Senin, 26 Agustus 2013

Raita si Penulis Bagian 1

M
ALAM itu, seorang gadis SMA sedang asyik mengetik di kamarnya. Laptop yang ia pandangi itu tersambung dengan sebuah kamera. Dilihat dari sinar matanya, ia kelihatan begitu bersemangat. Namun, sinar matanya menyimpan suatu kejahatan.
“Dengan foto-foto ini, akan gue hancurin mereka! Khukhukhu…” kata gadis itu disertai tawa jahatnya.
***
Esoknya saat siang hari, gadis itu keluar dari sebuah ruangan di sekolahnya. Di atas pintu ruangan itu, terpampang di dinding sebuah tulisan “Ruang Sekretariat Majalah”. Dengan senyum menyamping penuh misteri, gadis itu berjalan menuju ruang guru sambil membawa sekeping CD.
Sesampainya di ruang guru, ia menghampiri seorang pria berkacamata oval dengan usia hampir kepala empat. “Pak,” panggil gadis itu. “Ini isi majalah bulan ini. Tinggal dicetak saja.” Gadis itu menyerahkan kepingan CD-nya.
“Oh, iya. Makasih, Raita,” sahut pria itu.
“Sama-sama, Pak.” Tanpa berlama-lama, gadis bernama Raita itu segera pergi dari sana.
Ia pergi ke depan sekolah sambil berlarian, mengejar bus yang sedang berhenti. Raita memasuki bus berdesakan dengan penumpang lain. Beruntung, ia masih mendapat tempat duduk. Bus itu tidak mengarah ke rumah Raita karena beda jurusan. Tapi sepertinya Raita tahu hal itu karena ia masih memasang senyum misteriusnya.
“Kalo senyum-senyum terus, nanti dikira gila lho,” sindir seorang cowok di sebelah Raita.
Raita menoleh ke arah cowok itu sambil cemberut, sedikit kesal. Ia kemudian membuang muka ke arah lain.
“Tapi nggak pa-pa, sih. Soalnya senyum lo manis,” gombal cowok itu.
“Ah, gombal. Lo pasti Tommy si playboy cilik itu, ya?” tanya Raita melihat tubuh makhluk di sebelahnya.
“Gue bukan playboy, soalnya gue jomblo,” protes Tommy, cowok di sebelah Raita. “Ngomong-ngomong, boleh kenalan nggak? Biar enak aja ngomongnya.”
Huh, dasar cowok, batin Raita.
Awalnya dia cuek, tapi melihat tangan Tommy yang sudah terulur dan ditambah dengan muka memelas Tommy, ia jadi iba. Ia membalas uluran tangan Tommy. “Gue Raita,” sahutnya jutek.
“Raita? Nama yang cantik, seperti orangnya,” komentar Tommy. “Kalo gue, seperti yang lo bilang, Tommy, si cowok keren.”
“Nggak nanya,” Raita membuang muka.
“Jangan jutek gitu dong. Raita mau pergi ke mana?” tanya Tommy.
“Bukan urusan lo,” jawab Raita sambil langsung pergi turun dari bus.
Sekilas, Tommy melihat ke luar. Gara-gara mengobrol dengan Raita, Tommy jadi baru sadar kalau rumahnya sudah terlewat jauh. Ia pun segera ikut turun ke halte disertai penumpang lain.
Di halte, Tommy menggumam. “Wah, ini sih, udah jauh dari rumah gue. Masa gue balik lagi naik bus?” Ia pun memeriksa saku celananya. Ternyata tak ada uang sepeser pun. Sekarang ia benar-benar kebingungan.
Semerbak bau parfum tercium di hidung Tommy. Saat itu pula, Raita lewat di hadapannya, berjalan terburu-buru. Tommy pun mengejarnya dengan suatu maksud.
“Parfum Raita wangi deh,” kata Tommy mendekati Raita.
“Maksud lo apa sih?” sahut Raita agak jengkel.
“Nggak kenapa-kenapa sih. Raita emangnya mau ke mana?”
“Mau ke sini,” jawab Raita menunjuk sebuah gedung di depannya. Tommy memandang gedung itu, lalu membaca tulisan di depan pagarnya. Tulisannya adalah “PT. Suara Bangsa”. Membaca itu, Tommy langsung ingat pada suatu benda, yaitu koran. Ya, itu adalah perusahaan koran dan surat kabar.
“Mau ngapain? Raita kerja di sini?” tanya Tommy kepo.
“Enggak sih, tapi gue pingin bekerja di bidang kepenulisan, kayak wartawan atau penulis gitu. Lihat aja beberapa tahun ke depan. Gue akan jadi penulis terkenal yang kaya. Khukhukhu…” Raita justru curcol.
“Wah, semangat yang bagus. Ngomong-ngomong, gue boleh minta sesuatu, nggak?”
“Boleh. Pasti minta tanda tangan, ya, biar lo nggak usah minta lagi kalo gue udah terkenal,” sahut Raita ge-er.
“Bukan sih. Gue mau naik bus ke rumah gue soalnya tadi udah kelewatan jauh. Nah, masalahnya duit gue habis. Boleh minta duitnya, nggak? Kapan-kapan kalau ketemu lagi, gue kembaliin deh,” pinta Tommy. “Tadi udah bilang ‘boleh’ lho.”
“Sialan. Nggak pa-pa deh, nih gue pinjemin.” Raita memberikan sejumlah uang pada Tommy. Dengan jengkel, ia juga mengusir Tommy. “Udah, pergi sana ke halte.”

“Makasih, Raita cantik!” sahut Tommy sambil tersenyum senang.
Berlanjut ke Bagian 2...

Senin, 19 Agustus 2013

Konser Bagian 4

“Itu… di situ,” Erwin menunjuk Kiran. “Apa aku salah lihat? Masa dia Kiran?” tanya Erwin.
“Hah?” Tommy menajamkan penglihatannya. “Eh iya, bener.”
Tommy secepat kilat menghampiri Tofan yang sedang mengambil minuman di freezer. “Fan, lo bawa pulpen sama kertas nggak? Ada Kiran tuh, gue mau minta tanda tangan.”
Tofan mengambil sesuatu dari tas punggungnya. “Kiran? Bukannya dia ikut konser?” tanya Tofan kurang tertarik. Ia menyerahkan kertas dan pulpen itu.
“Nggak tahu, tapi mata gue kan nggak pernah salah,” jawab Tommy sambil mengedipkan matanya. Ia lalu secepat kilat pula menghampiri Kiran.
“Nggak pernah salah? Oh iya, dia kan tukang nginceng cewek. Ckckck…” Tofan geleng-geleng kepala.
Melihat Tommy menghampiri Kiran, Erwin terkejut. “Eh tunggu, Tom. Gimana kalau salah orang?” Erwin yang khawatir mengejar Tommy.
“Mbak-nya artis, ya? Minta tanda tangannya dong,” pinta Tommy modus menyentuh pundak Kiran dari belakang.
Kiran menengok, heran melihat ada anak aneh di hadapannya. Erwin menghampiri Tommy, melihat Kiran di depannya. Begitu cantik, sama seperti dulu, batin Erwin.
“Eh, kamu… Erwin?” Kiran bertanya dengan mata membelalak tak percaya. Ia tak menggubris Tommy.
“Ng… Iya,” sahut Erwin gugup.
“Erwiiin… Aku kangen kamu…” Kiran spontan memeluk Erwin. Erwin mematung, antara gugup dan berbunga-bunga. “Nggak nyangka kita ketemu di sini. Kamu apa kabar?” tanya Kiran melepaskan pelukannya.
“Ng… Baik. Kalau kamu? Bukannya… lagi konser?” tanya Erwin masih gugup.
“Iya, sih. Tapi badanku rasanya agak nggak enak. Jadinya, aku mau beli suplemen vitamin gitu di sini,” jawab Kiran.
Sementara itu, Surdi dan Kunti yang lama menunggu di tempat parkir lantas menghampiri minimarket. “Ngapain aja bocah-bocah itu?” tanya Kunti kesal.
Sesampainya di sana, Surdi dan Kunti terkejut melihat Kiran di minimarket, apalagi dia sedang mengobrol dengan Erwin.
“Kamu… ke sini... sama siapa?” tanya Erwin lagi. Ketika ia gugup, perkataannya memang suka patah-patah.
“Itu… sama Pandu,” Kiran menunjuk Pandu yang berjalan ke arahnya. Erwin tak asing dengan wajahnya. Dia sering terlihat di televisi berpasangan dengan Kiran. Memang cocok, dia tampan, sedangkan Kiran cantik. Sama-sama artis pula.
Pandu menghampiri Kiran. “Itu siapa, Yang?” tanyanya.
“Oh iya. Kenalin, ini Erwin, temenku waktu kecil. Win, kenalin juga, ini Pandu, pacarku,” kata Kiran mengenalkan. Erwin dan Pandu pun bersalaman.
Tapi mendengar itu, hati Erwin dan Kunti langsung pecah berantakan. Mereka bagai ditusuk panah tepat di jantung. Melihat ini semua, Surdi yang paham keadaan langsung memulai bicara.
“Er… Kiran, Pandu, sorry, but kami mau segera pergi,” kata Surdi menarik tangan Erwin dan Kunti kembali ke mobil.
“Oke. Hati-hati, ya,” sahut Kiran. “Aku juga mau balik nih. Dah… Semoga ketemu lain waktu.” Kiran melambaikan tangan lalu keluar dari minimarket.
Tommy yang dari tadi dicuekin lantas bingung melihat yang lain sudah pergi. “Lho? Pada ke mana? Nggak jadi dapet tanda tangan nih?” tanya Tommy kecewa berat. Ia lalu kembali ke mobil.
Tak lama kemudian, Tofan menyusul kembali ke mobil tanpa tahu apa yang terjadi pada teman-temannya. “Kalian nggak jadi beli minuman?” tanya Tofan.
“Nggak jadi. Ayo pulang,” sahut Kunti.
“Lho, nggak jadi ke konser juga? Ada apa sih?”
“Nggak jadi semua!” sahut Kunti lagi dengan kesal. Ia pun melajukan mobilnya dengan kencang.
Erwin, Tommy, dan Kunti pulang dengan kecewa. Tapi mereka dapat mengambil hikmah dari kejadian ini, yaitu jangan terlalu nge-fans pada seseorang.


TAMAT

Sabtu, 17 Agustus 2013

Konser Bagian 3

Tiba-tiba kembali muncul suara yang lain. “Hihihihi….” Terdengar lengkingan yang menyeramkan.
“Oh my gosh!” Surdi merinding lagi. Ranger lain jadi ikut-ikutan merinding.
“Makasih, ya, udah nyelametin Franky, kucing gue,” kata sesosok cewek berambut panjang. “Franky emang suka manjat-manjat, tapi suka bingung sendiri turunnya gimana. Kucing aneh memang.”
“Kamu… Kunti kan?” sahut Erwin sambil menyerahkan kucing itu.
“Hihihihi… Dari tadi ngeliat kalian, bawaannya ketawa melulu. Muka kalian waktu ketakutan lucu,” sahut Kunti sambil menahan tawa.
“Oh, jadi selama ini lo. Gue udah curiga sebenernya. Mana bisa kuntilanak facebook-an?” tambah Tommy.
“Ada apa emangnya?” tanya Kunti bingung. Ia menurunkan Franky dari gendongannya.
“Itu, temen gue, Surdi. Katanya janjian sama kuntilanak mau liat konser.” Tommy menunjuk Surdi yang bersembunyi di balik tubuh Tofan.
Surdi jadi sedikit malu. Ia berdeham, lalu menemui Kunti. Ia bisa melihat dengan jelas kaki Kunti menyentuh tanah. “Jadi, you manusia?”
Kunti menghela nafas. “Untung gue sabar. Iya, gue manusia,” kata Kunti. “Sori, sebenarnya gue salah orang waktu chattingan dulu. Gue kira lo Agus, temen gue sekelas yang gendut tapi tajir itu.”
“Iya, it’s okay,” sahut Surdi. “So, kita jadi pergi ke konser, nggak?”
“Tapi naik apa, Gan? Masa mau boncengan 3 orang?” tanya Tofan.
“Ah, kalian nggak canggih sih.” Kunti mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. “Orangtua gue lagi nggak ada di rumah, jadi gue bebas makai mobilnya. Hihihi…”
The Rangers lalu diajak masuk rumah berwarna merah terang. Kunti pun membuka garasi, kemudian menyiapkan mobilnya.
Surdi bertanya-tanya dalam hati karena Kunti sendiri berkata kalau rumahnya berwarna hijau bukan merah. “Ini rumah you?” tanyanya.
“Iya. Kenapa?” Kunti balik bertanya.
“Katanya yang warna ijo?” balas Surdi.
“Emang warnanya ijo kan?”
Surdi mengucek-ucek matanya, tapi matanya tidak salah. Warna dinding rumah Kunti tetap saja merah. Maybe ada gangguan di penglihatan Kunti, batin Surdi.
Tak lama kemudian, Kunti dan keempat Ranger sudah berkendara dengan mobil. Sepeda motor dan vespa mereka dititipkan di rumah Kunti.
“Emangnya lo punya SIM, Kun?” tanya Tofan yang duduk di kursi depan.
“Lo manggilnya nggak enak banget. SIM belum punya sih. Cuma pernah diajari naik mobil aja, tapi nggak pernah sampai jalan raya. Ini pengalaman pertama, lho,” sahut Kunti santai.
Ranger lain saling berpandangan. Mereka takut terjadi apa-apa, tapi Kunti menenangkan. “Nggak pa-pa, gue ahli kok.”
Saat lampu lalu lintas berwarna merah, Kunti main terobos saja. Hampir saja mobilnya tertabrak. “Eh Kun, tadi kan lampunya warna merah,” kata Tofan dengan nada tinggi.
“Bukannya tadi warna ijo?” sahut Kunti lagi dengan santai.
Surdi merasa ada yang tidak beres. Ia berbisik-bisik dengan Tommy dan Erwin yang ada di sebelahnya. “Kayaknya Kunti buta warna deh,” bisik Surdi.
“Hah? Mampus kita,” sahut Tommy.
Tapi tiba-tiba saja, di tengah jalan mobil Kunti berhenti. Ternyata bensin mobilnya habis. Tentu saja hal ini membuat kesal pengendara lain. Klakson-klakson pengendara lain berbunyi gaduh dari belakang. Terpaksa mereka semua mendorong mobil tersebut. Untunglah, di dekat situ ada pom bensin sehingga mereka tak perlu capai-capai mendorong terus.
“Kayaknya ini disengaja orangtua gue biar gue nggak makai mobilnya. Sial!” gerutu Kunti lagi.
“I bener kan. Kucing hitam itu membawa sial,” tambah Surdi.
Setelah sampai pom bensin, Kunti pun mengisi bensin mobilnya. Erwin, Tommy, dan Tofan pergi ke minimarket SPBU tersebut untuk membeli minuman, sedangkan Surdi tetap di mobil karena dompetnya sedang krisis.
Tapi sewaktu berada di minimarket tersebut, mata Erwin melihat suatu kejanggalan. Ia seperti melihat sosok Kiran di sana. Tapi mana mungkin? Bukankah Kiran sedang di alun-alun untuk ikut konser?
“Win, lo bawa uang banyak, nggak? Gue sebenernya nggak bawa uang, nih,” kata Tommy menghampiri Erwin. Tapi Erwin tidak menggubris Tommy. “Win, lo liat apa sih?” tanya Tommy, tapi kembali tidak digubris.
“Erwin!” panggil Tommy setengah berteriak membuyarkan lamunan Erwin.
“Eh, ada apa, Tom?” Erwin menengok ke Tommy.
“Lo ngeliatin apa sih?” tanya Tommy agak kesal.
“Itu… di situ,” Erwin menunjuk Kiran. “Apa aku salah lihat? Masa dia Kiran?” tanya Erwin.

“Hah?” Tommy menajamkan penglihatannya. “Eh iya, bener.”
Berlanjut ke Bagian 4...

Kamis, 15 Agustus 2013

Konser Bagian 2

Tapi seperti biasa, Surdi justru semakin penasaran. Soalnya ia tak pernah punya teman dari dunia lain. Ia mencoba iseng-iseng membalas chattingan Kunti.
Agus Surdiman   : Curhat apa?
Kunti           : Gosipnya Pandu pacaran sama Kiran. :’(
Agus Surdiman   : Who is Pandu?
Kunti           : Artis sinetron, Norak. -_-
                 Dia juga punya boyband. Emang sih kalo di sinetron suka pasangan sama Kiran, tapi kenapa gosipnya pacaran beneran? :’(
Agus Surdiman   : Pandu itu sebangsa kayak you?
Kunti           : Maksud lo apa sih? Nggak jelas. Katanya dia sama Kiran mau konser di kota ini, lho. Tempatnya di alun-alun. Gue mau ketemu sama dia. Gue nge-fans dia.
Agus Surdiman   : Oh, Pandu si artis ganteng itu? Tapi you sama dia kan beda dunia.
Kunti           : Maksud lo apaa?! Mau gue lempar sendal?! -_-
                 Demam lo parah, ya? Huff, sabaarr… Gue mau ketemu sama dia. Lo mau nggak nemenin gue pergi ke konser malem Minggu besok? Temen-temen gue soalnya pada nggak bisa. Padahal gue mau tahu soal hubungannya sama Kiran. :’(
Agus Surdiman   : Boleh. But, kapan dan di mana I sama you ketemuan?
Kunti           : Di rumah gue malem Minggu jam 6 sore.
Agus Surdiman   : Rumah you di mana?
Kunti           : Lo pura-pura nggak inget apa amnesia, sih? Rumah gue itu yang warna ijo di depan kuburan deket rumah sakit.
Agus Surdiman   : Wah, very strategis. Kalo sakit tinggal ke hospital, kalo mati tinggal ke kuburan.
Kunti           : -_-
***
Seorang cewek berkulit cokelat kehitaman masuk ke kelas Erwin dan Tommy. Rambutnya yang juga hitam dibiarkan terurai sepunggung. Cewek itu menaruh tasnya di kursi, lalu menyapa Erwin dengan genit. Dialah yang bernama Kunti.
“Haiii, Erwin! Nggak kangen gue?”
“Tidak,” jawab Erwin singkat.
“Ah, lo nggak asik,” dia yang tadinya tersenyum sok manis menjadi cemberut. Melihat Agus yang gemuk datang, ia berganti menyapa Agus. “Haiii, Agus!”
“Apa?” sahut Agus cuek.
“Gus, besok malem Minggu jadi?” tanya Kunti pada Agus.
“Ngapain?” Agus balik bertanya.
“Itu… yang kemarin malem.”
“Emang kemarin malem ada apa?” Agus mengingat-ingat.
“Chattingan yang di facebook, Pikun!” Kunti kehilangan kesabaran. “Lo masih demam?”
“Sejak kapan gue demam?” Agus bingung sendiri.
“Lo kemarin chattingan sama gue kan?” Kunti jadi cemas kalau salah orang.
“Enggak tuh, beneran. Semalem listriknya mati, jadi gue tidur aja.”
“Nama akun facebook lo apa? Agus Surdiman kan?” tanya Kunti tambah cemas.
“Nggak punya. Facebook udah nggak jaman. Chattingan sekarang itu pake WeChat atau Kakao Talk,” sahut Agus. “ Kalo Agus Surdiman itu cowok cungkring gondrong kelas sebelah itu, lho.”
“Waaa… Gue salah orang!” Kunti jadi panik sendiri.
Sedangkan di kelas sebelah, cowok cungkring gondrong itu sedang mengobrol dengan cowok berkacamata. Mereka adalah Surdi dan Tofan. Surdi bercerita kejadiannya semalam dengan penuh ekspresi. Saking semangatnya, hujan pun keluar deras dari mulut Surdi, membasahi wajah Tofan. Tofan yang susah payah menghindari air mancur akhirnya menutup mukanya dengan buku.
“Jadi gitu, Fan. I diajak pergi sama Kunti,” kata Surdi bangga.
“Kunti… lanak?” Tofan bertanya ragu.
“Maybe. But, dia nggak ngaku,” sahut Surdi. “You sama Ranger lain mau nemenin I ke konser, nggak?”
“Pasti mau dong. Ini akan jadi kisah The Rangers yang seru,” Tofan tersenyum.
Sewaktu istirahat, keempat Ranger berkumpul. Mereka membicarakan konser malam Minggu esok.
“Konser? Ada girlband-nya?” tanya Tommy bersemangat.
“Ada. Girlband-nya Kiran,” jawab Tofan.
“Kiran si artis cantik itu?” tanya Tommy lagi.
Tofan mengangguk. Tommy tambah semangat. “Gue pasti ikut dong. Biarpun nggak ada JKT48, ngeliat Kiran secara langsung udah cukup.”
“Aku juga hendak ikut. Aku ingin bertemu Kiran, soalnya dulu dia itu temanku,” sahut Erwin.
“Kiran dulu temen lo?” Ranger yang lain terkejut.
“Ya. Dia dulu tetanggaku…” Erwin menceritakan semuanya sampai kejadian Kiran pindah. Ia juga mengatakan keinginannya mengungkapkan perasaannya pada Kiran.
***
Malam yang ditunggu-tunggu tiba. Keempat Ranger pergi berboncengan naik vespa Tofan dan sepeda motor Surdi. Tempat pertama yang mereka tuju adalah rumah Kunti.
Meski Puskesmas di kota itu banyak, tapi rumah sakit hanya ada satu buah sehingga tak perlu bingung mencari rumah Kunti. Di belakang rumah sakit, ada kuburan. Konon kata Surdi, kuburan itu angker karena sering terdengar lolongan anjing dari sana.
Keempat Ranger berhenti di depan kuburan. Mencari-cari rumah Kunti.
“Katanya, rumah Kunti yang warna ijo di depan kuburan,” kata Surdi.
“Tapi nggak ada rumah warna ijo di sini,” sahut Tofan melihat sekeliling.
“Maybe dia menghantui salah satu pohon di sini. Yang warnanya ijo, kan?” Surdi melihat-lihat pohon-pohon di sana kalau-kalau ada penampakan.
“Kuunti… Kuunti…” Tommy memanggil-manggil.
Terdengar gemerisik daun di dekat tempat mereka berdiri. Tommy spontan terkejut. Surdi merinding. “Tom, jangan sembarangan manggil, or dia bakal angry,” larang Surdi sambil bersembunyi di balik tubuh Erwin.
Terdengar lagi gemerisik daun itu. Kemudian muncul suara. “Meoong… meong…”
“Hei, itu kucing!” Erwin menunjuk asal suara. Terlihat sepasang bola mata bersinar di atas pohon. “Kasihan. Kucingnya kutolong, ya.”
“Oh… kucing. I kira apaan,” Surdi mengelus dadanya lega.
Erwin memanjat pohon dengan gesit. Kucing itu terus mengeong-ngeong karena tak bisa turun. Setelah mengambil kucing itu dengan hati-hati, Erwin segera turun dari pohon.
Erwin menggendong kucing itu seperti menggendong bayi. Kucing itu mendengkur nyaman dalam dekapan Erwin. Setelah dilihat-lihat, warna bulu kucing itu ternyata hitam semua.
“Warna bulu kucing ini hitam semua. Jangan-jangan pertanda sial,” kata Surdi ekspresif.
“Nggak usah percaya takhayul, Gan,” Tofan mengingatkan.
Tiba-tiba kembali muncul suara yang lain. “Hihihihi….” Terdengar lengkingan yang menyeramkan.
Berlanjut ke Bagian 3...

Selasa, 13 Agustus 2013

Konser Bagian 1


“G
UE cinta sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?”
“Tapi… lo udah punya pacar kan?”
Terdengar dialog antar remaja di sinetron televisi. Pemainnya cantik-cantik dan tampan-tampan, tapi itu semua tak berpengaruh bagi Erwin. Ia justru terganggu dengan tontonan kakak perempuannya itu.
“Tontonan apa ini, Kak?” Erwin merebut remote televisi dan memindah salurannya.
“Ee… lagi ditonton kok diganti?” kakak Erwin merebut kembali remote televisi. Ia menonton sinetron itu lagi. “Kamu kenapa sih kok kayaknya nggak suka banget? Pemainnya kan ganteng-ganteng. Juga ada si Kiran, tetangga kita dulu itu. Bukannya kamu temenan sama dia?” tanya kakak Erwin bawel.
“Iya. Dulu. Sekarang dia kan sudah menjadi artis,” sahut Erwin.
“Oh iya, aku denger mau ada konser girlband-nya Kiran di sini, ya?”
“Hah? Masa?” Erwin terkejut. Ia justru tak tahu.
“Ah, kamu kuper sih. Masa kamu nggak ngebaca plang-plang di jalan sama selebaran yang ditempel?”
“Tidak pernah, Kak. Yang ada justru iklan sedot WC.”
Kakak Erwin menahan tawa. Erwin yang tak suka melihat sinetron semacam itu lalu menuju ke kamarnya. Menyendiri, melamun. Diambilnya jam weker di mejanya. Matanya menerawang kembali kejadian sebelum Kiran, temannya itu pindah ke ibukota.
Seorang gadis jelita yang masih SD sedang berjalan-jalan keluar rumahnya. Gadis bermata bulat itu cantik dan aktif. Ia suka bermain di bawah terik matahari atau memanjat pohon untuk memakan buahnya. Ia masuk ke pekarangan sebuah rumah sambil membawa sebungkus plastik hitam.
Gadis itu mengetuk jendela samping rumah, tepatnya jendela kamar Erwin. Tuk... tuk… tuk… Dengan jemari lentik, ia mengetuk sambil mengintip lewat jendela. Erwin kecil yang sedang tengkurap di atas kasur sambil membaca buku menengok ke arah jendela. Cowok ikal itu tersenyum lalu membukakan jendelanya.
“Ada apa, Kiran?” tanyanya polos.
“Ini,” gadis kecil bernama Kiran itu menyerahkan bungkusan hitam yang tadi ia bawa.
Erwin menerimanya keheranan. “Apa ini?”
“Itu hadiah ulangtahun kamu. Maaf, ya. Ulangtahun kamu memang masih minggu depan. Tapi, aku takut nggak bisa datang soalnya aku mau pindah ke Jakarta,” sahut Kiran.
“Kamu hendak pindah? Maksudnya pindah rumah?” Erwin terkejut.
“Iya, Win. Maaf, aku baru bilang sekarang.”
“Berarti kita tidak bisa bermain bersama lagi?” Erwin terlihat sedikit murung.
“Nggak pa-pa, Win. Ayo, sekarang kita main,” ajak Kiran.
Pada hari-hari sebelum Kiran pindah, mereka berdua selalu bermain bersama setiap hari, entah itu memanjat pohon, bermain petak umpet, atau sekadar bermain monopoli di teras rumah. Erwin sangat menikmati hari-hari tersebut. Namun, setelah Kiran pergi, ia merasa begitu rindu. Ia baru sadar kalau ia suka dengan Kiran, hanya saja ia malu mengatakannya.
Jam weker itu adalah saksi bisu persahabatan mereka. Hadiah terakhir sebelum Kiran pindah rumah. Jam weker putih berbentuk klasik yang dirawat Erwin hingga selalu terlihat mengkilap.
“Aku rindu kamu, Kiran…” kata Erwin pelan. Ia tersadar kembali. Ia tak suka melihat sinetron Kiran karena itu hanya membuatnya tambah rindu.
Suatu saat, Erwin bertekad mengungkapkan perasaannya pada Kiran. Mungkin esok ketika Kiran ikut konser di kota ini. Ya, harus pada saat itu. Tak setiap hari Kiran ada di kota ini.
***
Sementara itu belakangan ini, Surdi jadi suka pergi ke warnet depan rumahnya. Dia ketularan Tofan dan Tommy yang suka main game di facebook. Apalagi game yang dimainkan teman-temannya itu sangat menarik bagi Surdi. Judulnya “Men vs. Zombies”. Membaca kata “Zombie” saja Surdi sudah tertarik. Yah, meski dia terkadang takut sendiri saat bermain.
Game yang mengisahkan pertarungan antara manusia dan zombie itu membuat Surdi agak kecanduan. Bahkan dia punya ritual untuk pergi ke warnet setiap malam Jumat. Biar greget kesannya. Untung saja warnetnya dekat dengan rumah sehingga orangtua Surdi tidak melarang.
Seperti malam Jumat kali ini, Surdi sedang asyik bermain game tersebut di facebook. Nama akun facebook Surdi adalah nama panjangnya, yaitu Agus Surdiman. Namanya aneh sekali, ya? Tapi nama itu adalah pemberian orangtuanya, tidak boleh kita ejek atau kita tertawakan.
Saat sedang asyik bermain, Surdi terkejut. Ia merinding melihat akun facebook bernama Kunti mengajaknya chattingan.
Kunti           : Gus, gue boleh curhat, nggak? :’(
Agus Surdiman   : Dari mana you tahu my name?
Karena hilang akal sehat saking takutnya, Surdi sampai bertanya begitu. Padahal semua orang juga bisa tahu lewat nama akun facebook-nya.
Kunti           : Lo kenapa sih? Lagi demam?
Agus Surdiman   : My body emang lagi panas dikit sih. Dari mana you tahu? You… Kunti kan?
Kunti           : Emang gue Kunti. Kenapa?
Agus Surdiman   : Kunti… lanak?
Kunti           : Ah, lo banyak nanya deh. Gue mau curhat nih. :’(
Surdi membuka profil Kunti di tab baru. Di foto profilnya, ada gambar cewek narsis sedang meringis waktu malam Kamis. Tapi karena gelapnya kulit cewek itu, apalagi fotonya waktu malam-malam, yang terlihat hanyalah sepasang mata dan gigi-gigi kekuningan yang tersenyum bagai tanpa dosa. Setan narsis, batin Surdi.
Di benak Surdi, terbayang bagaimana kuntilanak dan setan-setan lain saling facebook-an, mendatangi warnet-warnet atau mungkin membuat warnet sendiri khusus makhluk supranatural. Ih, sereeem…, batin Surdi lagi.
Tapi seperti biasa, Surdi justru semakin penasaran. Soalnya ia tak pernah punya teman dari dunia lain. Ia mencoba iseng-iseng membalas chattingan Kunti.
Berlanjut ke Bagian 2...

Minggu, 11 Agustus 2013

Tukang Tebeng Bagian 4

Setelah menunggu sebentar di alun-alun kota, mata The Rangers terpana oleh motor gede mahal mengkilap yang mungkin hanya ada satu di kota itu. Warnanya hitam dan ditempeli stiker berbentuk nyala api. Sudah seperti motor pembalap betulan. Sayangnya, penunggangnya terlihat tidak matching dengan tunggangannya. Sosok penunggang berperut besar itu melepas helmnya, dan terlihatlah wajahnya yang kurang kece. Dialah Agus.
“Hei, Tukang Tebeng! Lo berani juga, ya, ternyata. Berani kalah maksudnya. Haha…” ledek Agus.
Erwin naik motor Surdi, lalu menatap Agus tanpa ekspresi. “Kita buat kesepakatan dulu. Kalau aku menang, jangan pernah ejek aku lagi.”
“Tapi kalo lo kalah, lo bakal jadi bulan-bulanan gue seumur hidup. Hahaha…” Agus terbahak.
Tofan menuju tengah jalan. Ia mengeluarkan bendera semaphore dari tas extra large-nya. Sekarang ia berada persis di depan garis putih bertuliskan “START” yang dicat di jalan aspal tersebut. Garis itu biasanya digunakan untuk lomba-lomba di kotanya, seperti lomba lari atau sepeda santai.
Erwin dan Agus sudah siap dengan sepeda motor mereka masing-masing. Deru sepeda motor mereka membisingkan telinga. Untung, alun-alun saat itu tak terlalu ramai sehingga mereka bisa balapan tanpa protes dari pengguna jalan lain.
Tofan menyiapkan benderanya seperti di ajang balapan sesungguhnya. Ia menghitung mundur dari angka 3, lalu mengangkat benderanya. Kedua pengendara motor itu pun memulai balapan.
“Good luck, Ranger,” kata Tofan lirih.
Erwin dan Agus saling lincah menyalip. Tak bisa diperkirakan siapa yang menang. Agus sampai terkejut begitu tahu Erwin menyamai kemampuannya. Tapi dia tak mau kalah, begitu pula dengan Erwin. Dengan teknik-teknik yang ia pelajari saat berlatih, Erwin dengan gesit dapat menyalip Agus lagi sampai jauh ke depan.
Lampu lalu lintas terlihat berwarna merah. Erwin pun memelankan laju motornya untuk berhenti di belakang zebra cross. Tapi Agus menerobos lampu merah tersebut.
“Lo ngapain berhenti, Cupu?” ledek Agus lagi sambil menengok ke Erwin.
Dari arah lain, ada pula mobil berkecepatan tinggi yang membunyikan klakson. Agus yang terkejut spontan memutar stangnya. Tapi naas, ia tak sempat menghindar. Sepeda motornya rusak dan Agus terluka di sebagian tubuhnya. Sedangkan mobil yang menabrak Agus hanya terbaret dan penyok sedikit. Pengemudi mobil itu tanpa pikir panjang langsung kabur.
“Aguus!” teriak Erwin.
Erwin menghampiri Agus dengan sepeda motornya. Terlihat Agus pingsan dengan luka berdarah di kepala serta beberapa luka di kaki dan tangannya.
“Aduh, bagaimana ini?” Erwin turun dari motornya dan memandang ke sekitar jalan. Semuanya cuek, tak ada yang peduli dengan kecelakaan ini. Erwin pun memboncengkan Agus di belakang dalam keadaan pingsan. Dengan sepeda motornya, ia membawa Agus ke rumah sakit terdekat.
***
Begitu sadar, Agus melihat ayah-ibunya tengah sedih di hadapannya, dengan mata berkaca-kaca. Ia terbaring di ranjang rumah sakit. Ia hendak bangkit tapi tangan dan kakinya sakit. Ia baru menyadari ada perban di tangan, kaki, serta kepalanya.
“Gue… gue ada di mana?” tanya Agus bingung.
“Kamu di rumah sakit, Agus. Kamu habis terkena tabrak lari. Kamu harus berterima kasih sama temen kamu, soalnya tadi mereka mengantarmu ke sini,” kata ayah Agus.
Pintu ruangan tersebut diketuk lalu terbuka. The Rangers masuk membawa sebungkus plastik makanan dan minuman. Ketiga Ranger mendorong tubuh Erwin agar memberikan bungkusan plastik itu karena dialah yang menolong Agus.
“Wah, kamu sudah bangun, ya, Gus?” tanya Erwin basa-basi. “Ini… kita belikan makanan dan minuman untuk kamu.” Erwin menyerahkan bungkusan plastik itu.
“Makasih, Win. Maaf banget, ya. Gue dari dulu suka nge-bully lo. Lo ternyata baik banget. Gue anggep lo menang dalam balapan tadi. Gue nggak akan ngejek lo lagi,” sahut Agus mengulurkan tangannya yang terbalut perban.
“Iya, sama-sama, Gus.” Erwin bersalaman dengan Agus.
“Aduh… Tangan gue jangan diremas. Masih sakit,” rintih Agus sambil menarik tangannya.
“Hahaha…” semuanya tertawa.

TAMAT