Tiba-tiba
di tengah jalan, Tofan mendengar seseorang memanggil namanya.
“FAAAN!
TOFAAN!”
Saat Tofan mengerem sepedanya dan
menoleh, ternyata orang yang memanggilnya itu Tommy. Tommy tampak berlari
mengejar Tofan.
“Fan, lo ngapain di sini?”
tanyanya.
“Kebalik, Tom. Harusnya gue yang
nanya. Lo ngapain di sini?” Tofan bertanya balik.
“Anu, tadi gue kebelet buang air.
Sial, kayaknya gara-gara nasi goreng setan kemarin. Jadi, gue turun di WC umum
waktu naik bus tadi. Habis itu gue mau ke sekolah, tapi ga ada tumpangan. Masa
jalan kaki? Untungnya, gue ketemu lo, Fan,” jelas Tommy.
“Oh gitu,” kata Tofan. “Tapi, gue
lagi ada misi buat nolongin Erwin sama Mega. Gue nggak ada waktu buat nganterin
lo sekolah.”
“Kalo gitu, gue nggak jadi ke
sekolah, hehe… Gue ikut lo aja. Boncengin gue, ya? Bisa aja gue berguna di misi
lo itu,” sahut Tommy yang sebenarnya malas ke sekolah.
“Ya udah deh. Gue kasihan sama
lo.” Tofan akhirnya membolehkan Tommy membonceng berdiri di belakang. Mereka
kemudian menghampiri Erwin yang telah lama menunggu.
Sesampainya di tempat kejadian,
terlihat Erwin dan Surdi menunggu.
“Lho, ada Surdi juga?” tanya
Tofan.
“Yes, Fan. Tadi I lihat Erwin lagi
kebingungan. So, I am coming to help,” sahut Surdi.
“Bohong, Fan. Surdi cuma nyari
alesan buat bolos,” kata Tommy asal.
“Itu kan you,” balas Surdi.
“Udah, nggak usah banyak bicara.
Sekarang, mari kita selesaiin masalah ini. Coba ceritain semua yang lo tahu,
Win,” kata Tofan.
Erwin bingung hendak bercerita
dari mana. Ia sebenarnya malu jika mengaku ia habis dari padang rumput untuk
melamunkan seorang gadis. Tapi demi menyelamatkan Mega, akhirnya ia buka mulut
juga.
“Jadi, tadi sebelum aku hendak ke
sekolah, aku pergi ke suatu tempat. Ternyata, aku dibuntuti Mega naik sepeda.
Karena marah, aku menyuruhnya kembali. Ia berkata akan ke sekolah. Tapi saat
aku lewat sini, aku melihat sepedanya tergeletak begitu saja,” jelas Erwin.
“Oh, begitu. Tapi Mega belum
datang di sekolah. Apa dia diculik?” sahut Tofan. “Hmm… apa nggak ada petunjuk,
ya?”
“Petunjuk…?” Tommy memandang
sekeliling. Ia menemukan jam dinding di bawah pohon dekat trotoar. Ia pun
memungutnya dan menunjukkannya pada yang lain. “Hei, temen-temen, gimana kalo
jam dinding ini?”
“Jam dinding? Oh iya, mungkin itu
jam yang dibeli Mega buat ngganti jam yang kita pecahin dulu,” sahut Tofan.
“Coba I lihat,” kata Surdi sambil
merebut jam di tangan Tommy.
Di kaca jam itu, Surdi melihat
simbol aneh yang ditulis dengan spidol.
“Ada symbol aneh di jam ini. Ini
seperti letter ‘O’ and ‘C’ dengan arrow to the left di bawahnya,” kata Surdi.
“And you tahu apa lagi yang aneh? The time. Harusnya sekarang masih seven
o’clock lebih sedikit. Tapi di jam ini, sudah ten o’clock.”
“Apa Mega belum mbenerin waktunya,
ya? Atau justru disengaja diubah?” Tommy menduga-duga.
“Pasti disengaja,” sahut Erwin. “Kalau
Mega tidak sengaja menjatuhkan jam itu, pasti jam itu pecah kan? Dan yang lebih
meyakinkan lagi adalah adanya simbol aneh yang ditulis Mega di jam itu. Artinya,
Mega memberi kita petunjuk!”
“Untung lo temuin jam itu, ya, Tom?”
kata Tofan.
“Udah gue bilang, Fan. Gue pasti berguna
di misi lo, hehe…” ujar Tommy sok-sokan.
Tofan lalu melihat jam yang dipegang
Surdi. “Ini bukan huruf ‘O’ dan ‘C’, Sur. Mungkin ini bentuk lingkaran dan bulan
sabit.” Tofan berpendapat. “Wah, bener juga! Gue baru sadar. Ini lambang matahari
dan bulan. Maksudnya adalah sehari. Dan anak panah yang mengarah ke kiri itu maksudnya
‘sebelum’. Berarti artinya adalah sehari sebelum ini!”
“Kemarin, ya? Kalau dipadukan dengan
waktu di jam itu, berarti kemarin pukul sepuluh,” sahut Erwin. Mereka berempat lalu
tersenyum karena tahu maksud dari teka-teki jam itu. “Kalian tahu di mana kita kemarin
pukul sepuluh?”
“Restoran Sambal Setan!” seru mereka
kompak.
Berlanjut ke Bab 5 (Awal)...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar