Minggu, 22 Desember 2013

Museum Prasejarah Bagian 1

“T
EMAN-TEMAN, kalian ada acara gak besok Minggu?” tanya Ai pada Kunti, Tommy, dan Erwin di kelas.
“Kalo gue sih, nggak ada,” sahut Tommy.
“Gue juga nggak ada,” tambah Kunti. Erwin pun ikut menggeleng.
“Paman saya mau ke Indonesia, lho. Dia mau neliti situs prasejarah sambil ngunjungin museum prasejarah di Sangiran, Solo. Kalau kalian mau ikut, bisa kok, soalnya paman saya bawa mobil cukup besar,” kata Ai.
“Pas buat berapa orang?” tanya Kunti.
“Isinya bisa memuat 7 sampai 8 orang,” jawab Ai.
“Berarti kalo kita ngajak The Rangers boleh dong?” tanya Tommy memastikan.
“Boleh kok. Saya dan paman pasti senang,” sahut Ai lagi. “Kalau mau ikut, hari Minggu jam 6 kumpul di rumah saya, ya. Paman saya gak suka kalau siang-siang.”
***
Minggu paginya, Surdi dan Erwin datang paling terlambat di rumah Ai. Mereka berdua berboncengan naik motor dan baru sampai pada pukul setengah 7.
“I’m sorry, Ai. Last night, I begadang lihat music concert,” kata Surdi pada Ai.
“Iya, gak pa-pa kok,” sahut Ai. “Sebelum kita berangkat, saya mau ngenalin paman saya. Dia dari Jepang dan belum terlalu bisa bahasa Indonesia. Namanya Paman Fumito-san.”
Terlihat seorang pria berkulit kuning dan berambut hitam. Matanya sipit seperti orang Jepang dan wajahnya mirip dengan Ai. Umurnya sekitar 24 atau 25 tahun. Dia menganggukkan kepala, lalu berkata dengan semangat, “Selamat pagi! Nama saya Sakimi Fumito. Mari kita berangkat!”
Mereka pun masuk ke mobil. Tofan duduk di depan, bersama Paman Fumito untuk memandu jalan. Ai dan Kunti duduk di tengah, sedangkan Tommy, Erwin, dan Surdi duduk di belakang.
Sepanjang perjalanan, Tofan terlihat memandu jalan Paman Fumito. Tommy pun berceletuk, “Tofan emang pernah ke museum itu, ya?”
“Mungkin pernah,” jawab Erwin singkat.
“Eh guys, sebenarnya we mau ke museum apa, sih?” tanya Surdi.
“Jadi lo ikut, tapi sebenarnya nggak tahu mau ke mana?” Kunti yang mendengarnya sampai keheranan.
“Yeah, I cuma denger ke museum. I orangnya santai, nggak ambil pusing,” sahut Surdi.
“Kita mau pergi ke museum prasejarah, sama situs tempat menggalinya,” sambung Kunti.
“Hah? Prasejarah?” Surdi bertanya lagi sambil melotot.
“Iya, Surdi,” jawab Kunti.
Surdi terkejut. Meski ia belum pernah pergi ke museum prasejarah, ia tahu kalau museum itu berisi tulang-tulang, tengkorak, dan makhluk-makhluk prasejarah tiruan dari lilin. Ia jadi takut. Kalau masuk lab biologi saja, ia sering takut-takut jika berdekatan dengan kerangka manusia tiruan, apalagi jika masuk ke tempat yang penuh dengan tulang dan makhluk-makhluk aneh. Ia takut jika semua itu tiba-tiba bergerak-gerak sendiri. Ih, sereem…
Daripada kelihatan takut, Surdi memilih menjaga image dengan diam seribu bahasa. Dalam perjalanan, ia sama sekali tak tidur memikirkan museum itu, padahal ia begadang tadi malam.
Beberapa jam kemudian, mobil itu tiba di museum. Paman Fumito dan anak-anak turun dari mobil.
“Paman akan masuk ke museum. Kalian bole berpencar dan bermain, tapi tolong saling munghubungi. Paman akan kashi nomor ponsel Paman,” kata Paman Fumito dengan logat Jepang yang kental.
Setelah mereka diberi nomor ponsel Paman Fumito, mereka pun masuk ke dalam museum. Ternyata benar yang dibayangkan Surdi, museum itu berisi makhluk-makhluk aneh dari lilin yang dipajang, juga ada macam-macam tulang belulang. Meski beberapa ditaruh di dalam kotak kaca, Surdi tetap takut-takut untuk mendekatinya. Melihat ekspresi Surdi, Tommy sampai heran.
“Lo kenapa, Sur? Jangan-jangan lo takut, ya?” tanya Tommy sambil cengengesan.
“It’s impossible. I’m calon guitarist band papan atas, you know?” sahut Surdi sok-sokan.
“Emang ada hubungannya takut sama jadi gitaris?” tanya Tommy lagi.
“Umm… Kayaknya sih, nggak ada.”
Sepanjang perjalanan di museum, Surdi tegang. Baginya, ini seperti naik wahana rumah hantu. Namun, dia jaga image karena banyak orang yang bersikap biasa saja. Tangannya menjadi dingin dan dia berkeringat.
Erwin memperhatikan Surdi dengan penuh tanda tanya. “Sur, kamu kenapa?” tanyanya.
“I… I lagi…” Surdi berkata terbata-bata.
“Iya, nih. Lo kenapa, Sur? Badan lo keringetan, tangan lo dingin,” sambung Tofan mencoba memegang tangan Surdi. “Lo sakit?”
Sementara Tommy menahan tawanya, Surdi masih mencoba untuk jaga image. “I lagi… I lagi kebelet to the toilet, nih. Udah I tahan dari tadi, makanya begini.”
“Oh, kenapa nggak bilang dari tadi? Toilet di sebelah sana,” sahut Tofan menunjukkan arah ke toilet.
Surdi pun kabur. Setelah teman-temannya tak melihat, ia lari mencari jalan keluar. Beruntung, ia segera menemukannya. Di luar, ia mencari tempat untuk duduk dan bersandar dengan santai. Tas hitam kecil yang dari tadi ia bawa masih terselempangkan di pinggangnya.
Surdi mengatur nafasnya di sana. Ia mulai rileks. Ia tak mau masuk ke museum itu lagi. Meski teman-temannya bingung mencarinya, ia tak peduli. Ia hanya ingin keluar dari tempat “menakutkan” itu.
Surdi kemudian mendengar suara langkah kaki beberapa orang. Ia menengok ke sumber suara dan terlihatlah beberapa manusia prasejarah! Manusia-manusia itu berambut lebat berwarna cokelat kehitaman. Mukanya mirip seperti tiruan manusia purba dalam museum. Mereka tidak berpakaian dan beberapa membawa tombak dan kapak dari batu.
Surdi tak paham dengan apa yang terjadi dan berusaha lari. Ia kira manusia purba itu sudah punah. Namun, manusia purba itu seakan tertarik dengan Surdi. Salah seorang dari mereka –sepertinya pemimpinnya– menangkap dan menarik tangan Surdi, berusaha menculiknya. Surdi ketakutan sambil mencoba melepas genggaman tangannya, tapi genggaman itu sangat kuat sehingga Surdi tak bisa berbuat banyak.
Saat itu, tak ada orang di luar museum sehingga berapa kali pun Surdi berteriak minta tolong, tak ada yang mendengar. Surdi dibawa ke gua persembunyian mereka. Di sana ada beberapa manusia purba yang tengah menunggu.
Berlanjut ke Bagian 2...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar