Malam
itu, Tommy pun menemani Ai latihan berpidato. Mereka berdua saling bercanda dan
tertawa di sana. Mereka juga sempat duduk-duduk di halaman rumah, memandangi
bintang-bintang yang berkedip dan bulan yang tersenyum ke arah mereka. Dunia
seakan hanya milik mereka berdua.
“Udah,
yuk, main-mainnya. Udah malem. Aku latihan pidato sekali lagi, terus Tommy-kun
yang jadi juri. Minumnya juga dihabisin, ya, Tommy-kun,” kata Ai-chan.
Ai
dan Tommy pun dari halaman masuk ke ruang tamu rumah. Tommy mendengarkan pidato
Ai sambil duduk di kursi dan menyeruput teh buatan pacar.
“I
think that’s all. Thanks for your attention. And the last, good morning!” Ai
mengakhiri pidatonya yang panjang. “Gimana, Tommy-kun? Lho, Tommy-kun?”
Terlihat
di hadapan Ai, Tommy telah tertidur sambil mendengkur. Ai pun
mengguncang-guncang bahunya. “Tommy-kun, jangan tidur di sini. Ayo, kuantar
pulang,” kata Ai.
“Hah?
Gue di mana…? Ai-chan…, kamu cantik banget,” Tommy bicara ngelantur setengah
tidur.
Karena
usahanya tidak berhasil, Ai pun mencoba dengan cara lain. Ia memercik-mercikkan
air ke wajah Tommy. Akhirnya, Tommy sadar juga.
“Lho,
Ai-chan? Udah jam berapa ini?” tanya Tommy.
“Hampir
setengah sepuluh. Tommy-kun segera pulang gih.”
“Iya,
Ai-chan. Aku pulang dulu, ya,” pamit Tommy.
“Eh,
Tommy-kun gak capek? Nanti kalau di tengah jalan ketiduran gimana?” tanya Ai.
“Boleh
minta botol isi air, nggak? Biar nanti kalau ngantuk di tengah jalan, wajahku
bisa kuusap sendiri pakai air.”
Tak
lama kemudian, Tommy pulang dari rumah Ai berbekal sebotol air. Dugaannya
sendiri memang benar. Dalam perjalanan, ia sempat beberapa kali mengantuk. Tapi
syukurlah, ia dapat sampai rumahnya dengan selamat meski masalah lain baru
datang.
“TOMMY!”
panggil Emaknya galak. “Dari mana aja kamu? Dasar anak bandel!”
***
Sudah
pukul enam pagi lebih dan Tommy masih mendengkur di kamarnya. Emak sudah
mengetuk pintu kamarnya sepuluh menit yang lalu, tapi tidak digubris oleh
Tommy. Karena khawatir, Emak pun menggedor-gedor pintu kamar Tommy lagi.
“Tom,
bangun! Nanti telat lho.”
Di
kamarnya, Tommy hanya menggeliat. Karena tak mendapat jawaban, Emak pun
langsung masuk kamar Tommy.
“Maak…”
panggil Tommy lirih, masih terbaring di kasur.
“Apaan
sih, Tom?” sahut Emaknya sambil lalu duduk di kasur. “Cepetan mandi terus
sarapan, gih.”
“Badan
Tommy rasanya nggak enak.”
“Huh,
sini Emak periksa.” Emak menempelkan tangannya ke dahi Tommy. Dahi Tommy terasa
hangat. “Kamu nggak usah masuk, deh. Istirahat aja di rumah. Salah kamu sendiri
semalem ngeluyur nggak jelas, naik sepeda lagi. Masuk angin kali.”
“Istirahat
di rumah? Tommy nggak boleh keluar-keluar, nih?” tanya Tommy polos. Tapi
melihat tangan Emak mengepal, ekspresi jahil Tommy berubah drastis. “Eh,
iya-iya, Mak. Tommy bakal di rumah aja.”
“Ya
udah, Emak mau bikin surat izin dulu. Habis itu Emak anter ke rumahnya si
Tofan,” kata Emak sambil keluar dari kamar Tommy. “Awas, ya, jangan kabur
lagi.”
Di
kamarnya, Tommy berpikir. Ia sebenarnya hendak memberitahu Ai tentang ini, tapi
takut kalau Ai khawatir dengannya dan tidak fokus pada lombanya pagi ini. Tommy
juga menyesal tidak bisa melihat Ai berpidato secara langsung. Alhasil, Tommy
beralasan sekenanya pada Ai.
Tommy : Ai-chan, maaf, ya. Aak Tommy nggak jadi lihat
pidatonya Ai-chan langsung, soalnya Emak udah curiga.
Ai : Oh, ya udah, nggak pa-pa. Pasti gara-gara
semalem, ya? Kalau semalem ibunya Tommy-kun tahu pasti marah-marah itu.
Tommy : Emang tahu dan emang marah-marah, Ai-chan.
Makanya, Aak Tommy takut.
Ai : Oh, maaf, ya, Tommy-kun. Ya sudah, Tommy-kun
ke sekolah dulu, nanti terlambat.
Tommy : Iya, Ai-chan. Ai-chan yang semangat, ya,
lombanya.
Setelah
itu, Tommy menaruh ponselnya di atas meja kamar. Biasanya jika libur, pagi-pagi
begini Tommy belum bangun. Sudah bangun pun, ia pasti ketiduran di sofa dengan
menghadap TV yang masih menyala. Namun kali ini, Tommy benar-benar malas tidur
lagi atau menonton TV. Kali ini ia menarik selimutnya karena tubuhnya merasa
panas dingin, lalu melihat langit-langit kamar yang balas menatap.
Tommy
sebenarnya bukan tipe orang yang suka bermimpi atau melamun macam Erwin. Tapi
sekarang entah kenapa, ia ingin melakukannya. Mungkin karena tak tahu hendak
melakukan apa, atau karena sedang demam.
Tommy tiba-tiba teringat Raita. Katanya, Raita
akan melanjutkan wawancaranya kemarin. Tapi berhubung Tommy hari ini tidak
masuk, hendak bagaimana lagi?
“Raita…?”
Tommy menggumam sambil nyengir-nyengir sendiri. “Karya ilmiahnya unik. Hubungan
remaja sama pacaran. Emangnya apa hubungannya?”
Tommy
juga kemudian ingat dengan pelajaran Pak Ferry setelah itu. Ia ingat contoh
exposition text milik Pak Ferry.
“Pak
Ferry…,” gumamnya lagi. “Kata dia, pacaran itu future-destroyer, penghancur
masa depan. Ngabisin duit, waktu, dan tenaga. Hehe… mungkin emang bener, tapi
kok bisa, ya? Padahal tiap remaja hampir semua pernah pacaran.”
Tiba-tiba
terlintas suatu pemikiran di otak Tommy. “Oh, iya, ya. Kalo Raita sama Pak
Ferry bilang pacaran itu buruk, kenapa di kenyataannya, hampir semua remaja
pernah pacaran? Para remaja mungkin emang tahu kalau pacaran itu nggak baik,
tapi mereka tetep ngelakuinnya. Apa mungkin mereka pura-pura nggak tahu? Tapi
apa alasannya? Gue kan remaja yang pacaran, harusnya tahu dong.”
Beberapa
menit kemudian, Emak datang membawa nampan. Di atasnya ada sepiring sarapan,
sebotol air minum, obat kapsul, dan kompres demam.
Berlanjut ke Bagian 4...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar