Sesampainya di mall, Tofan dan
Maya pun berjalan-jalan. Ai, Tommy, Surdi, dan Erwin yang kurang kerjaan
mengawasi mereka dari belakang.
“Kita mau ke mana?” tanya Tofan.
“Jalan-jalan dulu aja, yuk,” ajak
Maya.
Mereka berdua berjalan-jalan tak
tentu arah. Ketika Maya melihat deretan busana di sebuah toko, ia seketika
menarik tangan Tofan mengajaknya masuk ke sana. Tofan yang ditarik tangannya
merasa gugup dan salah tingkah. Jarang-jarang ada cewek mau berpegangan
dengannya.
Maya dengan asyik melihat-lihat
deretan baju dan celana. Ia memilih-milih pakaian yang pas untuknya. Tofan yang
melihat itu sampai merasa bosan, lalu duduk di atas sebuah kursi plastik.
“Fan, yang ini cocok buat aku,
nggak?” tanya Maya sambil menunjuk sebuah kaos.
“Hah… yang itu? Iya, cocok kok,”
sahut Tofan sekenanya.
“Kalau yang ini?” tanya Maya lagi
menunjuk sebuah celana panjang.
“Wah… cocok banget,” sahut Tofan
lagi. Sebenarnya ia tak begitu paham soal cocok atau tidak cocok dalam
berpakaian. Baginya, semua pakaian hampir sama, hanya warna dan harga yang
membedakan.
“Beneran? Aku juga suka, sih,”
sambung Maya. Ia pun melihat label harganya. “Mm… tapi harganya segini. Uangku
cukup apa nggak, ya?”
Maya mengambil dompet di tas
kecilnya. Dompet tebal Maya berisi beberapa lembar uang berwarna biru dan
merah. Namun, Maya berkata, “Wah, masih nggak cukup. Gimana, nih? Padahal udah
cocok banget.”
Maya seakan memberi kode pada
Tofan. Tofan di sebelahnya pun bertanya, “Emang harganya berapa?”
Maya menunjukkan label harganya
dan mata Tofan langsung membelalak. Yang bener aja…, batinnya. Ia sebenarnya
ingin membelikan Maya agar membuatnya senang, tapi ia tak membawa uang banyak.
“Kamu pasti udah punya banyak
celana kan? Mending kita beli yang kita butuhin, bukan yang kita pingin,” Tofan
ngeles karena tak punya uang.
“Oh, begitu. Emangnya yang kita
butuhin apa?” tanya Maya.
“Kalo aku sih, butuh makanan,”
jawab Tofan.
“Ya udah, ayo beli makan.”
Tofan dan Maya pun mencari makan
di mall itu. Ketika melewati restoran fast-food yang terkenal mahal,
Maya bingung. Dia mengira akan makan di sana.
“Lho, nggak makan di sana?” tanya
Maya sambil menunjuk restoran itu.
“Nggak ah, nggak suka. Fast-food
nggak baik buat kesehatan,” sahut Tofan sok-sokan.
Tofan membawa Maya ke Indoresto,
restoran langganan The Rangers. Selain itu, di sini harganya terjangkau dan
makanannya 100% Indonesia.
“Ayo, masuk. Kita makan di sini,
May,” ajak Tofan.
“Indoresto?” Maya masuk, lalu
duduk satu meja dengan Tofan. Ketika pelayan memberikan menu, Maya heran karena
isinya hanya makanan Indonesia. “Kenapa nggak ada makanan luar negeri?”
“Namanya juga Indoresto, ya dari
Indonesia. Lagipula dari hal kecil ini, kita bisa belajar mencintai produk
negeri sendiri,” sahut Tofan.
Maya sedikit cemberut, tapi tetap
makan dengan Tofan. Setelah selesai makan, mereka berdua kembali
berjalan-jalan.
“Sekarang kita ke mana?” tanya
Maya.
“Kita nyari hiburan,” jawab Tofan.
“Hiburan apa? Nonton di bioskop?”
“Aku nggak suka nonton film.
Soalnya kita cuma sebagai penonton, bukan pelaku,” jawab Tofan lagi.
“Terus kita ke mana?” tanya Maya
lagi.
Tofan menunjuk suatu tempat
gemerlapan yang bersuara ramai. Tempat itu adalah sebuah zona permainan. Maya
terkejut sambil geleng-geleng kepala. Ia baru tahu ada cowok bukannya mengajak
cewek ke bioskop, justru ke zona permainan.
Tofan menukarkan uangnya menjadi
koin-koin permainan itu, lalu mulai asyik bermain. Ia mengajak Maya untuk ikut,
tapi Maya menolak. Maya berkata akan menunggu di sebuah kios minuman.
Namun, beberapa menit menunggu di
kios minuman, Maya berjalan pergi. Ai dan Ranger lain yang mengawasinya jadi
heran. Mereka pun membuntuti Maya, sedangkan Tofan masih bermain di sana.
Sepanjang perjalanan, Maya membuka sebuah dompet dari sakunya dan menghitung
uangnya.
“Yah… cuma sedikit. Dasar, nggak
berguna,” gumam Maya sambil terus berjalan.
Mendengar itu, Ai dan Ranger lain
jadi curiga. Ditambah lagi, dompet yang Maya bawa mirip dengan dompet Tofan.
“Cepat, coba telepon Tofan.
Mungkin itu dompetnya,” suruh Erwin.
Surdi pun menelepon Tofan. Tofan
yang sedang asyik bermain, terkejut mendengar ponselnya berbunyi.
“Fan, dompet you masih?” tanya
Surdi lewat telepon.
“Maksud lo?”
“Coba periksa dompet you,” sahut
Surdi.
Tofan memeriksa dompet di sakunya.
“Eh, dompet gue nggak ada.”
“Cepetan you ke sini. I and
friends ada di depan book store,” sahut Surdi lagi.
“Bentar, tanggung nih game-nya.”
“You mau dompet you balik apa
nggak, sih?” tanya Surdi gemas. Ia lalu mematikan teleponnya.
“Eh, tunggu, Sur. Kalau kita
menunggu di sini, kita bisa kehilangan jejak Maya,” kata Erwin.
“Gue punya solusinya,” sahut
Tommy. “Lo sama Surdi nunggu di sini, sementara gue sama Ai-chan mbuntutin
Maya. Kalo udah ada Tofan, hubungi gue.”
Tommy cari-cari kesempatan, batin
Surdi dan Erwin. Namun, mereka tetap menuruti usul Tommy. Tommy dan Ai pun
membuntuti langkah Maya.
Di tengah perjalanan, Maya
terlihat menelepon seseorang, tapi suaranya tak terdengar karena jaraknya tak
cukup dekat dan mall sedang ramai. Kemudian setelah ia mengambil uang dari
dompet itu, Maya membuang dompetnya. Ai dan Tommy yang melihat itu langsung
menghampiri tempat sampah dan memeriksa dompetnya.
“Iya, bener. Ini dompet Tofan,”
kata Tommy melihat foto Tofan di dalamnya.
Berlanjut ke Bagian 3...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar