“Yaah,
istirahat udah selesai, Tom. Dilanjutkan besok, ya? Cuma kurang beberapa
pertanyaan aja. Maaf, buru-buru, soalnya habis ini gue ada ulangan,” kata Raita
sambil meninggalkan kelas Tommy.
Setelah
ini ada jam bahasa Inggris. Meski Pak Ferry belum datang, Tommy tak ingin
mengulangi kesalahannya. Nanti bisa-bisa ia tidak fokus dan ditanyai lagi. Ia
pun pergi ke bangku sebelah Erwin untuk menemaninya.
“Apa
kamu tidak di sebelah Ai saja? Sepertinya dia marah,” kata Erwin.
“Marah
kenapa?” tanya Tommy.
“Tidak
tahu.”
Tommy
memandang Ai di bangku seberang. Perkataan Erwin mungkin benar. Muka Ai
terlihat ditekuk. Bibirnya sedikit manyun dan pipinya jadi tambah tembem. Mirip
Flappy Bird, hehe…
“Ai-chan,”
panggil Tommy. “Ai-chan kenapa?”
“Nggak
pa-pa,” sahut Ai-chan masih dengan muka Flappy Bird.
Tommy
pun menghampiri Ai. Di sebelahnya, Kunti memalingkan muka dengan cuek.
“Ai-chan
kenapa?” tanya Tommy lagi.
“Habisnya
saya dicuekin,” sahut Ai-chan.
“Kan
lagi ditanya-tanya Raita. Masa nggak dijawab?”
“Gak,”
jawab Ai-chan kesal.
“Terus
yang jawab siapa?”
“Ya
udah, Tommy-kun urusin Raita aja.”
“Hiih…
pipinya Ai-chan kucubit, lho,” kata Tommy gemas.
“Cubit
aja pipinya si Raita,” sahut Ai lagi.
“Huh.”
Tommy sudah lelah menanggapi. Meski ia sudah biasa menghadapi sifat Ai yang
seperti ini, lama-lama capai juga. Ia kembali ke bangku sebelah Erwin dengan
muka masam.
Tak
lama, Pak Ferry masuk ke kelas dengan tas selempang hitamnya. Ia pun
melanjutkan pelajaran yang kemarin. Setelah itu, ia memberi tugas untuk membuat
exposition text.
“Make
your own exposition text. Every child has to make one,” perintah Pak Ferry di
depan kelas. “I will give you an example. The title is ‘Girlfriend and
Boyfriend, the Future-Destroyer’. That title is good and interesting. Then, you
should write the reasons. For example, ‘I have 3 reasons to prove that
girlfriend and boyfriend are the future-destroyer. First, they waste your
money. Second, they waste your time. And third, they waste your energy. So,
being single is better to reach our future.’…”
“Kenapa,
ya, hari ini topiknya sisi buruk pacaran mulu?” gerutu Tommy. “Habis
diwawancara Raita, Pak Ferry juga ngomongin ginian. Apa jangan-jangan emang
buruk buat masa depan, ya?” Tommy memandang Ai-chan sambil berpikir.
***
Malam
harinya, Tommy SMS-an dengan Ai seperti biasa. Tapi kali ini, Ai masih ngambek
sedikit. Tommy pun mencoba menetralkan suasana.
Tommy : Ai-chan ngambeknya
kenapa? Maafin Aak Tommy dong.
Ai : Iya, Tommy-kun,
nggak pa-pa. Saya yang harusnya minta maaf soalnya udah bikin Tommy-kun susah.
Sebenarnya saya cuma takut.
Tommy : Takut kenapa?
Ai : Besok kan saya
lomba. Saya takut kalau blank. Saya grogi.
Tommy : Udah, nggak usah grogi,
Ai-chan. Aak Tommy yakin Ai-chan bisa kok. Yang penting percaya sama diri
sendiri. Kalau Ai-chan yakin bisa, Ai-chan bisa.
Ai : Tapi, masih takut.
Tommy : Ya udah, apa yang bikin
Ai-chan nggak takut? Aak Tommy turutin. Besok Aak Tommy liat pidatonya Ai deh,
buat support.
Ai : Tapi, besok kan
Tommy-kun sekolah.
Tommy : Ah, itu urusan gampang.
Udah nggak takut kan? Udah di-support langsung sama Aak Tommy, lho.
Ai : Masih takut.
Tommy : Terus pinginnya gimana?
Aak Tommy bingung.
Ai : Pingin latihan
bareng Tommy-kun.
Melihat
SMS balasan Ai, muncul ide gila di pikiran Tommy. Ia pun mengetik di HP-nya.
“Sebentar, ya, Ai-chan.” Kemudian, ia keluar kamar, menguncinya dari luar, dan
mengendap-endap menuju garasi rumah. Malam itu masih pukul setengah 8 malam dan
orangtuanya tengah bersantai menonton TV.
Sesampainya
di garasi, Tommy mendapati sepeda motor ayahnya terparkir. Tapi sewaktu hendak
mengeluarkannya dari garasi, Tommy baru ingat sesuatu. Kuncinya tak menempel di
sana. Pasti kunci itu ada di meja ruang tengah.
“Kalo
gue balik buat ngambil kunci itu, bisa jadi Bapak sama Emak nanyain dan curiga.
Gimana, ya?” Tommy berpikir. “Ya udahlah, gue naik sepeda aja.”
Akhirnya,
tanpa membawa apa-apa dan hanya memakai sandal, kaos, dan celana pendek, Tommy
naik sepeda hendak menuju rumah Ai. Idenya itu memang kadang-kadang berisiko
dan kurang kerjaan. Tapi sekali dia bertekad melakukan sesuatu, keinginannya
itu sulit untuk digoyahkan.
Sesampainya
di rumah Ai, Tommy malah kebingungan. Ia tak berpikir panjang. Jika pintu ruang
tamu itu dia ketuk dan orangtuanya yang keluar, bagaimana? Tapi Tommy ternyata
beruntung. Belum sampai dia mengetuk pintu, Ai keluar dari ruang tamu untuk
menemuinya. Ternyata Ai sedang berlatih pidato di ruang tamu.
“Lho,
Tommy-kun?” Ai terkejut.
“Halo,
Ai-chan,” sapa Tommy.
“Ngapain
ke sini? Malem-malem, lho, gak pakai jaket, pakai celana pendek pula,” omel Ai.
“Habisnya
Ai-chan bilang mau ditemenin, ya Aak Tommy ke sini buat nemenin,” ujar Tommy.
“Tapi
gak gini juga kali, Tommy-kun,” sahut Ai. “Ya sudah, saya siapkan minum dulu.
Tommy-kun pasti haus habis naik sepeda.”
Malam
itu, Tommy pun menemani Ai latihan berpidato. Mereka berdua saling bercanda dan
tertawa di sana. Mereka juga sempat duduk-duduk di halaman rumah, memandangi
bintang-bintang yang berkedip dan bulan yang tersenyum ke arah mereka. Dunia
seakan hanya milik mereka berdua.
Berlanjut ke Bagian 3...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar