Senin, 05 Agustus 2013

Tukang Tebeng Bagian 1

T
OK, tok, tok… Pintu diketuk beberapa kali. Di dalam kamar terlihat Erwin masih tidur. Tak seperti biasanya. Padahal di meja kamarnya ada jam weker yang setiap hari selalu membangunkannya dengan setia, tapi tidak pada hari ini.
Pintu kamar dibuka dari luar. Seorang ibu masuk membawa nampan berisi makanan dan minuman, menggelengkan kepala melihat anak laki-lakinya.
“Erwin… Bangun. Nanti telat, lho,” kata ibu itu sambil menaruh isi nampan ke atas meja. Mata Erwin membuka perlahan. “Cepetan dimakan dulu sarapannya.”
Setelah kesadarannya pulih, ia mengucek-ucek matanya. “Lho, sekarang pukul berapa?” Ia melihat ke arah jam wekernya, tapi jam weker itu mati, justru menunjukkan pukul 2.
“Oh, baterai jam weker ini habis rupanya. Pantas saja tadi tak ada alarm,” gumam Erwin. “Wah, kalau terlambat bagaimana ini? Aku harus cepat-cepat kalau nanti Surdi datang.” Erwin pun memakan sarapan di meja kamarnya dengan lahap.
Setiap berangkat sekolah, Erwin dan Surdi memang selalu bersama. Surdi selalu menghampiri Erwin di rumahnya setiap pagi untuk memboncengkannya naik sepeda motor. Sebenarnya Erwin sungkan membonceng Surdi terus, lagipula dia punya sepeda. Ini juga bukan kehendak Erwin. Saat kawan-kawannya bermain di rumahnya waktu liburan, ibunya meminta Surdi untuk mengantarkan Erwin ke sekolah tiap pagi.
Beberapa menit kemudian, sepeda motor yang ditunggangi Surdi sudah siap di depan rumah Erwin. Erwin gelagapan. Ia menemui Surdi di depan rumah, belum memakai seragam sekolah, belum mandi pula.
“Sur, maaf, jam wekerku tadi habis baterainya. Apa kamu berangkat dulu? Biar aku naik sepeda saja.”
“It’s okay, Win. I akan tunggu di sini,” kata Surdi.
“Tapi kalau kita terlambat bagaimana?” tanya Erwin lagi.
“Lebih baik I telat daripada harus ninggalin my friend sendirian,” jawab cowok yang masih memakai helm itu sok bijak.
Erwin tersenyum. “Terima kasih, Surdi. Ya sudah, aku mandi dulu.”
Beberapa menit kemudian, tepatnya pukul 7 kurang 5 menit, Erwin baru siap berangkat. Mereka pun berangkat sekolah dengan segera.
“Win, kita santai aja, ya. Kayaknya udah pasti I sama you telat,” kata Surdi malas.
Karena santainya Surdi, mereka berdua baru sampai sekolah pukul 7 lebih 10 menit. Setelah beberapa bla-bla-bla dari guru, mereka memarkirkan sepeda motor lalu cepat-cepat menuju ke kelas masing-masing.
Kelas Erwin dan Surdi memang berbeda. Erwin sekelas dengan Tommy, sedangkan Surdi sekelas dengan Tofan. Saat mereka tengah berlari itu, ada 2 orang guru yang baru keluar dari kelas Surdi, berpapasan dengan mereka berdua. Sepasang guru itu membawa gunting, tapi sepertinya tak menyadari kalau ada anak berambut gondrong yang melewati mereka.
“Thank God,” Surdi lega sambil mengelus-elus dadanya. Ia takut sekali kalau rambut gondrong kesayangannya itu akan dipotong. Ternyata Erwin juga tak menyadari kehadiran sepasang guru tadi karena ia bergegas menuju kelas, takut dimarahi guru.
Di dalam kelas Surdi, seorang guru muda sedang duduk di meja guru sambil menyiapkan kertas soal ulangan. Dengan sepatu hak tingginya, ia terlihat semampai. Guru PKn ini memakai kacamata dan rambutnya lurus sepundak. Murid-murid memanggilnya Bu Lusi, tapi kalau jengkel, mereka memanggilnya Bulus. Soalnya Bu Lusi sering memberi soal-soal ulangan yang sulit. Kecantikan dan penampilannya yang menarik juga sering membius para murid laki-laki. Tentu saja murid-murid perempuan merasa iri dan sering menggosipkan Bu Lusi.
Setelah selesai menyiapkan kertas soal ulangan, ia berkata, “Oke. Seperti yang saya katakan minggu lalu, hari ini kita ulangan. Siapkan kertas…” Belum selesai Bu Lusi berbicara, ada yang mengetuk pintu. Sesosok cowok cungkring nan gondrong masuk.
Cowok itu alias Surdi mencium tangan Bu Lusi. “Maaf, Ma’am. I am terlambat.”
“Dan kenapa kamu terlambat?” tanya Bu Lusi.
“Baterai jam wekernya my friend tadi habis, jadinya dia kesiangan. Nah, sebagai a good friend, I tungguin dia walau terlambat,” jawab Surdi jujur.
“Ini dia contoh warga negara yang tidak baik. Tidak disiplin, anak-anak. Jangan kalian tiru tindakan seperti ini,” kata Bu Lusi pada seisi kelas.
Surdi sekilas melirik ke arah tumpukan soal ulangan yang sudah siap. Ia lupa kalau hari ini ulangan. Memanfaatkan kesempatan ini, ia mencoba berdebat dengan Bu Lusi agar tak jadi ulangan. “Lho, tapi kan tujuan I baik, menunggu my friend, Ma’am. Masa my friend mau I tinggal begitu saja?”
“Tetap saja itu melanggar peraturan dan tidak disiplin, Surdi,” balas Bu Lusi.
“But, siapa yang tahu baterai jam weker itu akan mati, Ma’am? Kalau Mrs Lusi jadi myself, apa yang akan Mrs Lusi lakukan?” kata Surdi sok-sokan, padahal sebenarnya jantungnya berdebar-debar, takut usahanya menggagalkan ulangan tidak berhasil.
“Saya lebih baik meninggalkan teman kamu itu karena yang salah adalah dia sendiri.”
“Berarti Ma’am ngajarin jadi warga negara yang egois, begitu?” Surdi mungkin kelewatan berdebat dengan guru seperti ini, tapi dia tetap sok-sokan.
Akhirnya, jam pelajaran PKn itu diisi oleh acara debat antara Bu Lusi dan Surdi. Sedangkan di sebelah kelas itu, yaitu kelas Erwin dan Tommy, tak ada gurunya sehingga murid-murid pada bermain dan ngerumpi sendiri-sendiri.
“Eh, ada si tukang tebeng!” kata teman sekelas Erwin, Agus sewaktu Erwin terlambat masuk ke kelas.
Berlanjut ke Bagian 2...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar