Minggu, 08 Desember 2013

Dunia Maya Bagian 1

T
OFAN sedang facebook-an di depan komputer rumahnya. Dari balik kacamata, matanya terfokus pada layar komputer. Ia sedang bermain game strategi yang adiktif. Tring! Tiba-tiba ada seseorang yang mengajaknya chattingan. Tertulis di sana, namanya Maya Ditya.
Maya   : Hai, cowok.

Siapa ini? Batin Tofan. Karena alasan game, Tofan memang selalu mengonfirmasi teman facebook-nya tanpa peduli kenal atau tidak. Maka tak heran jika ia tak mengenal Maya. Ia pun mencoba membalas chat Maya.
Tofan  : Siapa, ya?
Maya   : Kenalin, aku Maya. Nama kamu Tofan, ya?
Tofan  : Iya, kan udah kelihatan lewat nama akunnya.
Maya   : Aku anak SMA Bintang. Kalau kamu?
Tofan  : SMA Kusuma.

Meski tak kenal, Tofan tetap membalas chattingan dari Maya. Jarang-jarang dia diajak chat oleh cewek. Dia ingin mendekati cewek itu. “Tommy aja bisa pacaran, masa gue nggak?” begitu kata Tofan.
Hari demi hari berlalu. Tofan kini chattingan dengan Maya tiap hari. Tofan juga sering melihat-lihat profil Maya dan status-statusnya. Lama-lama Tofan diberi nomor HP Maya dan mereka saling SMS-an.
Maya   : Fan, kamu pingin lihat aku secara langsung, nggak?
Tofan  : Pingin dong. Kapan ada waktu?
Maya   : Malam Minggu ini free. Kamu bisa?
Tofan  : Bisa. Di mana, May?
Maya  : Pinginnya sih jalan-jalan di luar, misalnya di mall. Masalahnya, nggak ada kendaraan.
Tofan  : Mau gue anter?
Maya   : Beneran? Nggak pa-pa?
Tofan  : Nggak pa-pa. Besok malam Minggu jam berapa rencananya?
Maya   : Jam enam dateng ke rumah, ya? Kukasih alamatnya.

Keesokan harinya di sekolah, Tofan bercerita pada teman-temannya mengenai Maya.
“Gan, gue sekarang deket sama cewek, lho,” pamer Tofan.
“Cewek? Siapa?” sahut Tommy semangat. Ai di belakangnya langsung menghentakkan kaki dengan muka kesal.
Tommy menoleh, lalu berusaha merayu Ai. Sejak berpacaran dengan Ai, Tommy memang dijaga ketat kelakuan ganjennya. Jika dekat dengan gadis lain, cewek pencemburu itu langsung minta putus dengan Tommy. Yah, memang tak ada yang bilang kalau pacaran itu mudah.
Tofan memandang Tommy dan Ai dengan tatapan aneh. Tatapan itu seperti tatapan iri hati atau tak mau kalah. Surdi memandangnya heran, lalu bertanya, “Who is she, Fan?”
Tatapan aneh Tofan menghilang, kemudian ia menjawab. “Namanya Maya dan aku kenal dia dari dunia maya. Lucu, ya?”
Namun tak ada yang tertawa dengan gurauan garing Tofan. Memecah suasana, Erwin mencoba bertanya. “Bagaimana kamu mengenalnya? Kamu mengobrolinya atau justru sebaliknya?”
“Dia nge-chat gue pertama kali, kemudian kita berdua terus chattingan. Malam Minggu besok, rencananya gue akan ngeboncengin dia dan nemenin jalan-jalan ke mall,” sahut Tofan bangga.
“You butuh The Rangers, nggak?” tanya Surdi.
“Iya. Lo butuh kita, nggak? Buat persiapan atau misi-misi lain,” sambung Tommy yang sudah berhasil merayu Ai lagi.
“Mm… Boleh juga.”
***
Sabtu sorenya, sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah Tofan. Kemudian pintu mobil itu terbuka dan muncullah Erwin, Surdi, Tommy, dan Ai. Gara-gara tahu kalau Tommy hendak pergi ke mall, Ai memaksa menyarankan untuk naik mobil dengan supir pribadinya. Ia hanya tak ingin Tommy menggoda gadis-gadis lain.
Para Rangers ditambah Ai masuk ke rumah Tofan. Mereka lalu menyiapkan semua yang Tofan butuhkan. Ai membantu menata penampilan luar Tofan, sedangkan Surdi memberi motivasi dan menyemangatinya. Erwin membantu mengatur rencana dan Tommy membantu dengan doa.
Setelah semua siap, Tofan berangkat dengan vespanya dan yang lain membuntuti naik mobil. Tofan memang tak ingin sok-sokan dengan naik sepeda motor mahal atau semacamnya. Ia hanya ingin naik vespa karena itulah yang dimilikinya dan merupakan peninggalan dari ayahnya. Bagi Tofan, vespa itu lebih berharga dari kendaraan mana pun di dunia.
Beberapa menit kemudian, bocah-bocah SMA dari dalam mobil memandangi Tofan yang sedang celingukan. Tofan berada beberapa meter di depan mobil, sedang mencari alamat rumah yang tepat dengan bantuan secarik kertas di tangannya. Tak lama, ia pun menemukan rumah yang tepat.
“Besar banget,” katanya salut
Rumah itu berpagar besi, berhalaman luas, bergarasi, dan bertingkat dua. Rumahnya indah dengan dinding dan keramik putih. Halamannya pun asri dengan berbagai rerumputan dan tanaman. Melihat semua itu, Tofan merasa minder. Ia hanya mengendarai vespa dan mengenakan helm yang tak seberapa harganya. Pakaian dan jaket Manchester United yang ia kenakan pun menjadi terasa biasa.
Tofan menarik nafas dalam dan berusaha memberanikan diri menekan bel rumah. Kurang dari semenit kemudian, Maya datang dengan make-up cantiknya dan busananya yang kurang panjang. Ia membawa pula tas kecil –seperti yang untuk kondangan–  berwarna biru.
Melihat itu, Tofan menelan ludah, lalu bertanya, “Lo nggak kedinginan malem-malem? Pakai jaket, gih.”
“Nggak usah. Lo… eh, maksudnya, kamu naik apa?” sahut Maya.
“Itu.” Tofan menunjuk vespanya.
“Hahaha… Kamu bercanda kan?” tanya Maya lagi. “Pasti pakai mobil sedan yang di sana itu.” Maya menunjuk mobil sedan Ai.
“Enggak kok, beneran naik ini,” jawab Tofan.
Maya tak jadi tertawa. Ia diam sebentar, lalu kembali bicara, “Ya udah deh, nggak pa-pa kok.”
“Ngomong-ngomong… kamu cantik, deh,” gombal Tofan (berdasarkan anjuran Tommy).
“Hehe… Makasih.”
Sesampainya di mall, Tofan dan Maya pun berjalan-jalan. Ai, Tommy, Surdi, dan Erwin yang kurang kerjaan mengawasi mereka dari belakang.
Berlanjut ke Bagian 2...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar