Kamis, 26 Desember 2013

Museum Prasejarah Bagian 2

Saat itu, tak ada orang di luar museum sehingga berapa kali pun Surdi berteriak minta tolong, tak ada yang mendengar. Surdi dibawa ke gua persembunyian mereka. Di sana ada beberapa manusia purba yang tengah menunggu.
Mereka saling berkomunikasi dengan bahasa aneh seperti orang gagu. Surdi juga melihat bahwa di sana perempuan jauh lebih banyak daripada lelakinya. Sepertinya, manusia purba itu menculik Surdi untuk menambah jumlah kaum pria.
Surdi dimanjakan seperti seorang raja di sana. Ia diberi bermacam makanan dan buah-buahan. Ia juga diberi seutas kalung oleh pemimpin kelompok, seakan sebagai tanda bahwa Surdi sudah menjadi bagian dari mereka. Kalung itu berupa tali berbentuk lingkaran dengan hiasan-hiasan kecil dari tulang di sekelilingnya.
“Ternyata you semua baik, ya. Tadinya I kira, manusia macam you itu buas and nakutin, but I salah,” puji Surdi.
Setelah pemimpin kelompok mengalungkannya ke leher Surdi, para manusia purba bersorak. Mereka kemudian memasak daging kerbau dengan memanaskannya di atas api begitu saja. Si pemimpin kelompok memberikan bagian daging yang paling besar ke Surdi, tapi Surdi tentu saja tidak doyan makanan seperti itu.
“Sorry, I nggak doyan makanan you,” tolak Surdi sambil menggeleng.
Namun, si pemimpin kelompok bersikeras memberikannya. Ia menaruh daging kerbau yang baru dipanaskan itu di atas tangan Surdi, tapi Surdi tanpa sengaja menjatuhkannya karena panas. “Ouch, it’s hot!” Surdi mengaduh sambil mengelus telapak tangannya.
Tampaknya, perbuatan Surdi membuat marah si pemimpin kelompok. “GAAR!” katanya marah. Ia seakan memerintah anak buahnya untuk menangkap Surdi.
Surdi takut. Ia pun berlari keluar gua sekencangnya, tapi ada yang berhasil meraih tas selempang Surdi. Surdi tetap berlari sehingga tas itu robek. Cring, cring! Uang-uang koin dalam tas Surdi jatuh bergerincing.
“My money!” Surdi menengok merasa sayang dengan uangnya. Tapi Surdi tetap tak bisa mengambilnya lagi karena para manusia purba mengejarnya dengan marah.
Surdi terus berlari sampai tak ada suara dari belakang. Masih berlari, ia menoleh ke belakang. Memang tiada manusia purba yang terlihat, tapi ia menabrak sesuatu di depannya. Sesuatu yang ia tabrak berbulu halus dan berwarna kekuningan. Makhluk itu meneteskan air liur dari atas. Ketika Surdi mendongak ke atas, terlihatlah seekor macan purba raksasa!
“Don’t eat me! Don’t eat me!” teriak Surdi.
“Gan, lo ngomong apa?” tanya Tofan heran.
“Hah?” Surdi membuka matanya. Ternyata semua itu tadi hanya mimpi. Ia tertidur di tempat duduk di luar museum. Di hadapannya ada Paman Fumito dan teman-temannya.
Surdi lalu meraba kepalanya. Basah.
Kok basah? Batinnya penuh tanya. Apa air liur tiger in my dream itu nyata?
“Sori, Sur. Tadi gue siram pake air. Habisnya, lo nggak bangun-bangun sih, hehe…” sahut Tommy.
“Sorry, guys. I ketiduran soalnya last night begadang,” kata Surdi.
“Ya suda, sekarang mari kita pergi ke shitus penemuan foshilnya,” sambung Paman Fumito semangat.
Mereka bertujuh berjalan menuju situs penggalian. Perjalanan ke sana melalui jalan setapak dengan beberapa rumah dan pepohonan di tepinya. Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di situs penggalian. Tempat itu adalah tanah bekas galian yang besar. Di sana hanya terdapat tanah dan sedikit pepohonan. Tak heran jika mereka kepanasan terpapar sinar matahari.
Seorang pemandu menjelaskan tentang tempat itu. Paman Fumito mendengarkan serta mencatat hal yang penting di sebuah buku catatan kecil. Tak jarang, ia bertanya beberapa hal untuk penelitiannya.
Ai, Tofan, dan Kunti mendengarkan dan memperhatikan si pemandu, sedangkan Surdi dan Tommy bermain-main. Erwin dengan penasaran mencoba mencari-cari benda terpendam dalam tanah.
Erwin kemudian menemukan batu berwarna aneh. Sebagian besar berwarna abu-abu seperti batu biasa, namun di beberapa tempat berwarna kuning dan perak. Penasaran, Erwin mencoba mengikis batu itu dengan peralatan Tofan.
“Fan, apa kamu membawa tatah dan palu untuk mengikis batu ini?” tanya Erwin.
“Apa pun yang lo butuhin selalu ada di tas extra large gue,” sahut Tofan. Ia lalu mengeluarkan benda yang diminta Erwin. Teman-temannya memang selalu heran bagaimana dia membawa benda-benda yang begitu lengkap dalam tasnya.
Erwin mengikis batu itu dengan hati-hati. Beberapa lama kemudian, ia mendapatkan uang-uang logam.
“Teman-teman, lihat! Aku mendapat uang-uang logam,” kata Erwin pada teman-temannya.
“Uang logam? Emangnya pada zaman prasejarah udah dikenal uang logam? Mungkin ada orang iseng yang nggali uang itu,” sahut Tommy.
“Mungkin juga, sih,” sambung Tofan.
“Coba I lihat the money,” kata Surdi menghampiri teman-temannya. “Bentuk dan ukurannya kok kayak our money now, ya?”
“Benar juga. Berarti memang ada yang iseng menggali uang itu,” sahut Erwin. “Benar-benar kurang kerjaan.”
“Ngomong-ngomong, sejak kapan lo pake kalung, Sur?” tanya Tofan.
“Kalung?” Surdi meraba lehernya. Ia memakai kalung dengan hiasan dari tulang, persis seperti yang ada di mimpinya. “Jangan-jangan…” Surdi kembali melihat uang yang ditemukan Erwin dan menghitungnya. Ia juga memeriksa tasnya. Uang logamnya hilang dan jumlahnya sama dengan yang ditemukan Erwin.
“Kalung and the money… how can?” Surdi menggumam penuh tanya. Ia sendiri tak tahu bagaimana ini terjadi. Ia benar-benar bingung dan memikirkan mimpinya.
Setelah dari situs, mereka bertujuh pulang dan Surdi masih memikirkan mimpinya. Sampai akhirnya, Surdi menganggap manusia prasejarah itu baik hati. Mereka tidak buas, hanya saja berbeda cara dan budaya. Dan gara-gara kalung berhiaskan tulang itu, Surdi tak takut lagi dengan tulang dan tengkorak. Ia kini menganggap tulang dan tengkorak hanyalah benda mati. Untuk apa ia harus takut?
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar