Namun nasib malang menimpa mereka.
Gerbang sekolah baru saja ditutup oleh Pak Satpam.
Tommy turun dari sepeda, lalu
mendekati gerbang. “Pak, gerbangnya bukain dong,” pinta Tommy pada Pak Satpam
yang ada di balik gerbang.
“Tidak bisa. Kalian kan terlambat.
Sekolah ini mementingkan kedisiplinan, tauk. Tepat jam tujuh, gerbang sudah
harus ditutup dan tak ada lagi murid yang bisa masuk,” tolak Pak Satpam.
“Kami ini baru kelas tujuh, Pak.
Belum bisa beradaptasi sama sekolah baru kami. Bukain dong, Pak,” rayu Tommy
lagi.
“Tidak bisa. Salah sendiri kalian
terlambat.” Pak Satpam tetap bersikukuh.
“Jahat banget,” gumam Erwin.
Tiba-tiba ekspresi Tommy berubah
aneh. Ia terlihat meringis kesakitan sambil memegang perutnya.
Pak Satpam heran. “Kamu kenapa?”
“Aduh, perut gue tiba-tiba sakit.
Kayaknya gara-gara kemarin malam kebanyakan makan sambel, deh,” rintih Tommy
masih memegangi perutnya. “Pak, tahu toilet di deket sini, nggak?”
“Toilet? Tuh, ada selokan,” jawab
Pak Satpam ketus sambil menunjuk ke selokan.
“Serius, Pak. Gue pup di sini,
nih,” tantang Tommy mencoba membuka celananya.
“Eeeh, jangan! Sekolah ini juga
terkenal sama kebersihannya, tauk.” Pak Satpam mulai panik dan akhirnya tak
tega. “Ya udah, deh. Kamu boleh ke kamar mandi sekolah.”
“Makasih, Pak,” kata Tommy masih
memegang perutnya. “Erwin, ayo masuk.”
“Lho, yang satunya kan nggak
kebelet ke toilet, ya, tidak boleh masuk, dong,” sahut Pak Satpam bingung.
“Kita kan ke sini sama-sama, Pak.
Kalau masuk, ya sama-sama,” sanggah Tommy. Ia pun menarik tangan Erwin
mengajaknya masuk. Sedangkan Pak Satpam yang masih bingung menggaruk-garuk
kepalanya.
Setelah memarkirkan sepeda, Tommy
dan Erwin bergegas menuju kelas. Tommy sebenarnya tadi hanya berpura-pura
kebelet. Entah Tommy yang terlalu pintar atau Pak Satpam yang terlalu polos,
mereka berdua tak peduli. Yang penting, bisa masuk sekolah dengan selamat.
Kelas baru Tommy dan Erwin
ternyata sama. Di papan pengumuman tertulis bahwa mereka masuk kelas 7H.
Setelah sampai di depan kelas itu, mereka berdua mendengar seorang guru pria
sudah menerangkan. Tommy pun mengetuk pintu kelas, lalu masuk.
“Pak, maaf, kita terlambat,” kata
Tommy. Mereka berdua lalu menyalami guru itu.
“Jadi, kenopo kamu telat?” tanya
guru itu dengan logat Jawa dan suara bas. Ditambah badannya yang tinggi besar
dan kumisnya yang mirip Pak Raden, guru itu persis Gatotkaca.
Melihat tampang gurunya, Erwin tak
kuasa menahan tawa. Ia pun pura-pura batuk untuk menyamarkan tawanya.
“Itu, Pak. Gue… eh, maksudnya,
saya tadi naik bus kebablasan,” Tommy beralasan. “Kalo si Erwin tadi nganterin
saya ke sekolah, Pak. Sebenarnya tadi dia datang tepat waktu, tapi karena
nolong saya, dia jadi terlambat.”
“Ah, semua alasan ndak mempan buat
Bapak. Kalau yang ndak disiplin kayak gini enaknya dikasih hukuman opo, yo,
anak-anak?” tanya guru itu ke seluruh kelas.
“Nyanyi! Nyanyi!” Entah siapa yang
memprovokasi, seisi kelas justru bersorak begitu.
Erwin terkejut mengingat suaranya
yang sangat buruk, tapi Tommy tenang-tenang saja menanggapi. “Pak, menurut
saya, menyanyi itu hukuman yang kurang mendidik. Lagipula menyanyi juga
menghabiskan waktu.”
“Oke. Kalau kalian pingin hukuman
yang mendidik, akan Bapak kasih soal,” tantang guru itu. Tommy menjadi berbalik
terkejut. “Kalau kalian bisa menjawab soal Bapak, kalian berdua boleh duduk.
Tapi kalau ndak bisa, kalian berdiri di depan kelas sampai jam Bapak selesai.”
“O… okee,” sahut Tommy sok-sokan.
“Bapak kan guru sejarah, kebetulan
juga wali kelas kalian. Nah, pertanyaan ini juga seputar sejarah. Opo isi
perjanjian Linggarjati?” Guru itu memberi soal.
Tommy diam saja, tapi Erwin
langsung menjawab. “Anu, Pak. Pertama, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia
meliputi Jawa, Sumatra, dan Madura. Yang kedua, dibentuknya Republik Indonesia
Serikat. Yang ketiga, Belanda dan Indonesia membentuk Uni Indonesia-Belanda
dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.”
“Hmm… Oke, kalian berdua boleh
duduk,” kata guru itu.
“Win, makasih, ya,” bisik Tommy
kepada Erwin.
Mereka berdua kemudian duduk di
dua bangku yang berbeda. Di sebelah Tommy dan Erwin, masing-masing sudah ada
yang menempati.
“Oke, sekarang Bapak akan
lanjutken. Buat kalian berdua yang tadi terlambat, perkenalken. Nama Bapak
adalah Markono. Bisa dipanggil Pak Marco atau Pak Mark,” ucap guru itu.
“Kalau manggil Pak Kono boleh apa
nggak, ya?” gumam Tommy. Namun sialnya, gumaman Tommy terlalu keras sehingga
seisi kelas tertawa kecil.
Pak Markono berdeham. “Oke, Bapak
lanjutken mengabsen,” lanjutnya. “Agus Sudirman?”
“Surdiman, Sir.” Cowok di sebelah
Erwin mengacungkan tangan. Cowok itu cungkring nan gondrong. Manusia langka,
batin Erwin.
“Oh, iyo, maaf. Perkenalken
dirimu,” sahut Pak Mark.
Cowok itu pun memperkenalkan
dirinya. “My name is Agus Surdiman. You can call me Surdi. Maybe nama I aneh,
but I lebih suka bilang unique. I itu orang yang punya jiwa music yang tinggi.
I suka main guitar and I…”
“Kenopo bicaramu sok Inggris
begitu?” sela Pak Mark.
“Itu karena I adalah calon
guitarist band papan atas. So, I harus biasain pake English,” jawab cowok itu.
Pak Mark hanya geleng-geleng
kepala. “Selanjutnya…, Erwin Santoso?”
Erwin mengangkat tangan. “Panggil
saya Erwin. Saya bukan orang yang pintar bicara, tapi saya suka membaca dan
berimajinasi. Terima kasih,” tutur Erwin singkat.
“Oke. Tofan Suseno?” panggil Pak
Mark.
Cowok yang duduk di sebelah Tommy
mengacungkan tangan. Ia membenarkan letak kacamatanya, lalu memperkenalkan
diri.
“Namaku Tofan. Aku suka komputer,
juga game. Tapi aku bukan anti-sosial, Gan. Aku justru sosial. Karena itu, aku
ingin jadi ketua kelas ini. Jika aku jadi ketua kelas, tidak ada pajak kas
wajib, tapi pendapatan kelas tinggi. Jadi, pilihlah saya!”
Itu perkenalan diri apa nyaleg,
ya? Batin Erwin lagi.
Lalu tiba-tiba Tommy berdiri
dengan penuh percaya diri. “Nama gue… eh, maksudnya, nama saya Tommy, Pak. Saya
orangnya rendah hati, nggak sombong, rajin menabung, dan tidak suka membuang
sampah sembarangan. Dan yang penting, saya masih jomblo, lho,” tutur Tommy.
“Yang lebih penting lagi, saya
belum menyuruh kamu memperkenalken diri,” sahut Pak Mark.
“Hehe…” Tommy nyengir.
“Huuu….” Seisi kelas menyorakinya.
Keempat anak yang dipanggil
namanya tadi tidak tahu kalau mereka akan menjadi sahabat dekat. Mereka memang berbeda,
tapi memiliki suatu kesamaan, yaitu: rasa persahabatan yang tinggi.
Berlanjut ke Bab 2 (Awal)...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar