Rabu, 05 Maret 2014

Remaja & Pacaran Bagian 2

“Yaah, istirahat udah selesai, Tom. Dilanjutkan besok, ya? Cuma kurang beberapa pertanyaan aja. Maaf, buru-buru, soalnya habis ini gue ada ulangan,” kata Raita sambil meninggalkan kelas Tommy.
Setelah ini ada jam bahasa Inggris. Meski Pak Ferry belum datang, Tommy tak ingin mengulangi kesalahannya. Nanti bisa-bisa ia tidak fokus dan ditanyai lagi. Ia pun pergi ke bangku sebelah Erwin untuk menemaninya.
“Apa kamu tidak di sebelah Ai saja? Sepertinya dia marah,” kata Erwin.
“Marah kenapa?” tanya Tommy.
“Tidak tahu.”
Tommy memandang Ai di bangku seberang. Perkataan Erwin mungkin benar. Muka Ai terlihat ditekuk. Bibirnya sedikit manyun dan pipinya jadi tambah tembem. Mirip Flappy Bird, hehe…
“Ai-chan,” panggil Tommy. “Ai-chan kenapa?”
“Nggak pa-pa,” sahut Ai-chan masih dengan muka Flappy Bird.
Tommy pun menghampiri Ai. Di sebelahnya, Kunti memalingkan muka dengan cuek.
“Ai-chan kenapa?” tanya Tommy lagi.
“Habisnya saya dicuekin,” sahut Ai-chan.
“Kan lagi ditanya-tanya Raita. Masa nggak dijawab?”
“Gak,” jawab Ai-chan kesal.
“Terus yang jawab siapa?”
“Ya udah, Tommy-kun urusin Raita aja.”
“Hiih… pipinya Ai-chan kucubit, lho,” kata Tommy gemas.
“Cubit aja pipinya si Raita,” sahut Ai lagi.
“Huh.” Tommy sudah lelah menanggapi. Meski ia sudah biasa menghadapi sifat Ai yang seperti ini, lama-lama capai juga. Ia kembali ke bangku sebelah Erwin dengan muka masam.
Tak lama, Pak Ferry masuk ke kelas dengan tas selempang hitamnya. Ia pun melanjutkan pelajaran yang kemarin. Setelah itu, ia memberi tugas untuk membuat exposition text.
“Make your own exposition text. Every child has to make one,” perintah Pak Ferry di depan kelas. “I will give you an example. The title is ‘Girlfriend and Boyfriend, the Future-Destroyer’. That title is good and interesting. Then, you should write the reasons. For example, ‘I have 3 reasons to prove that girlfriend and boyfriend are the future-destroyer. First, they waste your money. Second, they waste your time. And third, they waste your energy. So, being single is better to reach our future.’…”
“Kenapa, ya, hari ini topiknya sisi buruk pacaran mulu?” gerutu Tommy. “Habis diwawancara Raita, Pak Ferry juga ngomongin ginian. Apa jangan-jangan emang buruk buat masa depan, ya?” Tommy memandang Ai-chan sambil berpikir.
***
Malam harinya, Tommy SMS-an dengan Ai seperti biasa. Tapi kali ini, Ai masih ngambek sedikit. Tommy pun mencoba menetralkan suasana.
Tommy      :  Ai-chan ngambeknya kenapa? Maafin Aak Tommy dong.
Ai         :  Iya, Tommy-kun, nggak pa-pa. Saya yang harusnya minta maaf soalnya udah bikin Tommy-kun susah. Sebenarnya saya cuma takut.
Tommy      :  Takut kenapa?
Ai         :  Besok kan saya lomba. Saya takut kalau blank. Saya grogi.
Tommy    :  Udah, nggak usah grogi, Ai-chan. Aak Tommy yakin Ai-chan bisa kok. Yang penting percaya sama diri sendiri. Kalau Ai-chan yakin bisa, Ai-chan bisa.
Ai         :  Tapi, masih takut.
Tommy    :  Ya udah, apa yang bikin Ai-chan nggak takut? Aak Tommy turutin. Besok Aak Tommy liat pidatonya Ai deh, buat support.
Ai         :  Tapi, besok kan Tommy-kun sekolah.
Tommy    :  Ah, itu urusan gampang. Udah nggak takut kan? Udah di-support langsung sama Aak Tommy, lho.
Ai         :  Masih takut.
Tommy      :  Terus pinginnya gimana? Aak Tommy bingung.
Ai         :  Pingin latihan bareng Tommy-kun.
Melihat SMS balasan Ai, muncul ide gila di pikiran Tommy. Ia pun mengetik di HP-nya. “Sebentar, ya, Ai-chan.” Kemudian, ia keluar kamar, menguncinya dari luar, dan mengendap-endap menuju garasi rumah. Malam itu masih pukul setengah 8 malam dan orangtuanya tengah bersantai menonton TV.
Sesampainya di garasi, Tommy mendapati sepeda motor ayahnya terparkir. Tapi sewaktu hendak mengeluarkannya dari garasi, Tommy baru ingat sesuatu. Kuncinya tak menempel di sana. Pasti kunci itu ada di meja ruang tengah.
“Kalo gue balik buat ngambil kunci itu, bisa jadi Bapak sama Emak nanyain dan curiga. Gimana, ya?” Tommy berpikir. “Ya udahlah, gue naik sepeda aja.”
Akhirnya, tanpa membawa apa-apa dan hanya memakai sandal, kaos, dan celana pendek, Tommy naik sepeda hendak menuju rumah Ai. Idenya itu memang kadang-kadang berisiko dan kurang kerjaan. Tapi sekali dia bertekad melakukan sesuatu, keinginannya itu sulit untuk digoyahkan.
Sesampainya di rumah Ai, Tommy malah kebingungan. Ia tak berpikir panjang. Jika pintu ruang tamu itu dia ketuk dan orangtuanya yang keluar, bagaimana? Tapi Tommy ternyata beruntung. Belum sampai dia mengetuk pintu, Ai keluar dari ruang tamu untuk menemuinya. Ternyata Ai sedang berlatih pidato di ruang tamu.
“Lho, Tommy-kun?” Ai terkejut.
“Halo, Ai-chan,” sapa Tommy.
“Ngapain ke sini? Malem-malem, lho, gak pakai jaket, pakai celana pendek pula,” omel Ai.
“Habisnya Ai-chan bilang mau ditemenin, ya Aak Tommy ke sini buat nemenin,” ujar Tommy.
“Tapi gak gini juga kali, Tommy-kun,” sahut Ai. “Ya sudah, saya siapkan minum dulu. Tommy-kun pasti haus habis naik sepeda.”
Malam itu, Tommy pun menemani Ai latihan berpidato. Mereka berdua saling bercanda dan tertawa di sana. Mereka juga sempat duduk-duduk di halaman rumah, memandangi bintang-bintang yang berkedip dan bulan yang tersenyum ke arah mereka. Dunia seakan hanya milik mereka berdua.
Berlanjut ke Bagian 3...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar