Rabu, 12 Maret 2014

Remaja & Pacaran Bagian 3

Malam itu, Tommy pun menemani Ai latihan berpidato. Mereka berdua saling bercanda dan tertawa di sana. Mereka juga sempat duduk-duduk di halaman rumah, memandangi bintang-bintang yang berkedip dan bulan yang tersenyum ke arah mereka. Dunia seakan hanya milik mereka berdua.
“Udah, yuk, main-mainnya. Udah malem. Aku latihan pidato sekali lagi, terus Tommy-kun yang jadi juri. Minumnya juga dihabisin, ya, Tommy-kun,” kata Ai-chan.
Ai dan Tommy pun dari halaman masuk ke ruang tamu rumah. Tommy mendengarkan pidato Ai sambil duduk di kursi dan menyeruput teh buatan pacar.
“I think that’s all. Thanks for your attention. And the last, good morning!” Ai mengakhiri pidatonya yang panjang. “Gimana, Tommy-kun? Lho, Tommy-kun?”
Terlihat di hadapan Ai, Tommy telah tertidur sambil mendengkur. Ai pun mengguncang-guncang bahunya. “Tommy-kun, jangan tidur di sini. Ayo, kuantar pulang,” kata Ai.
“Hah? Gue di mana…? Ai-chan…, kamu cantik banget,” Tommy bicara ngelantur setengah tidur.
Karena usahanya tidak berhasil, Ai pun mencoba dengan cara lain. Ia memercik-mercikkan air ke wajah Tommy. Akhirnya, Tommy sadar juga.
“Lho, Ai-chan? Udah jam berapa ini?” tanya Tommy.
“Hampir setengah sepuluh. Tommy-kun segera pulang gih.”
“Iya, Ai-chan. Aku pulang dulu, ya,” pamit Tommy.
“Eh, Tommy-kun gak capek? Nanti kalau di tengah jalan ketiduran gimana?” tanya Ai.
“Boleh minta botol isi air, nggak? Biar nanti kalau ngantuk di tengah jalan, wajahku bisa kuusap sendiri pakai air.”
Tak lama kemudian, Tommy pulang dari rumah Ai berbekal sebotol air. Dugaannya sendiri memang benar. Dalam perjalanan, ia sempat beberapa kali mengantuk. Tapi syukurlah, ia dapat sampai rumahnya dengan selamat meski masalah lain baru datang.
“TOMMY!” panggil Emaknya galak. “Dari mana aja kamu? Dasar anak bandel!”
***
Sudah pukul enam pagi lebih dan Tommy masih mendengkur di kamarnya. Emak sudah mengetuk pintu kamarnya sepuluh menit yang lalu, tapi tidak digubris oleh Tommy. Karena khawatir, Emak pun menggedor-gedor pintu kamar Tommy lagi.
“Tom, bangun! Nanti telat lho.”
Di kamarnya, Tommy hanya menggeliat. Karena tak mendapat jawaban, Emak pun langsung masuk kamar Tommy.
“Maak…” panggil Tommy lirih, masih terbaring di kasur.
“Apaan sih, Tom?” sahut Emaknya sambil lalu duduk di kasur. “Cepetan mandi terus sarapan, gih.”
“Badan Tommy rasanya nggak enak.”
“Huh, sini Emak periksa.” Emak menempelkan tangannya ke dahi Tommy. Dahi Tommy terasa hangat. “Kamu nggak usah masuk, deh. Istirahat aja di rumah. Salah kamu sendiri semalem ngeluyur nggak jelas, naik sepeda lagi. Masuk angin kali.”
“Istirahat di rumah? Tommy nggak boleh keluar-keluar, nih?” tanya Tommy polos. Tapi melihat tangan Emak mengepal, ekspresi jahil Tommy berubah drastis. “Eh, iya-iya, Mak. Tommy bakal di rumah aja.”
“Ya udah, Emak mau bikin surat izin dulu. Habis itu Emak anter ke rumahnya si Tofan,” kata Emak sambil keluar dari kamar Tommy. “Awas, ya, jangan kabur lagi.”
Di kamarnya, Tommy berpikir. Ia sebenarnya hendak memberitahu Ai tentang ini, tapi takut kalau Ai khawatir dengannya dan tidak fokus pada lombanya pagi ini. Tommy juga menyesal tidak bisa melihat Ai berpidato secara langsung. Alhasil, Tommy beralasan sekenanya pada Ai.
Tommy      :  Ai-chan, maaf, ya. Aak Tommy nggak jadi lihat pidatonya Ai-chan langsung, soalnya Emak udah curiga.
Ai         :  Oh, ya udah, nggak pa-pa. Pasti gara-gara semalem, ya? Kalau semalem ibunya Tommy-kun tahu pasti marah-marah itu.
Tommy      :  Emang tahu dan emang marah-marah, Ai-chan. Makanya, Aak Tommy takut.
Ai         :  Oh, maaf, ya, Tommy-kun. Ya sudah, Tommy-kun ke sekolah dulu, nanti terlambat.
Tommy      :  Iya, Ai-chan. Ai-chan yang semangat, ya, lombanya.
Setelah itu, Tommy menaruh ponselnya di atas meja kamar. Biasanya jika libur, pagi-pagi begini Tommy belum bangun. Sudah bangun pun, ia pasti ketiduran di sofa dengan menghadap TV yang masih menyala. Namun kali ini, Tommy benar-benar malas tidur lagi atau menonton TV. Kali ini ia menarik selimutnya karena tubuhnya merasa panas dingin, lalu melihat langit-langit kamar yang balas menatap.
Tommy sebenarnya bukan tipe orang yang suka bermimpi atau melamun macam Erwin. Tapi sekarang entah kenapa, ia ingin melakukannya. Mungkin karena tak tahu hendak melakukan apa, atau karena sedang demam.
 Tommy tiba-tiba teringat Raita. Katanya, Raita akan melanjutkan wawancaranya kemarin. Tapi berhubung Tommy hari ini tidak masuk, hendak bagaimana lagi?
“Raita…?” Tommy menggumam sambil nyengir-nyengir sendiri. “Karya ilmiahnya unik. Hubungan remaja sama pacaran. Emangnya apa hubungannya?”
Tommy juga kemudian ingat dengan pelajaran Pak Ferry setelah itu. Ia ingat contoh exposition text milik Pak Ferry.
“Pak Ferry…,” gumamnya lagi. “Kata dia, pacaran itu future-destroyer, penghancur masa depan. Ngabisin duit, waktu, dan tenaga. Hehe… mungkin emang bener, tapi kok bisa, ya? Padahal tiap remaja hampir semua pernah pacaran.”
Tiba-tiba terlintas suatu pemikiran di otak Tommy. “Oh, iya, ya. Kalo Raita sama Pak Ferry bilang pacaran itu buruk, kenapa di kenyataannya, hampir semua remaja pernah pacaran? Para remaja mungkin emang tahu kalau pacaran itu nggak baik, tapi mereka tetep ngelakuinnya. Apa mungkin mereka pura-pura nggak tahu? Tapi apa alasannya? Gue kan remaja yang pacaran, harusnya tahu dong.”
Beberapa menit kemudian, Emak datang membawa nampan. Di atasnya ada sepiring sarapan, sebotol air minum, obat kapsul, dan kompres demam.
Berlanjut ke Bagian 4...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar