“T
|
EMAN-TEMAN, kalian ada acara gak besok Minggu?” tanya Ai pada
Kunti, Tommy, dan Erwin di kelas.
“Kalo gue sih, nggak ada,” sahut
Tommy.
“Gue juga nggak ada,” tambah
Kunti. Erwin pun ikut menggeleng.
“Paman saya mau ke Indonesia, lho.
Dia mau neliti situs prasejarah sambil ngunjungin museum prasejarah di
Sangiran, Solo. Kalau kalian mau ikut, bisa kok, soalnya paman saya bawa mobil
cukup besar,” kata Ai.
“Pas buat berapa orang?” tanya
Kunti.
“Isinya bisa memuat 7 sampai 8
orang,” jawab Ai.
“Berarti kalo kita ngajak The
Rangers boleh dong?” tanya Tommy memastikan.
“Boleh kok. Saya dan paman pasti
senang,” sahut Ai lagi. “Kalau mau ikut, hari Minggu jam 6 kumpul di rumah
saya, ya. Paman saya gak suka kalau siang-siang.”
***
Minggu paginya, Surdi dan Erwin
datang paling terlambat di rumah Ai. Mereka berdua berboncengan naik motor dan
baru sampai pada pukul setengah 7.
“I’m sorry, Ai. Last night, I
begadang lihat music concert,” kata Surdi pada Ai.
“Iya, gak pa-pa kok,” sahut Ai.
“Sebelum kita berangkat, saya mau ngenalin paman saya. Dia dari Jepang dan
belum terlalu bisa bahasa Indonesia. Namanya Paman Fumito-san.”
Terlihat seorang pria berkulit
kuning dan berambut hitam. Matanya sipit seperti orang Jepang dan wajahnya
mirip dengan Ai. Umurnya sekitar 24 atau 25 tahun. Dia menganggukkan kepala,
lalu berkata dengan semangat, “Selamat pagi! Nama saya Sakimi Fumito. Mari kita
berangkat!”
Mereka pun masuk ke mobil. Tofan
duduk di depan, bersama Paman Fumito untuk memandu jalan. Ai dan Kunti duduk di
tengah, sedangkan Tommy, Erwin, dan Surdi duduk di belakang.
Sepanjang perjalanan, Tofan
terlihat memandu jalan Paman Fumito. Tommy pun berceletuk, “Tofan emang pernah
ke museum itu, ya?”
“Mungkin pernah,” jawab Erwin
singkat.
“Eh guys, sebenarnya we mau ke
museum apa, sih?” tanya Surdi.
“Jadi lo ikut, tapi sebenarnya
nggak tahu mau ke mana?” Kunti yang mendengarnya sampai keheranan.
“Yeah, I cuma denger ke museum. I
orangnya santai, nggak ambil pusing,” sahut Surdi.
“Kita mau pergi ke museum
prasejarah, sama situs tempat menggalinya,” sambung Kunti.
“Hah? Prasejarah?” Surdi bertanya
lagi sambil melotot.
“Iya, Surdi,” jawab Kunti.
Surdi terkejut. Meski ia belum
pernah pergi ke museum prasejarah, ia tahu kalau museum itu berisi
tulang-tulang, tengkorak, dan makhluk-makhluk prasejarah tiruan dari lilin. Ia
jadi takut. Kalau masuk lab biologi saja, ia sering takut-takut jika berdekatan
dengan kerangka manusia tiruan, apalagi jika masuk ke tempat yang penuh dengan
tulang dan makhluk-makhluk aneh. Ia takut jika semua itu tiba-tiba
bergerak-gerak sendiri. Ih, sereem…
Daripada kelihatan takut, Surdi
memilih menjaga image dengan diam seribu bahasa. Dalam perjalanan, ia sama
sekali tak tidur memikirkan museum itu, padahal ia begadang tadi malam.
Beberapa jam kemudian, mobil itu
tiba di museum. Paman Fumito dan anak-anak turun dari mobil.
“Paman akan masuk ke museum.
Kalian bole berpencar dan bermain, tapi tolong saling munghubungi. Paman akan
kashi nomor ponsel Paman,” kata Paman Fumito dengan logat Jepang yang kental.
Setelah mereka diberi nomor ponsel
Paman Fumito, mereka pun masuk ke dalam museum. Ternyata benar yang dibayangkan
Surdi, museum itu berisi makhluk-makhluk aneh dari lilin yang dipajang, juga
ada macam-macam tulang belulang. Meski beberapa ditaruh di dalam kotak kaca,
Surdi tetap takut-takut untuk mendekatinya. Melihat ekspresi Surdi, Tommy
sampai heran.
“Lo kenapa, Sur? Jangan-jangan lo
takut, ya?” tanya Tommy sambil cengengesan.
“It’s impossible. I’m calon
guitarist band papan atas, you know?” sahut Surdi sok-sokan.
“Emang ada hubungannya takut sama
jadi gitaris?” tanya Tommy lagi.
“Umm… Kayaknya sih, nggak ada.”
Sepanjang perjalanan di museum,
Surdi tegang. Baginya, ini seperti naik wahana rumah hantu. Namun, dia jaga
image karena banyak orang yang bersikap biasa saja. Tangannya menjadi dingin
dan dia berkeringat.
Erwin memperhatikan Surdi dengan
penuh tanda tanya. “Sur, kamu kenapa?” tanyanya.
“I… I lagi…” Surdi berkata
terbata-bata.
“Iya, nih. Lo kenapa, Sur? Badan
lo keringetan, tangan lo dingin,” sambung Tofan mencoba memegang tangan Surdi.
“Lo sakit?”
Sementara Tommy menahan tawanya,
Surdi masih mencoba untuk jaga image. “I lagi… I lagi kebelet to the toilet,
nih. Udah I tahan dari tadi, makanya begini.”
“Oh, kenapa nggak bilang dari
tadi? Toilet di sebelah sana,” sahut Tofan menunjukkan arah ke toilet.
Surdi pun kabur. Setelah
teman-temannya tak melihat, ia lari mencari jalan keluar. Beruntung, ia segera
menemukannya. Di luar, ia mencari tempat untuk duduk dan bersandar dengan
santai. Tas hitam kecil yang dari tadi ia bawa masih terselempangkan di
pinggangnya.
Surdi mengatur nafasnya di sana.
Ia mulai rileks. Ia tak mau masuk ke museum itu lagi. Meski teman-temannya
bingung mencarinya, ia tak peduli. Ia hanya ingin keluar dari tempat
“menakutkan” itu.
Surdi kemudian mendengar suara
langkah kaki beberapa orang. Ia menengok ke sumber suara dan terlihatlah
beberapa manusia prasejarah! Manusia-manusia itu berambut lebat berwarna
cokelat kehitaman. Mukanya mirip seperti tiruan manusia purba dalam museum.
Mereka tidak berpakaian dan beberapa membawa tombak dan kapak dari batu.
Surdi tak paham dengan apa yang
terjadi dan berusaha lari. Ia kira manusia purba itu sudah punah. Namun,
manusia purba itu seakan tertarik dengan Surdi. Salah seorang dari mereka
–sepertinya pemimpinnya– menangkap dan menarik tangan Surdi, berusaha
menculiknya. Surdi ketakutan sambil mencoba melepas genggaman tangannya, tapi
genggaman itu sangat kuat sehingga Surdi tak bisa berbuat banyak.
Saat itu, tak ada orang di luar
museum sehingga berapa kali pun Surdi berteriak minta tolong, tak ada yang
mendengar. Surdi dibawa ke gua persembunyian mereka. Di sana ada beberapa
manusia purba yang tengah menunggu.
Berlanjut ke Bagian 2...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar