru
muda sedang duduk di meja guru sambil menyiapkan kertas soal ulangan. Dengan
sepatu hak tingginya, ia terlihat semampai. Guru PKn ini memakai kacamata dan
rambutnya lurus sepundak. Murid-murid memanggilnya Bu Lusi, tapi kalau jengkel,
mereka memanggilnya Bulus. Soalnya Bu Lusi sering memberi soal-soal ulangan
yang sulit. Kecantikan dan penampilannya yang menarik juga sering membius para
murid laki-laki. Tentu saja murid-murid perempuan merasa iri dan sering
menggosipkan Bu Lusi.
Setelah selesai menyiapkan kertas
soal ulangan, ia berkata, “Oke. Seperti yang saya katakan minggu lalu, hari ini
kita ulangan. Siapkan kertas…” Belum selesai Bu Lusi berbicara, ada yang
mengetuk pintu. Sesosok cowok cungkring nan gondrong masuk.
Cowok itu alias Surdi mencium
tangan Bu Lusi. “Maaf, Ma’am. I am terlambat.”
“Dan kenapa kamu terlambat?” tanya
Bu Lusi.
“Baterai jam wekernya my friend
tadi habis, jadinya dia kesiangan. Nah, sebagai a good friend, I tungguin dia
walau terlambat,” jawab Surdi jujur.
“Ini dia contoh warga negara yang
tidak baik. Tidak disiplin, anak-anak. Jangan kalian tiru tindakan seperti
ini,” kata Bu Lusi pada seisi kelas.
Surdi sekilas melirik ke arah
tumpukan soal ulangan yang sudah siap. Ia lupa kalau hari ini ulangan. Memanfaatkan
kesempatan ini, ia mencoba berdebat dengan Bu Lusi agar tak jadi ulangan. “Lho,
tapi kan tujuan I baik, menunggu my friend, Ma’am. Masa my friend mau I tinggal
begitu saja?”
“Tetap saja itu melanggar
peraturan dan tidak disiplin, Surdi,” balas Bu Lusi.
“But, siapa yang tahu baterai jam weker
itu akan mati, Ma’am? Kalau Mrs Lusi jadi myself, apa yang akan Mrs Lusi
lakukan?” kata Surdi sok-sokan, padahal sebenarnya jantungnya berdebar-debar,
takut usahanya menggagalkan ulangan tidak berhasil.
“Saya lebih baik meninggalkan
teman kamu itu karena yang salah adalah dia sendiri.”
“Berarti Ma’am ngajarin jadi warga
negara yang egois, begitu?” Surdi mungkin kelewatan berdebat dengan guru
seperti ini, tapi dia tetap sok-sokan.
Akhirnya, jam pelajaran PKn itu
diisi oleh acara debat antara Bu Lusi dan Surdi. Sedangkan di sebelah kelas
itu, yaitu kelas Erwin dan Tommy, tak ada gurunya sehingga murid-murid pada
bermain dan ngerumpi sendiri-sendiri.
“Eh, ada si tukang
tebeng!” kata teman sekelas Erwin, Agus sewaktu Erwin terlambat masuk ke kelas.
Berlanjut ke Bagian 2...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar