T
|
OFAN sedang facebook-an di depan komputer rumahnya. Dari
balik kacamata, matanya terfokus pada layar komputer. Ia sedang bermain game
strategi yang adiktif. Tring! Tiba-tiba ada seseorang yang mengajaknya
chattingan. Tertulis di sana, namanya Maya Ditya.
Maya : Hai, cowok.
Siapa ini? Batin Tofan. Karena alasan game, Tofan memang selalu mengonfirmasi teman facebook-nya tanpa peduli kenal atau tidak. Maka tak heran jika ia tak mengenal Maya. Ia pun mencoba membalas chat Maya.
Tofan : Siapa, ya?
Maya : Kenalin, aku Maya. Nama
kamu Tofan, ya?
Tofan : Iya, kan udah kelihatan
lewat nama akunnya.
Maya : Aku anak SMA Bintang. Kalau
kamu?
Tofan : SMA Kusuma.
Meski tak kenal, Tofan tetap membalas chattingan dari Maya. Jarang-jarang dia diajak chat oleh cewek. Dia ingin mendekati cewek itu. “Tommy aja bisa pacaran, masa gue nggak?” begitu kata Tofan.
Hari demi hari berlalu. Tofan kini
chattingan dengan Maya tiap hari. Tofan juga sering melihat-lihat profil Maya
dan status-statusnya. Lama-lama Tofan diberi nomor HP Maya dan mereka saling
SMS-an.
Maya : Fan, kamu pingin lihat aku
secara langsung, nggak?
Tofan : Pingin dong. Kapan ada
waktu?
Maya : Malam Minggu ini free. Kamu
bisa?
Tofan : Bisa. Di mana, May?
Maya : Pinginnya sih jalan-jalan
di luar, misalnya di mall. Masalahnya, nggak ada kendaraan.
Tofan : Mau gue anter?
Maya : Beneran? Nggak pa-pa?
Tofan : Nggak pa-pa. Besok malam Minggu
jam berapa rencananya?
Maya : Jam enam dateng ke rumah,
ya? Kukasih alamatnya.
Keesokan harinya di sekolah, Tofan bercerita pada teman-temannya mengenai Maya.
“Gan, gue sekarang deket sama
cewek, lho,” pamer Tofan.
“Cewek? Siapa?” sahut Tommy
semangat. Ai di belakangnya langsung menghentakkan kaki dengan muka kesal.
Tommy menoleh, lalu berusaha
merayu Ai. Sejak berpacaran dengan Ai, Tommy memang dijaga ketat kelakuan
ganjennya. Jika dekat dengan gadis lain, cewek pencemburu itu langsung minta
putus dengan Tommy. Yah, memang tak ada yang bilang kalau pacaran itu mudah.
Tofan memandang Tommy dan Ai
dengan tatapan aneh. Tatapan itu seperti tatapan iri hati atau tak mau kalah.
Surdi memandangnya heran, lalu bertanya, “Who is she, Fan?”
Tatapan aneh Tofan menghilang,
kemudian ia menjawab. “Namanya Maya dan aku kenal dia dari dunia maya. Lucu,
ya?”
Namun tak ada yang tertawa dengan
gurauan garing Tofan. Memecah suasana, Erwin mencoba bertanya. “Bagaimana kamu
mengenalnya? Kamu mengobrolinya atau justru sebaliknya?”
“Dia nge-chat gue pertama kali,
kemudian kita berdua terus chattingan. Malam Minggu besok, rencananya gue akan
ngeboncengin dia dan nemenin jalan-jalan ke mall,” sahut Tofan bangga.
“You butuh The Rangers, nggak?”
tanya Surdi.
“Iya. Lo butuh kita, nggak? Buat
persiapan atau misi-misi lain,” sambung Tommy yang sudah berhasil merayu Ai
lagi.
“Mm… Boleh juga.”
***
Sabtu sorenya, sebuah mobil sedan
berhenti di depan rumah Tofan. Kemudian pintu mobil itu terbuka dan muncullah
Erwin, Surdi, Tommy, dan Ai. Gara-gara tahu kalau Tommy hendak pergi ke mall,
Ai memaksa menyarankan untuk naik mobil dengan supir pribadinya. Ia
hanya tak ingin Tommy menggoda gadis-gadis lain.
Para Rangers ditambah Ai masuk ke
rumah Tofan. Mereka lalu menyiapkan semua yang Tofan butuhkan. Ai membantu
menata penampilan luar Tofan, sedangkan Surdi memberi motivasi dan
menyemangatinya. Erwin membantu mengatur rencana dan Tommy membantu dengan doa.
Setelah semua siap, Tofan
berangkat dengan vespanya dan yang lain membuntuti naik mobil. Tofan memang tak
ingin sok-sokan dengan naik sepeda motor mahal atau semacamnya. Ia hanya ingin
naik vespa karena itulah yang dimilikinya dan merupakan peninggalan dari
ayahnya. Bagi Tofan, vespa itu lebih berharga dari kendaraan mana pun di dunia.
Beberapa menit kemudian,
bocah-bocah SMA dari dalam mobil memandangi Tofan yang sedang celingukan. Tofan
berada beberapa meter di depan mobil, sedang mencari alamat rumah yang tepat
dengan bantuan secarik kertas di tangannya. Tak lama, ia pun menemukan rumah
yang tepat.
“Besar banget,” katanya salut
Rumah itu berpagar besi,
berhalaman luas, bergarasi, dan bertingkat dua. Rumahnya indah dengan dinding dan
keramik putih. Halamannya pun asri dengan berbagai rerumputan dan tanaman.
Melihat semua itu, Tofan merasa minder. Ia hanya mengendarai vespa dan
mengenakan helm yang tak seberapa harganya. Pakaian dan jaket Manchester United
yang ia kenakan pun menjadi terasa biasa.
Tofan menarik nafas dalam dan
berusaha memberanikan diri menekan bel rumah. Kurang dari semenit kemudian,
Maya datang dengan make-up cantiknya dan busananya yang kurang panjang. Ia
membawa pula tas kecil –seperti yang untuk kondangan– berwarna biru.
Melihat itu, Tofan menelan ludah,
lalu bertanya, “Lo nggak kedinginan malem-malem? Pakai jaket, gih.”
“Nggak usah. Lo… eh, maksudnya,
kamu naik apa?” sahut Maya.
“Itu.” Tofan menunjuk vespanya.
“Hahaha… Kamu bercanda kan?” tanya
Maya lagi. “Pasti pakai mobil sedan yang di sana itu.” Maya menunjuk mobil
sedan Ai.
“Enggak kok, beneran naik ini,”
jawab Tofan.
Maya tak jadi tertawa. Ia diam
sebentar, lalu kembali bicara, “Ya udah deh, nggak pa-pa kok.”
“Ngomong-ngomong… kamu cantik,
deh,” gombal Tofan (berdasarkan anjuran Tommy).
“Hehe… Makasih.”
Sesampainya di mall, Tofan dan
Maya pun berjalan-jalan. Ai, Tommy, Surdi, dan Erwin yang kurang kerjaan mengawasi
mereka dari belakang.
Berlanjut ke Bagian 2...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar