Kamis, 02 Januari 2014

Cita-cita Bagian 1

R
AITA sedang menonton televisi malam itu. Ia duduk di sofa dan dengan penuh konsentrasi melihat film kartun serial. Baginya, itu penting sebagai sumber inspirasi tulisan-tulisannya. Namun, sedang asyik-asyiknya menonton, televisi itu tiba-tiba mati. Raita menoleh dan melihat ayahnya membawa remote.
“Kok dimatiin? Besok nggak ada pe-er, Yah,” kata Raita.
“Besok sekolahmu ngadain seleksi olimpiade, kan?” sahut sosok berkumis tipis. “Ayo, belajar. Kamu harus lolos seleksi, Raita. Biar kamu bisa jadi dokter, nerusin kerjaan Ayah.”
“Tapi, Yah, aku ingin jadi…” Raita tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Jadi penulis? Ayah udah bosan ndengernya,” sahut ayahnya lagi. “Kamu itu dibilangin selalu membantah. Kalau kamu anak Ayah, harusnya kamu nurutin apa kata Ayah.”
Raita hanya menunduk dan mendengarkan perkataan ayahnya.
“Raita, kamu itu anak Ayah satu-satunya. Ayah pingin kamu berprestasi di sekolah. Semua orang bisa menulis, tapi nggak semua bisa ikut olimpiade,” ceramah Ayah Raita. “Kamu anak yang pinter, Raita. Manfaatin kepintaranmu dengan baik.”
“Yah, cita-cita itu nggak bisa dipaksa,” Raita membantah dengan halus.
“Cita-cita itu hanya angan-angan kosong! Pokoknya, kamu harus lolos seleksi itu,” Ayah Raita sedikit membentak, lalu pergi.
Raita pun masuk ke kamar. Ia melamun. Ayah Raita dekat dengan beberapa guru di sekolah sehingga ia selalu tahu kegiatan sekolah Raita. Raita hanya tak paham. Ia harus belajar dalam keterpaksaan dan cita-citanya terhalang oleh sang ayah. Andaikan ia bisa memberitahu ayahnya…
Raita labil. Di samping siklus bulanan yang melabilkan emosinya, ia juga harus dihadapkan dengan hal ini. Ia tak berani membangkang ayahnya. Baginya, itu hanya menambah masalah. Jika ayahnya sudah bilang “pokoknya”, berarti Raita harus menuruti. Namun, Raita pesimis bisa lolos. Ia sudah mencoba belajar tapi hanya sebagian yang masuk ke otak.
Di tengah kelabilannya itu, Raita menemukan sebuah celah. “Khukhukhu…” tawanya.
Di lain tempat, terlihat Erwin sedang belajar Biologi. Hal itu ia lakukan untuk seleksi olimpiade besok. Erwin memang bercita-cita memenangkan olimpiade. Meski dia ingin jadi detektif, ia pikir ilmu Biologi tetap ada gunanya kelak.
Belum sampai belajar 1 bab, ponsel Erwin bergetar. Ada SMS dari Raita. “Raita? Tidak seperti biasanya,” gumam Erwin.
Raita  : Win, lagi apa?
Erwin  : Belajar.
Raita : Oh, sori ganggu. Mau minta komentar aja soal cerita gue. Mau denger?
Erwin  : Maaf, aku hendak belajar.
Raita : Nggak pa-pa. Sebentar aja, ya. Ceritanya bagus, lho. Cerita serial. Judulnya “Cita-cita”.
Erwin : Maaf, ya. Ceritamu bisa kudengar lain kali, tapi seleksi olimpiade hanya ada besok.
Erwin kemudian melanjutkan belajarnya. Sedangkan, Raita di kamarnya tengah kesal. Ia gagal mengganggu saingan beratnya.
“Huh, gagal,” gumamnya. “Gue masuk ke rencana B.”
***
Keesokan harinya sepulang sekolah, Erwin pergi ke salah satu kelas untuk mengikuti seleksi olimpiade. Namun, di tengah jalan, seorang siswa yang tak ia kenal menghadang.
“Eh, lo Erwin, ya?” tanyanya. “Tadi gue dibilangin, katanya seleksi olimpiade Biologi diundur besok.”
“Diundur? Sungguh?” Erwin bertanya balik.
“Iya, gue disuruh ngomongin ke lo.”
Diomongi seperti itu, Erwin berbalik arah. Ia berpikir, anak tadi tak mungkin berbohong. Kemudian karena lapar ia membeli jajanan di koperasi siswa.
Di koperasi itu ia bertemu dengan Bu Astuti, guru Biologinya. Saat tengah membeli jajan, guru itu berkata pada Erwin. “Cepetan beli jajannya. Seleksi mau mulai.”
“Lho, katanya diundur, Bu?” sahut Erwin.
“Kata siapa?” Ayo, cepetan ke kelas,” perintah Bu Astuti.
Erwin pun menurut dan pergi ke kelas. “Jadi, tadi aku dibohongi? Untung saja aku bertemu Bu Astuti,” gumamnya.
Di kelas itu, Erwin melihat anak-anak sudah siap mengikuti seleksi. Erwin pun mengambil tempat duduk yang kosong, lalu menyiapkan alat tulis.
Dari bangku seberang, Raita memandang Erwin. Huh, rencana B gagal, batin Raita. Tapi, aku tetap punya rencana yang lain. Khukhukhu…
Anak-anak mengerjakan dengan serius. Raita pun begitu. Tapi bedanya, Raita serius mencari jawaban di buku rangkuman. Ia sudah mempersiapkan itu di laci mejanya. Pengawasan Bu Astuti memang tak terlalu ketat sehingga Raita dapat melakukannya dengan lancar.
Hari demi hari berlalu dan tibalah pengumuman hasil seleksi olimpiade. Pengumuman itu diberitahukan melalui speaker sekolah. “… Olimpiade Biologi yang mengikuti adalah: Shara Aditya, Rian Wibowo, dan… Raita Febiola.”
“Raita?” gumam Erwin. “Yaah, aku tidak lolos.”
Berlanjut ke Bagian 2...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar