Rabu, 27 Agustus 2014

Quotes The Rangers Begin

D
I bawah ini ditampilkan beberapa quote atau kutipan kata-kata dari tokoh-tokoh dalam cerita petualangan The Rangers Begin. Tunggulah keseruan cerita para Ranger saat mereka sudah kelas XI SMA!

ERWIN
  • “Main game itu tak selalu berkesan negatif. Kita bisa punya teman karenanya.” 
  • “Mungkin kalau kata Surdi, ‘Life isn’t a movie’, hidup ini bukan seperti yang ada di film.” 
  • “Masa-masa itu takkan kembali lagi. Kita hanya bisa berusaha di masa kini demi masa depan yang lebih cerah.”
MEGA

  • “Kita kan punya hati nurani. Kita bisa ngebedain mana yang bener dan salah, mana yang baik dan buruk. Kalau kita ngelakuin yang salah dan buruk, berarti kita melanggar aturan.”
SURDI

  • “I nggak pernah bilang kalau ‘life isn’t a movie’. Life… is… a movie… Kitalah tokoh utamanya. But, yang nentuin kelanjutan movie ini adalah we sendiri, entah we make it better or worse.” –kepada Erwin yang sedang ragu. 
  • “Surdi is always ready.” 
  • “Itu cara biasa. An athlete akan lakuin dengan cara athlete.” –saat hendak membangunkan pelayan restoran Sambal Setan dari hipnotis dengan jurus Fireball Kick. 
  • “Yang paling penting itu our friendship feeling. Jadi, meski jauh di mata, tetep deket in our heart. Itulah The Rangers.”
TOFAN
  • “Nggak usah banyak mikir, Gan. Yang penting kita nyoba ngelakuin hal yang baik.”
TOMMY
  • “Kita kan orang Indonesia, biasa ngaret.” 
  • “Ah, omong kosong. Suatu saat nanti, kita pasti bisa ketemu lagi. Gue yakin.” –kepada Mega yang takut jika tidak bisa bertemu lagi.

Rabu, 13 Agustus 2014

Epilog "The Rangers Begin"

“A
PA you nggak bawa senter? Nggak enak kalo telling story sambil gelap-gelapan,” kata seorang cowok di padang rumput yang gelap itu.
“Santai, kali,” sahut seorang cewek. “Lagipula ceritanya udah selesai.”
“Tapi, nggak enak juga kalo diliat. Nanti dikira kita ngapa-ngapain,” sambung cowok yang lain. “Gue bawa lampu emergensi, nih. Gue nyalain, ya.” Cowok itu merogoh sesuatu di tasnya, lalu mengeluarkan lampu.
Begitu lampu menyala, terlihatlah wajah-wajah mereka. Ternyata mereka adalah Tofan, Erwin, Surdi, Tommy, dan Mega. Malam-malam, mereka nongkrong di padang rumput itu, mengamati bulan dan bintang-bintang yang bersinar terang. Padang rumput yang sama saat Erwin diajak Kiran bersepeda untuk pertama kali dan saat Mega membuntutinya sebelum diculik.
“Kangen, deh, sama masa-masa SMP kita,” kata Mega memulai obrolan.
“Masa-masa itu takkan kembali lagi. Kita hanya bisa berusaha di masa kini demi masa depan yang lebih cerah,” sahut Erwin.
“Lagipula we juga udah lulus,” sambung Surdi.
“Tapi, Meg, apa lo serius mau ngelanjutin SMA di Bali?” tanya Tofan.
“Gua nggak punya pilihan lain. Maaf, ya, temen-temen,” jawab Mega sambil menahan air matanya keluar. “Mungkin ini kali terakhir kita kumpul bareng.”
“Ah, omong kosong,” sahut Tommy yang baru kali ini tampak serius. “Suatu saat nanti, kita pasti bisa ketemu lagi. Gue yakin.”
“That’s right, Tommy,” sambung Surdi. “Lagipula yang paling penting itu our friendship feeling. Jadi, meski jauh di mata, tetep deket in our heart. Itulah The Rangers.”
“Ngomong-ngomong soal The Rangers, gua punya sesuatu buat kalian,” sahut Mega. Ia lalu mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Tampak empat buah gelang karet yang “glow in the dark” di tangannya. Masing-masing memiliki warna yang berbeda.
Mega kemudian membagi gelangnya pada keempat cowok itu. “Itu gelang buat kalian. Warnanya matching sama jaket kalian. Buat kenang-kenangan aja,” kata Mega.
“Terus, gelang buat lo sendiri mana, Meg?” tanya Tommy.
“Nggak ada. Soalnya gua bukan The Rangers,” tutur Mega.
“Bagaimana bisa? Dinamai The Rangers karena kita selalu berlima seperti Power Rangers,” sanggah Erwin.
“Nggak. Gua nggak sama kayak kalian,” jawab Mega. “Kalian cowok, gua cewek. Kalian suka ngenet buat main game, gua enggak. Kalian juga sebenernya nggak suka gua denda, kan? Lagipula kita nggak akan berlima lagi setelah ini. Gua akan pindah.”
“But…,” sambung Surdi. “You tetep bagian dari The Rangers. Kalau you nggak mau dipanggil Ranger, you bisa we panggil The Rangers’ Special Agent.”
“Hmm, terserah deh,” sahut Mega.
Selama beberapa saat, mereka saling curhat soal impian dan harapan di masa mendatang. Namun, perasaan sedih mereka tak bisa ditutupi. Tommy yang jenuh pun mencairkan suasana saat itu.
“Udah, ah, jangan sedih-sedihan lagi. Mending kita nyanyi sambil gitaran ria. Betul, nggak, Sur?” ujarnya.
“That’s right, Tommy!”
Mereka kemudian bernyanyi bersama lagu dari Bondan Prakoso & Fade2Black yang bertajuk “Kita Selamanya”.
“Bergegaslah, kawan… ‘tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman ‘tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat… Kita untuk s’lamanya!”
Begitu lagu selesai, di langit tampak sebuah bintang jatuh. “Hei, temen-temen! Lihat, ada bintang jatuh!” seru Mega.
Mereka berlima pun membatin, mengucapkan suatu permohonan.
Aku ingin menjadi teman yang baik, begitu batin Erwin. Menjadi teman yang setia dan selalu ingat temannya meski jauh, seperti Kiran dan… Mega yang juga akan pindah. Padang rumput bersejarah ini akan dinamai Padang Harapan, di mana aku dan teman-temanku berharap akan berkumpul lagi di sini. Semoga persahabatan ini takkan berakhir….

Rabu, 06 Agustus 2014

Bab 5: Life is a Movie (Akhir)

“Gimana nih, Sur? Mega nggak ada di sini,” kata Tommy.
“I don’t know. Di luar, maybe?” sahut Surdi yang berkeringat banyak saking takutnya.
“Lo kok keringetan sih, Sur? Kalo takut, lo jaga di luar aja. Biar gue yang nyari Mega,” ujar Tommy sambil nyengir.
“I nggak takut. I cuma… capek.” Surdi beralasan sambil berakting capek. Ia lalu mengalihkan pembicaraan. “Eh Tom, maybe Mega ada di bagian belakang restaurant,”
“Mungkin juga, sih. Misi kita buat meriksa bagian depan udah selesai. Kita cuma bisa nunggu panggilan dari Tofan,” sahut Tommy.
“Yeah, boring,” gumam Surdi.
“Oh iya, Sur. Gue bawa bolanya Erwin, lho. Sebenernya mau gue kembaliin hari ini, tapi berhubung ada misi kayak gini ya ditunda dulu. Tapi, kalo begini, kita kan bisa main bola biar nggak bosen,” ujar Tommy sambil mengeluarkan bola sepak dari tasnya. Ia lalu berdiri sambil membawa bola itu. “Lo berani ngelawan gue apa nggak, Sur?” tantang Tommy.
“Surdi is always ready,” sahut Surdi sok-sokan.
Mereka berdua pun bermain bola di dalam restoran. Melihat itu, beberapa pelanggan mengeluarkan ocehannya, seperti “Ini bukan lapangan sepakbola!” atau “Hei, anak kecil! Main bolanya di luar dong!”. Namun mereka berdua tak menggubrisnya. Lama-lama para pelanggan yang kesal malah makan di luar, sedangkan Tommy dan Surdi bermain di dalam.
Saat bermain, Tommy tampak lebih unggul dari Surdi karena Surdi takut jika dihadang pelayan berkostum hantu. Banyak pelayan berlalu lalang di sana.
“Hei, Sur, gimana sih? Masa nggak bisa ngerebut bola dari gue?” ledek Tommy.
“Awas you, Tom. I will keluarin my special technique,” sahut Surdi.
Surdi makin bersemangat dan akhirnya dapat merebut bola Tommy dengan jurus Sledding Tackle mirip di film kartun Tsubasa. “Amazing Sledding Tackle!” seru Surdi sambil melancarkan jurusnya.
Bola itu pun lepas dari kendali Tommy. Sementara Surdi tersenyum gembira, bola itu terlempar mengenai kepala seorang pelayan berkostum perawat yang sedang ngesot.
Senyum Surdi kontan luntur.
“Abis lo, Sur! Lo bakal dihantui suster ngesot tiap malem,” goda Tommy.
“Aduuh, siapa sih yang main bola di dalam ruangan? Harus dikenai denda!” kata suster ngesot itu sambil mengelus kepalanya.
Mendengar kata-kata si suster ngesot, Surdi dan Tommy justru jadi gembira. “Mega!” seru mereka kompak.
“Eh, kalian!” Mega ikut terkejut. Ia lalu tambah terkejut melihat dirinya sendiri sedang ngesot dengan kostum perawat. “Hei, kenapa gua jadi kayak gini?”
“You habis diculik, Meg. We nemuin petunjuk yang you tulis on the clock,” sahut Surdi.
“Diculik? Oh, iya, pemilik restoran sinting ini, ya? Ugh, gua kesel banget sama dia. Dia harus diberi pelajaran,” tutur Mega. “Tapi kalian hebat bisa nemuin gua. Kalian sama Erwin juga?”
“Iya, Meg, sama Tofan juga. Kita berempat kini adalah The Rangers,” kata Tommy.
Ponsel Surdi tiba-tiba bergetar. Surdi pun memeriksanya.
“Hei, Tom. Ada message from Tofan,” ujarnya. “Katanya, we harus nepuk pundak para pelayan, so, they bebas from pengaruh hipnotis. After that, we kumpul in parking area.”
“Oke. Ayo kita lakuin!” ajak Tommy bersemangat.
Tapi Surdi yang takut dekat-dekat dengan para pelayan itu justru mendekati bola sepak tadi. “Itu cara biasa. An athlete akan lakuin dengan cara athlete,” katanya sambil menggiring bola di kakinya.
“Fireball Kick!” seru Surdi sambil menendang bola.
***
Sementara itu, Tofan, Erwin, dan pelayan berkostum mumi sudah menjelajahi hampir semua ruangan dan membebaskan pelayan-pelayannya. Hanya kurang dua ruangan.
“Jangan buka pintu sebelah kiri. Di dalamnya adalah ruangan pemilik restoran ini,” kata si mumi.
“Kalau begitu di sebelah kanan?” Tofan membuka pintu di kanan. Mereka tidak membaca tulisan di atas pintu yang berbunyi “Ruang Pengawasan CCTV”.
Di dalam ruangan itu, ada dua orang sedang tidur di bangkunya. Yang satu bertubuh tinggi kurus dan yang lain bertubuh gemuk. Di hadapan mereka ada monitor yang menunjukkan keadaan seluruh restoran lewat CCTV.
“Ayo kita bangunkan mereka berdua,” ajak Tofan.
“Eh, tunggu!” halang si mumi. Namun, Tofan dan Erwin sudah terlanjur menepuk pundak dua orang itu. Dua orang itu pun terbangun sambil mengumpat-umpat.
“Ngapain kalian di sini?!” tanya mereka dengan marah.
“Lho, bukan hantu, ya? Maaf, kami kira hantu,” kata Erwin seraya kabur dengan Tofan dan si mumi.
Dua orang yang tak lain adalah para penculik itu langsung menggedor pintu ruangan bos mereka.
“Bos, ada penyusup! Mereka membawa kabur para pelayan!” seru para penculik.
“Apa?!” Terdengar suara amarah dari balik pintu. “Kejar! Culik mereka!” perintah bos itu.
Erwin, Tofan, dan si mumi berlari menuju tempat parkir. Sesampainya di sana, mereka bertemu Mega, Surdi, dan Tommy.
“Kalian pulang saja, biar aku yang menghubungi polisi,” ujar si mumi. “Sampai nanti!” Si mumi itu kemudian pergi dengan misterius.
Setelah itu, mereka berlima pun segera bersepeda pulang, sementara para penculik dan bosnya kebingungan mencari kunci mobil yang hilang dibawa Tofan.
***
Keesokan paginya, seisi kelas 7H berkerumun menonton sesuatu di laptop Tofan. Di sana juga ada Mega, Erwin, dan Tommy. Rupanya mereka melihat siaran berita kemarin yang direkam Tofan.
Di monitor laptop, terlihat seorang pembawa berita melaporkan beritanya.
“Siang ini, pihak berwajib telah menutup sebuah restoran bernama ‘Sambal Setan’ yang diketahui dimiliki oleh seorang buronan yang kabur dari penjara. Berdasarkan laporan dari seorang saksi, restoran tersebut menggunakan sumberdaya manusia secara paksa melalui penculikan dan tindak hipnotis.”
Setelah itu, terlihat video penangkapan buronan tersebut oleh para polisi. Mata kiri bos itu tampak kosong. Para penculik dan bos itu kemudian dibawa ke dalam mobil polisi, sementara restoran ditutup dan dibatasi oleh garis polisi.
Tommy pun mengacungkan jempolnya pada Tofan, Erwin, dan Mega. Mereka senang, terutama Mega karena Mega kini mendapat teman-teman baru. Tiap minggu, mereka bisa bersepeda dan menghabiskan waktu bersama. Namun, Mega tetap sama seperti dulu, tidak berubah.
Sepertinya masih kurang satu personil lagi, ya? Benar. Mana Surdi? Berkejaran dengan waktu, Surdi masuk kelas dengan terburu-buru. Namun, bel telah berbunyi lebih dulu. Surdi terlambat, meski beberapa detik saja.
Melihat teman-temannya berkerumun menonton laptop Tofan, Surdi ikut menghampiri. “Apa I ketinggalan sesuatu?”
Mega pun dengan cekatan mengambil buku dan pulpen. “Sur, lu telat. Lu kena denda!” kata Mega.
“What?” Surdi terperangah.
Berlanjut ke Epilog...

Rabu, 30 Juli 2014

Bab 5: Life is a Movie (Tengah)

Saat ia hendak menuliskan sesuatu di buku, Tommy tiba-tiba menghalanginya. “Tunggu, Fan,” katanya. “Demi kekompakan kita, tim kita perlu nama, hehe…”
“Aneh-aneh aja lo, Tom, ngasih nama segala,” sahut Tofan.
“Tapi boleh juga, Tom. Bagaimana kalau tim ‘The Rainbow Bikers’?” usul Erwin. “Kita kan kalau sepedaan suka pakai jaket warna-warni seperti pelangi.”
“Terlalu biasa, Win,” komentar Tommy. “Kita cari nama yang unik bin aneh bin ajaib.”
“Ah, I know… We are The Rangers!” seru Surdi semangat sambil mengacungkan jempolnya. “Selain our jacket warna-warni kayak rainbow, we juga membela keadilan kayak tontonan waktu we masih anak-anak, Power Rangers! You semua setuju?”
“Gue sih setuju-setuju aja,” sahut Tofan.
“Aku juga,” sambung Erwin.
“Sebenarnya agak kayak anak kecil, sih. Tapi berhubung gue suka anak kecil, gue suka nama itu,” tambah Tommy.
“Oke. Sekarang dengerin rencana gue.”
Di tempat parkir restoran, Tofan menulis sesuatu di bukunya dikerumuni ketiga temannya. Mereka sedang menyusun rencana untuk menyelamatkan Mega.
Beberapa saat kemudian, Tofan menutup bukunya. Ia lalu berkata, “Begitulah rencana kita, Rangers. Dan misi kita kali ini dimulai… sekarang!”
Surdi dan Tommy masuk ke restoran tersebut, sedangkan Tofan dan Erwin pergi ke bagian belakang restoran. Di situ, Tofan dan Erwin melihat ada mobil sedan berwarna hitam.
“Fan, mobil itu sepertinya mencurigakan,” kata Erwin sambil menunjuk mobil sedan itu dari jauh.
“Mencurigakan gimana?” tanya Tofan.
“Tidak tahu, tapi perasaanku tak enak begitu melihat mobil itu,” sahut Erwin.
“Kalo gitu, ayo kita lihat lebih dekat,” ajak Tofan.
Mereka berdua mendekati mobil itu lalu memeriksanya. Erwin juga mencoba mengintip kaca mobilnya. Dan terkejutlah ia begitu melihat benda di dalamnya.
“Fan, di dalam mobil ini ada tasnya Mega!” seru Erwin.
“Hah? Serius?” sahut Tofan yang sedang melihat-lihat bagian depan mobil.
“Serius,” jawab Erwin.
“Pintunya bisa dibuka apa nggak, ya?” Tofan menghampiri lalu mencoba membuka pintu mobil.
Klek! Terbuka!
“Wah, nggak dikunci rupanya. Kunci mobil bahkan masih nempel. Dasar sembrono,” gumam Tofan.
Erwin mengambil tas Mega. “Tapi, itu justru menguntungkan kita kan?” katanya.
“Hehe… lebih baik, kunci ini kubawa, kalau-kalau ada apa-apa.” Tofan iseng melepas kunci mobil itu dan mengantonginya.
Erwin menggendong tas Mega di punggung, menindih tas Erwin yang sudah lebih dulu di sana. “Sekarang ayo kita segera ke belakang restoran,” kata Erwin lagi.
Tofan dan Erwin pergi ke bagian belakang restoran itu. Dari belakang maupun dari depan, gedung restoran itu masih tampak sama, terkesan kuno dan angker. Mereka berdua lalu mengintip lewat jendela belakang. Begitu tahu kalau sepi, mereka pun masuk.
Di dalam, mereka mengendap-endap seperti pencuri. Mereka tidak tahu hendak ke arah mana. Di samping kiri, kanan, maupun depan mereka, terdapat beberapa pintu.
Tiba-tiba dari pintu di depan mereka, muncul seorang pelayan berkostum manusia serigala. Tofan dan Erwin kontan gelagapan karena takut ketahuan. Mereka spontan berjongkok di pojok ruangan, berharap pelayan itu tak melihat mereka.
Namun pelayan itu seperti tak menyadari hal aneh dan masuk ke sebuah ruangan. Tofan dan Erwin pun kembali berdiri.
“Untunglah mereka nggak ngeliat kita,” kata Tofan.
“Iya. Tapi sekarang kita hendak ke mana?” tanya Erwin.
“Ayo kita coba ngintip yang dilakuin manusia serigala itu. Mungkin kita akan dapet petunjuk,” ajak Tofan.
Mereka hendak mengintip ke ruangan yang baru saja dimasuki pelayan tadi. Tapi sesampainya di depan ruangan, tak tampak jendela di sana dan pintunya tertutup.
Cklek! Pintu tiba-tiba terbuka dan muncullah manusia serigala tadi sedang membawa nampan berisi makanan. Tofan dan Erwin kembali gelagapan, tapi kini mereka tak bisa lari. Mereka berdua secara spontan malah mengangkat kedua tangan, seperti penjahat yang ketahuan polisi.
“Mmm… kami cuma… salah masuk. Iya, salah masuk. Toilet di mana, ya?” kata Tofan gugup pada pelayan itu.
Tapi pelayan itu cuek dan terus berjalan untuk mengantar pesanan. Tofan dan Erwin pun bertanya-tanya dalam hati.
“Kok mereka cuek gitu aja?” gumam Tofan kebingungan.
Erwin mengangkat bahu.
“Ini aneh,” pikir Tofan. “Paling enggak mereka harusnya heran melihat kita.”
“Apa mungkin mereka tidak melihat kita?” sahut Erwin.
“Maksudnya?”
“Mereka… dihipnotis,” kata Erwin lagi. “Tapi kalau benar begitu, berarti…”
“Mega juga!” seru mereka berdua kompak.
“Semuanya makin jelas. Si pemilik resto ini mungkin mendapat pelayannya dengan cara menculik, lalu menghipnotis,” kata Tofan. “Win, lo tahu cara ngilangin efek hipnotis?”
“Entahlah. Tapi bagaiamna kalau menepuk bahu mereka dari belakang?” usul Erwin.
“Ayo kita coba!”
Mereka berdua menunggu pelayan datang. Begitu keluar seorang pelayan berkostum mumi, Tofan menghadangnya sambil bertanya. “Mas, toilet di sebelah mana, ya?”
Tapi pelayan itu cuek dan terus berjalan.
“Kayaknya bener dihipnotis, Win,” kata Tofan pada Erwin di sebelahnya.
“Kalau begitu…” Buk! Erwin menepuk bahu pelayan itu dari belakang.
“Adaw! Sialan, sakit tauk!” Pelayan itu menjerit sambil mengelus-elus bahunya. “Eh, di mana aku?”
“Di restoran Sambal Setan. Anda pelayan berkostum mumi di sini. Anda habis dihipnotis,” sahut Erwin.
“Pelayan?” Si mumi itu melihat sekujur tubuhnya yang dibalut perban. “Oh, astaga! Aku baru ingat. Pemilik restoran ini sungguh sinting. Ia menculikku lalu berkata bahwa wajahku lebih cocok ditutup perban. Sialan!” Si mumi itu mengumpat-umpat kesal. “Terima kasih, ya. Berkat kalian aku bebas dari hipnotis itu. Sekarang ayo kita bebaskan semua orang dari pengaruh hipnotis!”
Mereka bertiga pun menjelajah ruangan-ruangan di sana dan membebaskan para pelayan yang dihipnotis.
***
Sementara itu, Surdi dan Tommy sedang berada di dalam restoran. Kata Tofan, mereka harus mencari Mega. Tapi walau dicari di sudut mana pun, Mega tetap tak ketemu. Yang belum mereka periksa adalah ruangan di balik pintu bertuliskan “Dilarang masuk kecuali pegawai”.
Karena tak ketemu, mereka lalu duduk di salah satu tempat duduk.
“Gimana nih, Sur? Mega nggak ada di sini,” kata Tommy.
Berlanjut ke Bab 5 (Akhir)...

Rabu, 23 Juli 2014

Bab 5: Life is a Movie (Awal)

“K
ALIAN mau apain gua sih?! Awas, ya, kalo macem-macem! Gini-gini gua jago bela diri, tauk!” Tampak Mega dengan tangan diikat dibawa ke bagian belakang restoran Sambal Setan. Ia berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang menangkapnya.
Salah satu dari dua orang yang mengawalnya tertawa. “Haha… Lo itu lucu, ya? Kalo lo jago bela diri, lo ga mungkin keiket kayak begini kan?”
“Cewek ini bukan jago bela diri, Bro, tapi bela sungkawa, kali. Haha…” Teman penculik yang gemuk ikut menyambung dengan lelucon garing.
“Huh, garing,” komentar Mega.
“Eeh, berani-beraninya ngomong gitu. Gue bilangin bos baru tau rasa lo!” sahut penculik yang cungkring.
Di bagian belakang restoran itu, mulanya tak ada yang aneh, hanya interior dan atmosfer yang berasa klasik nan angker. Namun, melihat beberapa orang yang lalu lalang, Mega merasakan sesuatu yang janggal.
Orang-orang yang lewat berkostum dan berdandan seperti hantu. Mereka melewati Mega dan para penculik begitu saja. Mereka tidak berusaha menolong atau berkata sepatah kata pun, seakan kejadian seperti ini sudah biasa. Bahkan, mereka sama sekali tidak memandang ke arah Mega.
Ini aneh, batin Mega. Apa yang terjadi dengan orang-orang itu? Rasanya kayak pikiran mereka dikendaliin. Oh, iya, dari dulu pelayan-pelayan itu…. Ah, jangan-jangan…!
Mega dibawa ke dalam sebuah ruangan. Ruangan itu berisi banyak lukisan yang terpampang di tembok. Juga terdapat rak buku di salah satu sisi ruangan. Di hadapan pintu masuk, terdapat sebuah meja dan kursi megah dengan jendela besar berbentuk klasik di belakangnya. Kursi itu membelakangi pintu masuk, menghadap ke jendela, dengan seseorang duduk di atasnya.
“Bos, sudah kami dapatkan anaknya,” kata salah satu penculik.
“Kerja bagus,” sahut seseorang di balik kursi. “Kalian berdua sekarang boleh keluar.”
“Baik, bos,” kata kedua penculik itu kompak seraya keluar dari ruangan itu.
Cklek! Begitu pintu ditutup dari luar, Mega langsung bertanya dengan keras. “Mau apa lu?”
Yang dipanggil bos itu tertawa dengan misterius. “Khukhukhu… Sudah banyak orang yang kuculik, tapi baru sekarang ada yang seberani kau. Kau memang aneh, tapi aku suka… khukhu…”
“Tunggu sebentar,” sahut Mega. “Maksud lu, lu nyulik orang-orang buat lu jadiin pelayan restoran?”
Orang itu kembali tertawa dengan lebih keras. “Khukhu… selain cantik, otakmu juga encer ternyata. Tapi semua itu nggak lagi berguna setelah kau kuhipnotis dan kujadikan pelayan!”
Sudah kuduga! Batin Mega. Pelayan-pelayan yang berkostum hantu itu dari awal memang aneh. Ekspresi mereka selalu terlihat datar dan tak pernah bicara. Namun Mega tak bisa lari lagi. Ia tak punya jalan keluar dan tangannya pun masih terikat.
“Tapi kenapa lu harus nyulik gua?” Mega memberanikan diri bertanya.
“Soalnya kau cocok untuk koleksi hantuku. Jujur saja, kau cantik. Sejak pertama melihatmu lewat CCTV, aku ingin menjadikanmu hantu suster ngesot!” jawab bos itu.
“Lu bener-bener sakit jiwa!” maki Mega.
Tiba-tiba bos itu beranjak dari kursi dan berbalik. Bos itu memakai jas hitam rapi dengan perut yang gemuk. Wajahnya penuh luka jahitan. Dahinya lebar mengkilat dan rambutnya penuh uban. Dan yang terlihat seram adalah matanya. Ia mengganti mata kirinya dengan batu permata berwarna merah.
“Tatap mataku!” perintah bos itu. Ia lalu mengeluarkan mantra. “Anak itik, kecebur di got. Gadis cantik, jadi suster ngesot!”
***
Sementara itu, keempat anak laki-laki itu tengah bersepeda menuju restoran Sambal Setan. Dari petunjuk yang mereka temukan, mungkin saja Mega diculik di sana. Namun semua itu masih “mungkin”. Itulah yang sedang dipikirkan oleh Erwin.
Sesampainya di restoran itu, semua masih terlihat biasa. Tak ada sesuatu yang janggal, sama seperti saat mereka ke tempat itu kemarin.
Mereka pun memarkirkan sepeda. Tapi melihat muka Erwin yang tampak memikirkan sesuatu, Surdi memanggilnya.
“Hei, Win,” katanya. “What’s wrong? We harusnya semangat buat nyelametin Mega from the devil of sambel.”
“Teman-teman, aku hanya berpikir,” kata Erwin pada yang lain. “Bagaimana kalau yang kita lakukan ini percuma? Maksudku mungkin saja Mega baik-baik saja dan semua yang kita lewati tadi hanya kebetulan. Mungkin kalau kata Surdi, ‘Life isn’t a movie’, hidup ini bukan seperti yang ada di film.”
“Nggak usah banyak mikir, Gan. Yang penting kita nyoba ngelakuin hal yang baik,” sahut Tofan.
“Betul kata Tofan, Win,” sambung Tommy. “Lagipula yang kita lakuin ini nggak percuma kok. Paling nggak kita jadi punya alasan buat bolos, hehe…”
“You salah, Win,” Surdi ikut menyambung. “I nggak pernah bilang kalau ‘life isn’t a movie’. Life… is… a movie… Kitalah tokoh utamanya. But, yang nentuin kelanjutan movie ini adalah we sendiri, entah we make it better or worse.”
“Mm… ya sudah, ayo kita selamatkan Mega sekarang,” sahut Erwin yang telah hilang pikiran buruknya. “Tapi bagaimana caranya?”
“Gue punya rencana, tapi kita butuh kerjasama tim. Jangan pikirkan tentang diri kalian sendiri, melainkan tentang kita dan misi kita ini,” kata Tofan sambil mengambil buku dan pulpen dari tas punggungnya.
Saat ia hendak menuliskan sesuatu di buku, Tommy tiba-tiba menghalanginya. “Tunggu, Fan,” katanya. “Demi kekompakan kita, tim kita perlu nama, hehe…”
Berlanjut ke Bab 5 (Tengah)...

Rabu, 16 Juli 2014

Bab 4: Tiada Mega di Langit & Bumi (Akhir)

Tiba-tiba di tengah jalan, Tofan mendengar seseorang memanggil namanya.
“FAAAN! TOFAAN!”
Saat Tofan mengerem sepedanya dan menoleh, ternyata orang yang memanggilnya itu Tommy. Tommy tampak berlari mengejar Tofan.
“Fan, lo ngapain di sini?” tanyanya.
“Kebalik, Tom. Harusnya gue yang nanya. Lo ngapain di sini?” Tofan bertanya balik.
“Anu, tadi gue kebelet buang air. Sial, kayaknya gara-gara nasi goreng setan kemarin. Jadi, gue turun di WC umum waktu naik bus tadi. Habis itu gue mau ke sekolah, tapi ga ada tumpangan. Masa jalan kaki? Untungnya, gue ketemu lo, Fan,” jelas Tommy.
“Oh gitu,” kata Tofan. “Tapi, gue lagi ada misi buat nolongin Erwin sama Mega. Gue nggak ada waktu buat nganterin lo sekolah.”
“Kalo gitu, gue nggak jadi ke sekolah, hehe… Gue ikut lo aja. Boncengin gue, ya? Bisa aja gue berguna di misi lo itu,” sahut Tommy yang sebenarnya malas ke sekolah.
“Ya udah deh. Gue kasihan sama lo.” Tofan akhirnya membolehkan Tommy membonceng berdiri di belakang. Mereka kemudian menghampiri Erwin yang telah lama menunggu.
Sesampainya di tempat kejadian, terlihat Erwin dan Surdi menunggu.
“Lho, ada Surdi juga?” tanya Tofan.
“Yes, Fan. Tadi I lihat Erwin lagi kebingungan. So, I am coming to help,” sahut Surdi.
“Bohong, Fan. Surdi cuma nyari alesan buat bolos,” kata Tommy asal.
“Itu kan you,” balas Surdi.
“Udah, nggak usah banyak bicara. Sekarang, mari kita selesaiin masalah ini. Coba ceritain semua yang lo tahu, Win,” kata Tofan.
Erwin bingung hendak bercerita dari mana. Ia sebenarnya malu jika mengaku ia habis dari padang rumput untuk melamunkan seorang gadis. Tapi demi menyelamatkan Mega, akhirnya ia buka mulut juga.
“Jadi, tadi sebelum aku hendak ke sekolah, aku pergi ke suatu tempat. Ternyata, aku dibuntuti Mega naik sepeda. Karena marah, aku menyuruhnya kembali. Ia berkata akan ke sekolah. Tapi saat aku lewat sini, aku melihat sepedanya tergeletak begitu saja,” jelas Erwin.
“Oh, begitu. Tapi Mega belum datang di sekolah. Apa dia diculik?” sahut Tofan. “Hmm… apa nggak ada petunjuk, ya?”
“Petunjuk…?” Tommy memandang sekeliling. Ia menemukan jam dinding di bawah pohon dekat trotoar. Ia pun memungutnya dan menunjukkannya pada yang lain. “Hei, temen-temen, gimana kalo jam dinding ini?”
“Jam dinding? Oh iya, mungkin itu jam yang dibeli Mega buat ngganti jam yang kita pecahin dulu,” sahut Tofan.
“Coba I lihat,” kata Surdi sambil merebut jam di tangan Tommy.
Di kaca jam itu, Surdi melihat simbol aneh yang ditulis dengan spidol.
“Ada symbol aneh di jam ini. Ini seperti letter ‘O’ and ‘C’ dengan arrow to the left di bawahnya,” kata Surdi. “And you tahu apa lagi yang aneh? The time. Harusnya sekarang masih seven o’clock lebih sedikit. Tapi di jam ini, sudah ten o’clock.”
“Apa Mega belum mbenerin waktunya, ya? Atau justru disengaja diubah?” Tommy menduga-duga.
“Pasti disengaja,” sahut Erwin. “Kalau Mega tidak sengaja menjatuhkan jam itu, pasti jam itu pecah kan? Dan yang lebih meyakinkan lagi adalah adanya simbol aneh yang ditulis Mega di jam itu. Artinya, Mega memberi kita petunjuk!”
“Untung lo temuin jam itu, ya, Tom?” kata Tofan.
“Udah gue bilang, Fan. Gue pasti berguna di misi lo, hehe…” ujar Tommy sok-sokan.
Tofan lalu melihat jam yang dipegang Surdi. “Ini bukan huruf ‘O’ dan ‘C’, Sur. Mungkin ini bentuk lingkaran dan bulan sabit.” Tofan berpendapat. “Wah, bener juga! Gue baru sadar. Ini lambang matahari dan bulan. Maksudnya adalah sehari. Dan anak panah yang mengarah ke kiri itu maksudnya ‘sebelum’. Berarti artinya adalah sehari sebelum ini!”
“Kemarin, ya? Kalau dipadukan dengan waktu di jam itu, berarti kemarin pukul sepuluh,” sahut Erwin. Mereka berempat lalu tersenyum karena tahu maksud dari teka-teki jam itu. “Kalian tahu di mana kita kemarin pukul sepuluh?”
“Restoran Sambal Setan!” seru mereka kompak.
 Berlanjut ke Bab 5 (Awal)...

Rabu, 09 Juli 2014

Bab 4: Tiada Mega di Langit & Bumi (Tengah)

“Mas, nanti terlambat, lho,” kata petani itu sambil menepuk pundak Erwin.
Erwin terkejut. Ia sebenarnya tak dengar apa yang dikatakan petani itu. Tapi melihat orang membawa sabit di hadapannya, Erwin langsung parno dan lari tunggang langgang. Dikira hendak dibacok, hehe…
Erwin berlari menuju sepedanya. Ia memakai kaus kaki dan sepatu, lalu segera mengayuh sepeda menjauh dari sana. Saat keluar dari gang, Erwin baru ingat untuk berangkat sekolah.
Sementara itu, Mega bersepeda menuju sekolah. Jalanan masih lumayan sepi. Kemudian dari arah berlawanan, melintas sebuah sedan hitam. Di dalam sedan itu ada dua orang pria seperti kemarin. Si sopir berbadan gemuk dan yang satunya cungkring.
“Hei, Bro! Lihat, itu cewek sasaran kita!” seru si cungkring.
“Mana?” tanya si gemuk. “Katanya bos, kita tangkep waktu pulang sekolah kan?”
“Bego lo! Kalo kita tangkep sekarang, bos akan tambah seneng kan?” sahut si cungkring. “Ayo balik arah! Kita tangkep sekarang.”
Mobil sedan itu berbalik arah, hendak mengejar Mega yang naik sepeda. Namun Mega sadar hal itu.
“Sedan item itu rasanya gua pernah lihat,” gumam Mega. “Oh iya, sedan itu kemarin ngikutin gua sejak dari Sambal Setan. Mencurigakan…”
Mega melajukan sepedanya dengan kencang, lalu berbelok ke sebuah jalan kecil.
“Kalo dugaan gua bener, mereka pasti akan ngikutin gua,” gumam Mega lagi.
Dan selang beberapa lama, mobil sedan itu memang mengikuti Mega. Mega pun melajukan sepedanya lincah, melewati jalan-jalan kecil, hingga mobil itu kesulitan mengejarnya. Mega akhirnya sampai di pinggir jalan besar, tapi dia telah lelah. Namun saat ia menengok ke belakang, mobil itu masih mengejar, hanya saja terjebak lampu merah.
Mega tampak berpikir. Ia lalu membuka tasnya, mengambil jam dinding baru itu. Dengan spidol di kotak pensilnya, ia mencorat-coret permukaan kaca di jam itu. Ia juga mengubah waktu di jam itu. Setelah itu, ia menjatuhkannya di pinggir jalan.
Tapi belum sempat Mega mengayuh sepedanya lagi, mobil sedan itu menghadangnya. Si cungkring keluar dari mobil itu dan tanpa bicara, menarik lengan Mega hingga sepedanya terjatuh.
“Apaan sih? Lepasin!” kata Mega sambil melawan tarikan tangan pria asing itu. Namun apa daya. Berapa kali pun Mega berteriak dan berusaha melepaskan tangannya, kekuatannya masih kalah jauh dengan pria itu. Orang-orang di sekitar Mega pun terlihat acuh dan bahkan cenderung menghindar.
Dengan mudah, Mega dimasukkan dan diikat di dalam mobil, lalu dibawa lari.
***
Erwin bersepeda dengan cepat menuju sekolah. Ia tak mau terlambat dan dikenai denda oleh Mega. Tapi pikiran Erwin justru tak fokus di sana, melainkan pada Kiran. Ia rindu dengan Kiran. Di tengah jalan, ia berbicara sendiri dengan sok puitis.
“Wahai mentari, sedang apakah dia di sana? Oh mega-mega yang menggantung di langit, kirimkan pesan rinduku padanya…”
Erwin menengadah ke langit. Namun, tiada awan yang menggantung.
“Tiada mega di langit? Apakah ini pertanda, bahwa pesan rinduku takkan sampai?” gumam Erwin. Si pendiam nan melankolis itu tak akan gila begini jika bukan karena Kiran.
Sedang enak-enaknya berbicara sendiri, Erwin dikejutkan oleh sepeda Mega di pinggir jalan. Sepeda itu tergeletak begitu saja, tidak terparkir dengan baik. Erwin kontan mengerem dan memeriksa sepeda Mega. Dan memang benar. Di badan sepeda itu tertempel dengan stiker sebuah nama: Megananda Indri.
“Lho, kenapa sepeda Mega ada di sini?” gumam Erwin heran. Ia pun menduga-duga. “Mungkin waktu bersepeda, ayahnya menghampiri naik mobil. Ia lalu diantar ayahnya ke sekolah. Tapi kalau begitu, sepedanya tidak akan dibuang seperti ini kan? Ah, dia kan kaya. Dibuang pun, bisa beli lagi. Atau jangan-jangan sepedanya dicuri? Eh, bukan. Mega diculik! Hmm… daripada bingung, lebih baik aku telepon seseorang yang sedang di sekolah. Mungkin Mega justru sudah di kelas. Ya, aku harus telepon Tofan.”
Erwin jadi panik. Ia mengambil ponsel di saku celananya, lalu menghubungi Tofan. Tak lama, terdengar suara Tofan di ponsel.
“Halo. Ada apa, Win?”
“Fan, Apa Mega sudah datang?” tanya Erwin.
“Mega belum datang sampai sekarang. Gue juga bingung. Dia biasanya kan yang paling disiplin. Kalau dia nggak masuk, harusnya ada surat izin kan? Tapi di sini nggak ada surat izin apa-apa,” jawab Tofan.
“Gawat,” kata Erwin tambah panik. “Fan, apa kamu bisa menghampiri aku sekarang? Aku sedang di sebelah utara perempatan dekat rumah sakit. Serius, ini penting. Mungkin Mega diculik.”
“Oke, Gan. Gue akan ke sana sekarang,” sahut Tofan tanpa pikir panjang. Ia kemudian mengakhiri panggilan dan segera ke tempat parkir. Ia mengambil sepeda lalu keluar sekolah demi menghampiri Erwin.
Sementara murid lain buru-buru masuk sekolah agar tak terlambat upacara, Tofan justru keluar sekolah. Pak Satpam sampai-sampai heran dan berseru: “Woy, mau ke mana kamu?!” Namun Tofan menghiraukan seruan itu. Ia segera pergi menghampiri Erwin.
Tofan dari dulu memang begitu. Ia selalu siap membantu jika dibutuhkan. Mungkin gara-gara terinspirasi film atau game karena ia selalu membayangkan bahwa setiap ada orang minta bantuan berarti ada misi yang harus dia selesaikan. Seperti saat ini.
Tiba-tiba di tengah jalan, Tofan mendengar seseorang memanggil namanya.
“FAAAN! TOFAAN!”
Berlanjut ke Bab 4 (Akhir)...