“K
|
ALIAN mau apain gua sih?! Awas, ya, kalo macem-macem! Gini-gini
gua jago bela diri, tauk!” Tampak Mega dengan tangan diikat dibawa ke bagian
belakang restoran Sambal Setan. Ia berusaha melepaskan diri dari orang-orang
yang menangkapnya.
Salah satu dari dua orang yang
mengawalnya tertawa. “Haha… Lo itu lucu, ya? Kalo lo jago bela diri, lo ga
mungkin keiket kayak begini kan?”
“Cewek ini bukan jago bela diri,
Bro, tapi bela sungkawa, kali. Haha…” Teman penculik yang gemuk ikut menyambung
dengan lelucon garing.
“Huh, garing,” komentar Mega.
“Eeh, berani-beraninya ngomong
gitu. Gue bilangin bos baru tau rasa lo!” sahut penculik yang cungkring.
Di bagian belakang restoran itu,
mulanya tak ada yang aneh, hanya interior dan atmosfer yang berasa klasik nan
angker. Namun, melihat beberapa orang yang lalu lalang, Mega merasakan sesuatu
yang janggal.
Orang-orang yang lewat berkostum
dan berdandan seperti hantu. Mereka melewati Mega dan para penculik begitu saja.
Mereka tidak berusaha menolong atau berkata sepatah kata pun, seakan kejadian
seperti ini sudah biasa. Bahkan, mereka sama sekali tidak memandang ke arah
Mega.
Ini aneh, batin Mega. Apa yang
terjadi dengan orang-orang itu? Rasanya kayak pikiran mereka dikendaliin. Oh,
iya, dari dulu pelayan-pelayan itu…. Ah, jangan-jangan…!
Mega dibawa ke dalam sebuah
ruangan. Ruangan itu berisi banyak lukisan yang terpampang di tembok. Juga
terdapat rak buku di salah satu sisi ruangan. Di hadapan pintu masuk, terdapat
sebuah meja dan kursi megah dengan jendela besar berbentuk klasik di
belakangnya. Kursi itu membelakangi pintu masuk, menghadap ke jendela, dengan seseorang
duduk di atasnya.
“Bos, sudah kami dapatkan
anaknya,” kata salah satu penculik.
“Kerja bagus,” sahut seseorang di
balik kursi. “Kalian berdua sekarang boleh keluar.”
“Baik, bos,” kata kedua penculik
itu kompak seraya keluar dari ruangan itu.
Cklek! Begitu pintu ditutup dari
luar, Mega langsung bertanya dengan keras. “Mau apa lu?”
Yang dipanggil bos itu tertawa
dengan misterius. “Khukhukhu… Sudah banyak orang yang kuculik, tapi baru
sekarang ada yang seberani kau. Kau memang aneh, tapi aku suka… khukhu…”
“Tunggu sebentar,” sahut Mega. “Maksud
lu, lu nyulik orang-orang buat lu jadiin pelayan restoran?”
Orang itu kembali tertawa dengan
lebih keras. “Khukhu… selain cantik, otakmu juga encer ternyata. Tapi semua itu
nggak lagi berguna setelah kau kuhipnotis dan kujadikan pelayan!”
Sudah kuduga! Batin Mega.
Pelayan-pelayan yang berkostum hantu itu dari awal memang aneh. Ekspresi mereka
selalu terlihat datar dan tak pernah bicara. Namun Mega tak bisa lari lagi. Ia
tak punya jalan keluar dan tangannya pun masih terikat.
“Tapi kenapa lu harus nyulik gua?”
Mega memberanikan diri bertanya.
“Soalnya kau cocok untuk koleksi
hantuku. Jujur saja, kau cantik. Sejak pertama melihatmu lewat CCTV, aku ingin
menjadikanmu hantu suster ngesot!” jawab bos itu.
“Lu bener-bener sakit jiwa!” maki
Mega.
Tiba-tiba bos itu beranjak dari
kursi dan berbalik. Bos itu memakai jas hitam rapi dengan perut yang gemuk. Wajahnya
penuh luka jahitan. Dahinya lebar mengkilat dan rambutnya penuh uban. Dan yang
terlihat seram adalah matanya. Ia mengganti mata kirinya dengan batu permata
berwarna merah.
“Tatap mataku!” perintah bos itu.
Ia lalu mengeluarkan mantra. “Anak itik, kecebur di got. Gadis cantik, jadi
suster ngesot!”
***
Sementara itu, keempat anak
laki-laki itu tengah bersepeda menuju restoran Sambal Setan. Dari petunjuk yang
mereka temukan, mungkin saja Mega diculik di sana. Namun semua itu masih
“mungkin”. Itulah yang sedang dipikirkan oleh Erwin.
Sesampainya di restoran itu, semua
masih terlihat biasa. Tak ada sesuatu yang janggal, sama seperti saat mereka ke
tempat itu kemarin.
Mereka pun memarkirkan sepeda.
Tapi melihat muka Erwin yang tampak memikirkan sesuatu, Surdi memanggilnya.
“Hei, Win,” katanya. “What’s
wrong? We harusnya semangat buat nyelametin Mega from the devil of sambel.”
“Teman-teman, aku hanya berpikir,”
kata Erwin pada yang lain. “Bagaimana kalau yang kita lakukan ini percuma?
Maksudku mungkin saja Mega baik-baik saja dan semua yang kita lewati tadi hanya
kebetulan. Mungkin kalau kata Surdi, ‘Life isn’t a movie’, hidup ini bukan
seperti yang ada di film.”
“Nggak usah banyak mikir, Gan.
Yang penting kita nyoba ngelakuin hal yang baik,” sahut Tofan.
“Betul kata Tofan, Win,” sambung
Tommy. “Lagipula yang kita lakuin ini nggak percuma kok. Paling nggak kita jadi
punya alasan buat bolos, hehe…”
“You salah, Win,” Surdi ikut
menyambung. “I nggak pernah bilang kalau ‘life isn’t a movie’. Life… is… a
movie… Kitalah tokoh utamanya. But, yang nentuin kelanjutan movie ini adalah we
sendiri, entah we make it better or worse.”
“Mm… ya sudah, ayo kita selamatkan
Mega sekarang,” sahut Erwin yang telah hilang pikiran buruknya. “Tapi bagaimana
caranya?”
“Gue punya rencana, tapi kita
butuh kerjasama tim. Jangan pikirkan tentang diri kalian sendiri, melainkan
tentang kita dan misi kita ini,” kata Tofan sambil mengambil buku dan pulpen
dari tas punggungnya.
Saat ia hendak menuliskan sesuatu
di buku, Tommy tiba-tiba menghalanginya. “Tunggu, Fan,” katanya. “Demi
kekompakan kita, tim kita perlu nama, hehe…”
Berlanjut ke Bab 5 (Tengah)...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar