“Mas,
nanti terlambat, lho,” kata petani itu sambil menepuk pundak Erwin.
Erwin
terkejut. Ia sebenarnya tak dengar apa yang dikatakan petani itu. Tapi melihat
orang membawa sabit di hadapannya, Erwin langsung parno dan lari tunggang
langgang. Dikira hendak dibacok, hehe…
Erwin
berlari menuju sepedanya. Ia memakai kaus kaki dan sepatu, lalu segera mengayuh
sepeda menjauh dari sana. Saat keluar dari gang, Erwin baru ingat untuk
berangkat sekolah.
Sementara
itu, Mega bersepeda menuju sekolah. Jalanan masih lumayan sepi. Kemudian dari
arah berlawanan, melintas sebuah sedan hitam. Di dalam sedan itu ada dua orang
pria seperti kemarin. Si sopir berbadan gemuk dan yang satunya cungkring.
“Hei,
Bro! Lihat, itu cewek sasaran kita!” seru si cungkring.
“Mana?”
tanya si gemuk. “Katanya bos, kita tangkep waktu pulang sekolah kan?”
“Bego
lo! Kalo kita tangkep sekarang, bos akan tambah seneng kan?” sahut si
cungkring. “Ayo balik arah! Kita tangkep sekarang.”
Mobil
sedan itu berbalik arah, hendak mengejar Mega yang naik sepeda. Namun Mega
sadar hal itu.
“Sedan
item itu rasanya gua pernah lihat,” gumam Mega. “Oh iya, sedan itu kemarin
ngikutin gua sejak dari Sambal Setan. Mencurigakan…”
Mega
melajukan sepedanya dengan kencang, lalu berbelok ke sebuah jalan kecil.
“Kalo
dugaan gua bener, mereka pasti akan ngikutin gua,” gumam Mega lagi.
Dan
selang beberapa lama, mobil sedan itu memang mengikuti Mega. Mega pun melajukan
sepedanya lincah, melewati jalan-jalan kecil, hingga mobil itu kesulitan
mengejarnya. Mega akhirnya sampai di pinggir jalan besar, tapi dia telah lelah.
Namun saat ia menengok ke belakang, mobil itu masih mengejar, hanya saja
terjebak lampu merah.
Mega
tampak berpikir. Ia lalu membuka tasnya, mengambil jam dinding baru itu. Dengan
spidol di kotak pensilnya, ia mencorat-coret permukaan kaca di jam itu. Ia juga
mengubah waktu di jam itu. Setelah itu, ia menjatuhkannya di pinggir jalan.
Tapi
belum sempat Mega mengayuh sepedanya lagi, mobil sedan itu menghadangnya. Si
cungkring keluar dari mobil itu dan tanpa bicara, menarik lengan Mega hingga
sepedanya terjatuh.
“Apaan
sih? Lepasin!” kata Mega sambil melawan tarikan tangan pria asing itu. Namun
apa daya. Berapa kali pun Mega berteriak dan berusaha melepaskan tangannya,
kekuatannya masih kalah jauh dengan pria itu. Orang-orang di sekitar Mega pun
terlihat acuh dan bahkan cenderung menghindar.
Dengan
mudah, Mega dimasukkan dan diikat di dalam mobil, lalu dibawa lari.
***
Erwin
bersepeda dengan cepat menuju sekolah. Ia tak mau terlambat dan dikenai denda
oleh Mega. Tapi pikiran Erwin justru tak fokus di sana, melainkan pada Kiran.
Ia rindu dengan Kiran. Di tengah jalan, ia berbicara sendiri dengan sok puitis.
“Wahai
mentari, sedang apakah dia di sana? Oh mega-mega yang menggantung di langit, kirimkan
pesan rinduku padanya…”
Erwin
menengadah ke langit. Namun, tiada awan yang menggantung.
“Tiada
mega di langit? Apakah ini pertanda, bahwa pesan rinduku takkan sampai?” gumam
Erwin. Si pendiam nan melankolis itu tak akan gila begini jika bukan karena
Kiran.
Sedang
enak-enaknya berbicara sendiri, Erwin dikejutkan oleh sepeda Mega di pinggir
jalan. Sepeda itu tergeletak begitu saja, tidak terparkir dengan baik. Erwin
kontan mengerem dan memeriksa sepeda Mega. Dan memang benar. Di badan sepeda
itu tertempel dengan stiker sebuah nama: Megananda Indri.
“Lho,
kenapa sepeda Mega ada di sini?” gumam Erwin heran. Ia pun menduga-duga.
“Mungkin waktu bersepeda, ayahnya menghampiri naik mobil. Ia lalu diantar
ayahnya ke sekolah. Tapi kalau begitu, sepedanya tidak akan dibuang seperti ini
kan? Ah, dia kan kaya. Dibuang pun, bisa beli lagi. Atau jangan-jangan
sepedanya dicuri? Eh, bukan. Mega diculik! Hmm… daripada bingung, lebih baik
aku telepon seseorang yang sedang di sekolah. Mungkin Mega justru sudah di
kelas. Ya, aku harus telepon Tofan.”
Erwin
jadi panik. Ia mengambil ponsel di saku celananya, lalu menghubungi Tofan. Tak
lama, terdengar suara Tofan di ponsel.
“Halo.
Ada apa, Win?”
“Fan,
Apa Mega sudah datang?” tanya Erwin.
“Mega
belum datang sampai sekarang. Gue juga bingung. Dia biasanya kan yang paling
disiplin. Kalau dia nggak masuk, harusnya ada surat izin kan? Tapi di sini
nggak ada surat izin apa-apa,” jawab Tofan.
“Gawat,”
kata Erwin tambah panik. “Fan, apa kamu bisa menghampiri aku sekarang? Aku
sedang di sebelah utara perempatan dekat rumah sakit. Serius, ini penting.
Mungkin Mega diculik.”
“Oke,
Gan. Gue akan ke sana sekarang,” sahut Tofan tanpa pikir panjang. Ia kemudian
mengakhiri panggilan dan segera ke tempat parkir. Ia mengambil sepeda lalu
keluar sekolah demi menghampiri Erwin.
Sementara
murid lain buru-buru masuk sekolah agar tak terlambat upacara, Tofan justru
keluar sekolah. Pak Satpam sampai-sampai heran dan berseru: “Woy, mau ke mana
kamu?!” Namun Tofan menghiraukan seruan itu. Ia segera pergi menghampiri Erwin.
Tofan
dari dulu memang begitu. Ia selalu siap membantu jika dibutuhkan. Mungkin
gara-gara terinspirasi film atau game karena ia selalu membayangkan bahwa
setiap ada orang minta bantuan berarti ada misi yang harus dia selesaikan.
Seperti saat ini.
Tiba-tiba
di tengah jalan, Tofan mendengar seseorang memanggil namanya.
“FAAAN!
TOFAAN!”
Berlanjut ke Bab 4 (Akhir)...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar