Rabu, 09 Juli 2014

Bab 4: Tiada Mega di Langit & Bumi (Tengah)

“Mas, nanti terlambat, lho,” kata petani itu sambil menepuk pundak Erwin.
Erwin terkejut. Ia sebenarnya tak dengar apa yang dikatakan petani itu. Tapi melihat orang membawa sabit di hadapannya, Erwin langsung parno dan lari tunggang langgang. Dikira hendak dibacok, hehe…
Erwin berlari menuju sepedanya. Ia memakai kaus kaki dan sepatu, lalu segera mengayuh sepeda menjauh dari sana. Saat keluar dari gang, Erwin baru ingat untuk berangkat sekolah.
Sementara itu, Mega bersepeda menuju sekolah. Jalanan masih lumayan sepi. Kemudian dari arah berlawanan, melintas sebuah sedan hitam. Di dalam sedan itu ada dua orang pria seperti kemarin. Si sopir berbadan gemuk dan yang satunya cungkring.
“Hei, Bro! Lihat, itu cewek sasaran kita!” seru si cungkring.
“Mana?” tanya si gemuk. “Katanya bos, kita tangkep waktu pulang sekolah kan?”
“Bego lo! Kalo kita tangkep sekarang, bos akan tambah seneng kan?” sahut si cungkring. “Ayo balik arah! Kita tangkep sekarang.”
Mobil sedan itu berbalik arah, hendak mengejar Mega yang naik sepeda. Namun Mega sadar hal itu.
“Sedan item itu rasanya gua pernah lihat,” gumam Mega. “Oh iya, sedan itu kemarin ngikutin gua sejak dari Sambal Setan. Mencurigakan…”
Mega melajukan sepedanya dengan kencang, lalu berbelok ke sebuah jalan kecil.
“Kalo dugaan gua bener, mereka pasti akan ngikutin gua,” gumam Mega lagi.
Dan selang beberapa lama, mobil sedan itu memang mengikuti Mega. Mega pun melajukan sepedanya lincah, melewati jalan-jalan kecil, hingga mobil itu kesulitan mengejarnya. Mega akhirnya sampai di pinggir jalan besar, tapi dia telah lelah. Namun saat ia menengok ke belakang, mobil itu masih mengejar, hanya saja terjebak lampu merah.
Mega tampak berpikir. Ia lalu membuka tasnya, mengambil jam dinding baru itu. Dengan spidol di kotak pensilnya, ia mencorat-coret permukaan kaca di jam itu. Ia juga mengubah waktu di jam itu. Setelah itu, ia menjatuhkannya di pinggir jalan.
Tapi belum sempat Mega mengayuh sepedanya lagi, mobil sedan itu menghadangnya. Si cungkring keluar dari mobil itu dan tanpa bicara, menarik lengan Mega hingga sepedanya terjatuh.
“Apaan sih? Lepasin!” kata Mega sambil melawan tarikan tangan pria asing itu. Namun apa daya. Berapa kali pun Mega berteriak dan berusaha melepaskan tangannya, kekuatannya masih kalah jauh dengan pria itu. Orang-orang di sekitar Mega pun terlihat acuh dan bahkan cenderung menghindar.
Dengan mudah, Mega dimasukkan dan diikat di dalam mobil, lalu dibawa lari.
***
Erwin bersepeda dengan cepat menuju sekolah. Ia tak mau terlambat dan dikenai denda oleh Mega. Tapi pikiran Erwin justru tak fokus di sana, melainkan pada Kiran. Ia rindu dengan Kiran. Di tengah jalan, ia berbicara sendiri dengan sok puitis.
“Wahai mentari, sedang apakah dia di sana? Oh mega-mega yang menggantung di langit, kirimkan pesan rinduku padanya…”
Erwin menengadah ke langit. Namun, tiada awan yang menggantung.
“Tiada mega di langit? Apakah ini pertanda, bahwa pesan rinduku takkan sampai?” gumam Erwin. Si pendiam nan melankolis itu tak akan gila begini jika bukan karena Kiran.
Sedang enak-enaknya berbicara sendiri, Erwin dikejutkan oleh sepeda Mega di pinggir jalan. Sepeda itu tergeletak begitu saja, tidak terparkir dengan baik. Erwin kontan mengerem dan memeriksa sepeda Mega. Dan memang benar. Di badan sepeda itu tertempel dengan stiker sebuah nama: Megananda Indri.
“Lho, kenapa sepeda Mega ada di sini?” gumam Erwin heran. Ia pun menduga-duga. “Mungkin waktu bersepeda, ayahnya menghampiri naik mobil. Ia lalu diantar ayahnya ke sekolah. Tapi kalau begitu, sepedanya tidak akan dibuang seperti ini kan? Ah, dia kan kaya. Dibuang pun, bisa beli lagi. Atau jangan-jangan sepedanya dicuri? Eh, bukan. Mega diculik! Hmm… daripada bingung, lebih baik aku telepon seseorang yang sedang di sekolah. Mungkin Mega justru sudah di kelas. Ya, aku harus telepon Tofan.”
Erwin jadi panik. Ia mengambil ponsel di saku celananya, lalu menghubungi Tofan. Tak lama, terdengar suara Tofan di ponsel.
“Halo. Ada apa, Win?”
“Fan, Apa Mega sudah datang?” tanya Erwin.
“Mega belum datang sampai sekarang. Gue juga bingung. Dia biasanya kan yang paling disiplin. Kalau dia nggak masuk, harusnya ada surat izin kan? Tapi di sini nggak ada surat izin apa-apa,” jawab Tofan.
“Gawat,” kata Erwin tambah panik. “Fan, apa kamu bisa menghampiri aku sekarang? Aku sedang di sebelah utara perempatan dekat rumah sakit. Serius, ini penting. Mungkin Mega diculik.”
“Oke, Gan. Gue akan ke sana sekarang,” sahut Tofan tanpa pikir panjang. Ia kemudian mengakhiri panggilan dan segera ke tempat parkir. Ia mengambil sepeda lalu keluar sekolah demi menghampiri Erwin.
Sementara murid lain buru-buru masuk sekolah agar tak terlambat upacara, Tofan justru keluar sekolah. Pak Satpam sampai-sampai heran dan berseru: “Woy, mau ke mana kamu?!” Namun Tofan menghiraukan seruan itu. Ia segera pergi menghampiri Erwin.
Tofan dari dulu memang begitu. Ia selalu siap membantu jika dibutuhkan. Mungkin gara-gara terinspirasi film atau game karena ia selalu membayangkan bahwa setiap ada orang minta bantuan berarti ada misi yang harus dia selesaikan. Seperti saat ini.
Tiba-tiba di tengah jalan, Tofan mendengar seseorang memanggil namanya.
“FAAAN! TOFAAN!”
Berlanjut ke Bab 4 (Akhir)...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar