M
|
ALAM itu, seorang gadis SMA sedang asyik mengetik di
kamarnya. Laptop yang ia pandangi itu tersambung dengan sebuah kamera. Dilihat
dari sinar matanya, ia kelihatan begitu bersemangat. Namun, sinar matanya
menyimpan suatu kejahatan.
“Dengan foto-foto ini, akan gue
hancurin mereka! Khukhukhu…” kata gadis itu disertai tawa jahatnya.
***
Esoknya saat siang hari, gadis itu
keluar dari sebuah ruangan di sekolahnya. Di atas pintu ruangan itu, terpampang
di dinding sebuah tulisan “Ruang Sekretariat Majalah”. Dengan senyum menyamping
penuh misteri, gadis itu berjalan menuju ruang guru sambil membawa sekeping CD.
Sesampainya di ruang guru, ia
menghampiri seorang pria berkacamata oval dengan usia hampir kepala empat.
“Pak,” panggil gadis itu. “Ini isi majalah bulan ini. Tinggal dicetak saja.”
Gadis itu menyerahkan kepingan CD-nya.
“Oh, iya. Makasih, Raita,” sahut
pria itu.
“Sama-sama, Pak.” Tanpa
berlama-lama, gadis bernama Raita itu segera pergi dari sana.
Ia pergi ke depan sekolah sambil
berlarian, mengejar bus yang sedang berhenti. Raita memasuki bus berdesakan
dengan penumpang lain. Beruntung, ia masih mendapat tempat duduk. Bus itu tidak
mengarah ke rumah Raita karena beda jurusan. Tapi sepertinya Raita tahu hal itu
karena ia masih memasang senyum misteriusnya.
“Kalo senyum-senyum terus, nanti
dikira gila lho,” sindir seorang cowok di sebelah Raita.
Raita menoleh ke arah cowok itu
sambil cemberut, sedikit kesal. Ia kemudian membuang muka ke arah lain.
“Tapi nggak pa-pa, sih. Soalnya
senyum lo manis,” gombal cowok itu.
“Ah, gombal. Lo pasti Tommy si
playboy cilik itu, ya?” tanya Raita melihat tubuh makhluk di sebelahnya.
“Gue bukan playboy, soalnya gue
jomblo,” protes Tommy, cowok di sebelah Raita. “Ngomong-ngomong, boleh kenalan
nggak? Biar enak aja ngomongnya.”
Huh, dasar cowok, batin Raita.
Awalnya dia cuek, tapi melihat
tangan Tommy yang sudah terulur dan ditambah dengan muka memelas Tommy, ia jadi
iba. Ia membalas uluran tangan Tommy. “Gue Raita,” sahutnya jutek.
“Raita? Nama yang cantik, seperti
orangnya,” komentar Tommy. “Kalo gue, seperti yang lo bilang, Tommy, si cowok
keren.”
“Nggak nanya,” Raita membuang
muka.
“Jangan jutek gitu dong. Raita mau
pergi ke mana?” tanya Tommy.
“Bukan urusan lo,” jawab Raita
sambil langsung pergi turun dari bus.
Sekilas, Tommy melihat ke luar.
Gara-gara mengobrol dengan Raita, Tommy jadi baru sadar kalau rumahnya sudah
terlewat jauh. Ia pun segera ikut turun ke halte disertai penumpang lain.
Di halte, Tommy menggumam. “Wah, ini
sih, udah jauh dari rumah gue. Masa gue balik lagi naik bus?” Ia pun memeriksa
saku celananya. Ternyata tak ada uang sepeser pun. Sekarang ia benar-benar
kebingungan.
Semerbak bau parfum tercium di
hidung Tommy. Saat itu pula, Raita lewat di hadapannya, berjalan terburu-buru.
Tommy pun mengejarnya dengan suatu maksud.
“Parfum Raita wangi deh,” kata
Tommy mendekati Raita.
“Maksud lo apa sih?” sahut Raita
agak jengkel.
“Nggak kenapa-kenapa sih. Raita
emangnya mau ke mana?”
“Mau ke sini,” jawab Raita menunjuk
sebuah gedung di depannya. Tommy memandang gedung itu, lalu membaca tulisan di
depan pagarnya. Tulisannya adalah “PT. Suara Bangsa”. Membaca itu, Tommy
langsung ingat pada suatu benda, yaitu koran. Ya, itu adalah perusahaan koran
dan surat kabar.
“Mau ngapain? Raita kerja di
sini?” tanya Tommy kepo.
“Enggak sih, tapi gue pingin
bekerja di bidang kepenulisan, kayak wartawan atau penulis gitu. Lihat aja
beberapa tahun ke depan. Gue akan jadi penulis terkenal yang kaya. Khukhukhu…”
Raita justru curcol.
“Wah, semangat yang bagus.
Ngomong-ngomong, gue boleh minta sesuatu, nggak?”
“Boleh. Pasti minta tanda tangan,
ya, biar lo nggak usah minta lagi kalo gue udah terkenal,” sahut Raita ge-er.
“Bukan sih. Gue mau naik bus ke
rumah gue soalnya tadi udah kelewatan jauh. Nah, masalahnya duit gue habis.
Boleh minta duitnya, nggak? Kapan-kapan kalau ketemu lagi, gue kembaliin deh,”
pinta Tommy. “Tadi udah bilang ‘boleh’ lho.”
“Sialan. Nggak pa-pa deh, nih gue
pinjemin.” Raita memberikan sejumlah uang pada Tommy. Dengan jengkel, ia juga
mengusir Tommy. “Udah, pergi sana ke halte.”
“Makasih, Raita cantik!” sahut
Tommy sambil tersenyum senang.
Berlanjut ke Bagian 2...