M
|
EGA sudah lupa dengan kemarahannya pada keempat cowok yang
memecahkan jam dinding kelas. Ia justru kini senang karena mendapat teman.
Setiap minggu, ia bisa bersepeda dengan teman-temannya itu.
Pagi itu, Mega berkaca di kamarnya.
Ia memakai seragam putih biru, lengkap dengan dasi, sabuk, serta sepatu hitam.
Ia menyisir, lalu menjepit rambutnya. Kemudian ia mengambil jam dinding baru di
atas meja. Jam dinding itu baru dibeli kemarin dengan uang kelas untuk
mengganti jam yang telah pecah.
Jam itu masih menunjukkan pukul
enam kurang seperempat, tapi mengapa Mega tampak begitu terburu-buru? Ia
memasukkan jam itu ke dalam tasnya, lalu segera keluar dari kamarnya.
Di halaman rumah, Mas Bejo tengah
mencuci mobil. Saat Mega keluar, ia terkejut melihat anak majikannya itu sudah
siap berangkat sekolah.
“Lho, Non, mau berangkat sekarang?
Udah sarapan apa belum?” tanya Mas Bejo.
“Udah, Mas. Tadi Mega bikin mi
instan,” jawab Mega. “Tapi hari ini Mega mau berangkat naik sepeda. Nggak pa-pa,
ya, Mas? Kalau ditanya Papah, bilang aja, Mega pingin naik sepeda buat
ngurangin polusi dan dampak global warming di masa depan, hehe…”
“Non Mega emangnya nggak capek
naik sepeda? Mas Bejo anter aja, ya?” bujuk Mas Bejo.
“Ah, nggak usah. Mas Bejo emangnya
nggak capek nganterin Mega terus tiap pagi?” Mega bertanya balik.
Sementara Mas Bejo diam tak bisa
menjawab, Mega mengambil sepeda dari dalam garasi. Ia naik sepeda, lalu
mengayuhnya keluar dari rumah sambil pamit dengan Mas Bejo. “Duluan, ya, Mas!”
begitu serunya.
Karena kejadian kemarin, Mega jadi
senang bersepeda. Memang lebih enak kalau ada temannya, tapi sendirian pun
rasanya menyenangkan bagi Mega. Ia bisa merasakan semilir angin, memandang
kejadian di masyarakat, juga bisa merasakan keringat yang membuat sehat.
Di tengah perjalanan, Mega melihat
Erwin bersepeda.
“Aneh,” gumam Mega. “Rumah Erwin
kan bukan di sekitar sini. Lagipula buat apa dia bersepeda pagi-pagi dan justru
menjauh dari sekolah? Gua buntutin aja, deh, hihi…”
Mega pun membuntuti Erwin dari
belakang. Untungnya Erwin tak menyadari kehadiran cewek iseng itu. Namun kian
lama, Mega kian penasaran. Erwin masuk ke jalan-jalan yang belum pernah Mega
lalui. Dan penasarannya itu makin bertambah saat Erwin masuk gang dengan papan
jalan bertuliskan “Gang Buntu”.
“Gang Buntu…?” gumam Mega. “Kalau
buntu, berarti udah mau sampai. Tapi kira-kira ngapain, ya, Erwin ke sini?”
Mega yang kepo menduga-duga sambil terus membuntuti.
Sesampainya di ujung gang, Erwin
terlihat memarkirkan sepedanya, lalu melepas sepatu dan kaus kakinya. Ia
kemudian berjalan maju tak gentar meski tanpa alas kaki.
Mega mengerem sepedanya. Ia
bingung dengan kelakuan Erwin. Sebagian jiwanya yang disiplin berkata untuk
membiarkan Erwin dan segera berangkat sekolah agar tepat waktu, namun jiwa
keponya yang kuat mengalahkan itu. Ia pun menuntun sepedanya perlahan, lalu
melakukan hal yang sama dengan Erwin.
Tapi belum sempat ia melepas alas
kakinya, ia sudah takjub dengan pemandangan di depan matanya. Ia baru tahu ada
daerah seperti itu di kotanya. Padang rumput luas yang penuh dengan bunga,
terkepung oleh sawah-sawah yang asri. Dengan segera, ia pun melepas alas
kakinya, lalu menuju ke padang rumput tersebut.
Terlihat Erwin tengah duduk di
saung yang ada di sana. Matanya mengembara. Ia tampak melamunkan sesuatu
sampai-sampai tak sadar kalau ada yang membuntutinya dari tadi.
Mega perlahan berjalan ke arah
Erwin. Ia hendak mengejutkan Erwin. Ia pun melompat ke hadapan Erwin sambil
berseru, “Dor!”. Wajahnya tampak riang. Tak pernah sekali pun Mega terlihat
begitu di kelas.
Erwin sangat terkejut melihat
kehadiran Mega. “Kamu bagaimana bisa sampai ke sini?” tanya Erwin.
“Gua tadi mbuntutin lu,” sahut
Mega sambil menjulurkan lidah. “Hayo, mau ngapain ke tempat romantis kayak
gini?” goda Mega.
“Tak ada apa-apa. Bukan urusanmu,”
sahut Erwin cuek.
“Pasti nunggu pacar, ya?” goda
Mega lagi.
“Bukan urusanmu,” sahut Erwin
lagi.
“Pacar lu pasti minta ketemuan di
sini, terus berangkat sekolah bareng naik sepeda. Wah, mesra banget,” kata Mega
sok tahu.
“Sudah kubilang bukan urusanmu.
Kamu merusak suasana saja,” jawab Erwin tajam.
Mendengar itu, ekspresi Mega tak
lagi riang. Ia diam.
“Maaf, Meg, kalau kata-kataku buat
kamu sakit hati. Aku hanya sedang ingin sendirian,” lanjut Erwin.
“Oh, iya, nggak pa-pa kok.
Harusnya gua yang minta maaf,” sahut Mega berusaha tersenyum. “Gua berangkat
sekolah dulu, Win.”
“Iya,” jawab Erwin singkat.
Erwin tetap duduk di saung itu
sambil melihat rerumputan dan sawah-sawah. Ia memikirkan saat pertama kali di
sini dengan Kiran.
Kiran itu bisa dibilang cinta masa
kecil Erwin. Banyak kenangan dengan Kiran yang masih diingat Erwin sampai
sekarang. Mereka berdua terkadang bermain di padang rumput itu. Mereka sering
memanjat pohon, bermain layang-layang, atau sekadar bersepeda bersama. Namun
sejak setahun yang lalu, Kiran pindah rumah ke Jakarta. Ia meninggalkan sebuah jam weker putih yang
selalu Erwin simpan di kamarnya.
“Hmm… kenangan yang manis,” gumam
Erwin yang melankolis itu. “Entah kapan Kiran akan kembali, tapi aku akan
menunggunya. Aku ingin bertemu dengannya.”
Di saung itu, Erwin senyum-senyum
sendiri seperti orang gila. Seorang petani yang lewat sampai kebingungan. Ia
memakai caping dan membawa sabit. Petani itu tahu kalau ini sudah waktunya
anak-anak masuk sekolah. Ia pun mencoba menyadarkan Erwin.
“Mas, nanti terlambat, lho,” kata
petani itu sambil menepuk pundak Erwin.
Erwin terkejut. Ia sebenarnya tak
dengar apa yang dikatakan petani itu. Tapi melihat orang membawa sabit di
hadapannya, Erwin langsung parno dan lari tunggang langgang. Dikira hendak
dibacok, hehe…
Berlanjut ke Bab 4 (Tengah)...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar