Rabu, 23 Juli 2014

Bab 5: Life is a Movie (Awal)

“K
ALIAN mau apain gua sih?! Awas, ya, kalo macem-macem! Gini-gini gua jago bela diri, tauk!” Tampak Mega dengan tangan diikat dibawa ke bagian belakang restoran Sambal Setan. Ia berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang menangkapnya.
Salah satu dari dua orang yang mengawalnya tertawa. “Haha… Lo itu lucu, ya? Kalo lo jago bela diri, lo ga mungkin keiket kayak begini kan?”
“Cewek ini bukan jago bela diri, Bro, tapi bela sungkawa, kali. Haha…” Teman penculik yang gemuk ikut menyambung dengan lelucon garing.
“Huh, garing,” komentar Mega.
“Eeh, berani-beraninya ngomong gitu. Gue bilangin bos baru tau rasa lo!” sahut penculik yang cungkring.
Di bagian belakang restoran itu, mulanya tak ada yang aneh, hanya interior dan atmosfer yang berasa klasik nan angker. Namun, melihat beberapa orang yang lalu lalang, Mega merasakan sesuatu yang janggal.
Orang-orang yang lewat berkostum dan berdandan seperti hantu. Mereka melewati Mega dan para penculik begitu saja. Mereka tidak berusaha menolong atau berkata sepatah kata pun, seakan kejadian seperti ini sudah biasa. Bahkan, mereka sama sekali tidak memandang ke arah Mega.
Ini aneh, batin Mega. Apa yang terjadi dengan orang-orang itu? Rasanya kayak pikiran mereka dikendaliin. Oh, iya, dari dulu pelayan-pelayan itu…. Ah, jangan-jangan…!
Mega dibawa ke dalam sebuah ruangan. Ruangan itu berisi banyak lukisan yang terpampang di tembok. Juga terdapat rak buku di salah satu sisi ruangan. Di hadapan pintu masuk, terdapat sebuah meja dan kursi megah dengan jendela besar berbentuk klasik di belakangnya. Kursi itu membelakangi pintu masuk, menghadap ke jendela, dengan seseorang duduk di atasnya.
“Bos, sudah kami dapatkan anaknya,” kata salah satu penculik.
“Kerja bagus,” sahut seseorang di balik kursi. “Kalian berdua sekarang boleh keluar.”
“Baik, bos,” kata kedua penculik itu kompak seraya keluar dari ruangan itu.
Cklek! Begitu pintu ditutup dari luar, Mega langsung bertanya dengan keras. “Mau apa lu?”
Yang dipanggil bos itu tertawa dengan misterius. “Khukhukhu… Sudah banyak orang yang kuculik, tapi baru sekarang ada yang seberani kau. Kau memang aneh, tapi aku suka… khukhu…”
“Tunggu sebentar,” sahut Mega. “Maksud lu, lu nyulik orang-orang buat lu jadiin pelayan restoran?”
Orang itu kembali tertawa dengan lebih keras. “Khukhu… selain cantik, otakmu juga encer ternyata. Tapi semua itu nggak lagi berguna setelah kau kuhipnotis dan kujadikan pelayan!”
Sudah kuduga! Batin Mega. Pelayan-pelayan yang berkostum hantu itu dari awal memang aneh. Ekspresi mereka selalu terlihat datar dan tak pernah bicara. Namun Mega tak bisa lari lagi. Ia tak punya jalan keluar dan tangannya pun masih terikat.
“Tapi kenapa lu harus nyulik gua?” Mega memberanikan diri bertanya.
“Soalnya kau cocok untuk koleksi hantuku. Jujur saja, kau cantik. Sejak pertama melihatmu lewat CCTV, aku ingin menjadikanmu hantu suster ngesot!” jawab bos itu.
“Lu bener-bener sakit jiwa!” maki Mega.
Tiba-tiba bos itu beranjak dari kursi dan berbalik. Bos itu memakai jas hitam rapi dengan perut yang gemuk. Wajahnya penuh luka jahitan. Dahinya lebar mengkilat dan rambutnya penuh uban. Dan yang terlihat seram adalah matanya. Ia mengganti mata kirinya dengan batu permata berwarna merah.
“Tatap mataku!” perintah bos itu. Ia lalu mengeluarkan mantra. “Anak itik, kecebur di got. Gadis cantik, jadi suster ngesot!”
***
Sementara itu, keempat anak laki-laki itu tengah bersepeda menuju restoran Sambal Setan. Dari petunjuk yang mereka temukan, mungkin saja Mega diculik di sana. Namun semua itu masih “mungkin”. Itulah yang sedang dipikirkan oleh Erwin.
Sesampainya di restoran itu, semua masih terlihat biasa. Tak ada sesuatu yang janggal, sama seperti saat mereka ke tempat itu kemarin.
Mereka pun memarkirkan sepeda. Tapi melihat muka Erwin yang tampak memikirkan sesuatu, Surdi memanggilnya.
“Hei, Win,” katanya. “What’s wrong? We harusnya semangat buat nyelametin Mega from the devil of sambel.”
“Teman-teman, aku hanya berpikir,” kata Erwin pada yang lain. “Bagaimana kalau yang kita lakukan ini percuma? Maksudku mungkin saja Mega baik-baik saja dan semua yang kita lewati tadi hanya kebetulan. Mungkin kalau kata Surdi, ‘Life isn’t a movie’, hidup ini bukan seperti yang ada di film.”
“Nggak usah banyak mikir, Gan. Yang penting kita nyoba ngelakuin hal yang baik,” sahut Tofan.
“Betul kata Tofan, Win,” sambung Tommy. “Lagipula yang kita lakuin ini nggak percuma kok. Paling nggak kita jadi punya alasan buat bolos, hehe…”
“You salah, Win,” Surdi ikut menyambung. “I nggak pernah bilang kalau ‘life isn’t a movie’. Life… is… a movie… Kitalah tokoh utamanya. But, yang nentuin kelanjutan movie ini adalah we sendiri, entah we make it better or worse.”
“Mm… ya sudah, ayo kita selamatkan Mega sekarang,” sahut Erwin yang telah hilang pikiran buruknya. “Tapi bagaimana caranya?”
“Gue punya rencana, tapi kita butuh kerjasama tim. Jangan pikirkan tentang diri kalian sendiri, melainkan tentang kita dan misi kita ini,” kata Tofan sambil mengambil buku dan pulpen dari tas punggungnya.
Saat ia hendak menuliskan sesuatu di buku, Tommy tiba-tiba menghalanginya. “Tunggu, Fan,” katanya. “Demi kekompakan kita, tim kita perlu nama, hehe…”
Berlanjut ke Bab 5 (Tengah)...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar