Minggu, 20 Oktober 2013

Cita-cita Erwin Bagian 3

Namun Erwin kembali membungkuk-bungkuk mencari bom. Hingga akhirnya bom itu ditemukan di balik sebuah meja kosong, ditempelkan menggunakan lakban hitam.
“Teman-teman, tolong ke sini,” panggil Erwin.
Teman-teman Erwin menghampiri Erwin dengan heran. Kue ulangtahun Erwin ditinggal di atas meja.
“Tak usah banyak bertanya. Tolong balik meja ini,” perintah Erwin. “Fan, kamu bawa tas besarmu, bukan? Tolong pinjamkan gunting dan obeng,” pinta Erwin pada Tofan.
Tanpa banyak bertanya, mereka melakukan yang Erwin perintahkan. Dan mereka pun terkejut melihat ada bom di balik meja itu. Waktu yang tertera di bom itu kurang dari 3 menit. Menggunakan gunting dan obeng dari tas serba guna Tofan, Erwin melepaskan lakbannya, membongkar penutupnya, lalu mencoba memotong kabel berwarna merah. Namun tangannya bergetar dan berkeringat, ia tak sanggup melakukannya.
“Teman-teman, aku tak sanggup,” kata Erwin.
“Nggak ada waktu berkata seperti itu. Cepat potong kabel merahnya atau kita semua akan mati,” sahut Tofan memotivasi.
Erwin mencoba memotong kabel merahnya. Teman-temannya ikut dag-dig-dug dan berkeringat cemas. Tommy bahkan menutup telinganya. Dikira mercon kali ya, hehe… Tapi tak terjadi apa-apa dan timer bom itu berhenti. Mereka berhasil.
“Huft…” Erwin mengusap keringat di dahinya.
“Yes, we did it!” kata Surdi seperti Dora the Explorer.
Pengunjung yang lain, juga pegawai yang ada di sana sempat memandangi mereka tadi. Kemudian mereka bertepuk tangan bersama.
Beberapa polisi lalu masuk ke dalam restoran tersebut. Mereka juga berhasil menangkap Boy dan bosnya dengan memborgol mereka.
“Dasar bocah persetan!” umpat mereka.
Salah satu dari polisi tersebut, sepertinya ketuanya, maju dan berkata pada Erwin dan teman-temannya. “Terima kasih, ya. Kami sempat cemas kalau-kalau bom itu terlanjur meledak, tapi kalian menghentikannya. Kami salut pada keberanian kalian,” kata ketua polisi itu.
“Pak, ini sebenarnya aksi Erwin. Dia yang menjinakkan bomnya,” sahut teman-temannya.
“Bukan begitu. Tadi kalau Tommy tidak usil mengambil dompetku, aku juga pasti tak akan tahu,” elak Erwin.
“But, you berani, Win. You did it,” sambung Surdi.
“Hmm… Okelah kalau begitu,” sahut si kepala polisi. “Bolehkah kami meminta nomor ponsel salah satu anak? Kami akan menghubungi jika kami membutuhkan kesaksian atau keterangan.”
***
Ternyata pria yang dipanggil Boy itu adalah seorang bandit yang disewa untuk menanam bom. Namun ia masih penanam bom yang amatir sehingga upahnya pun tak banyak. Sedangkan bos gemuk bersuara cempreng itu adalah pemilik suatu restoran yang merupakan satu-satunya saingan Indoresto. Ia merencanakan peledakan restoran itu agar bisnis Indoresto jatuh dan semua pelanggan beralih ke restorannya. Tapi dengan ditangkapnya bos gemuk itu, yang jatuh justru bisnis restorannya sendiri.
Malamnya, Erwin dan teman-temannya makan gratis di Indoresto. Ini karena usaha bos gemuk saingannya digagalkan oleh Erwin. Teman-temannya juga membawakan sebuah kue ulangtahun lagi dengan lilin berangka 15.
Erwin pun meniup lilin itu sambil make a wish.
Semoga apa yang menjadi pekerjaanku kelak akan berguna bagi banyak orang, batinnya sambil meniup lilin.

Tapi kini Erwin tak iri lagi dengan Raita karena ia sudah punya cita-cita yang jelas. Ia ingin menjadi seorang detektif polisi.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar