Rabu, 07 Mei 2014

Bab 1: Pagi Pertama di Putih Biru (Akhir)

Namun nasib malang menimpa mereka. Gerbang sekolah baru saja ditutup oleh Pak Satpam.
Tommy turun dari sepeda, lalu mendekati gerbang. “Pak, gerbangnya bukain dong,” pinta Tommy pada Pak Satpam yang ada di balik gerbang.
“Tidak bisa. Kalian kan terlambat. Sekolah ini mementingkan kedisiplinan, tauk. Tepat jam tujuh, gerbang sudah harus ditutup dan tak ada lagi murid yang bisa masuk,” tolak Pak Satpam.
“Kami ini baru kelas tujuh, Pak. Belum bisa beradaptasi sama sekolah baru kami. Bukain dong, Pak,” rayu Tommy lagi.
“Tidak bisa. Salah sendiri kalian terlambat.” Pak Satpam tetap bersikukuh.
“Jahat banget,” gumam Erwin.
Tiba-tiba ekspresi Tommy berubah aneh. Ia terlihat meringis kesakitan sambil memegang perutnya.
Pak Satpam heran. “Kamu kenapa?”
“Aduh, perut gue tiba-tiba sakit. Kayaknya gara-gara kemarin malam kebanyakan makan sambel, deh,” rintih Tommy masih memegangi perutnya. “Pak, tahu toilet di deket sini, nggak?”
“Toilet? Tuh, ada selokan,” jawab Pak Satpam ketus sambil menunjuk ke selokan.
“Serius, Pak. Gue pup di sini, nih,” tantang Tommy mencoba membuka celananya.
“Eeeh, jangan! Sekolah ini juga terkenal sama kebersihannya, tauk.” Pak Satpam mulai panik dan akhirnya tak tega. “Ya udah, deh. Kamu boleh ke kamar mandi sekolah.”
“Makasih, Pak,” kata Tommy masih memegang perutnya. “Erwin, ayo masuk.”
“Lho, yang satunya kan nggak kebelet ke toilet, ya, tidak boleh masuk, dong,” sahut Pak Satpam bingung.
“Kita kan ke sini sama-sama, Pak. Kalau masuk, ya sama-sama,” sanggah Tommy. Ia pun menarik tangan Erwin mengajaknya masuk. Sedangkan Pak Satpam yang masih bingung menggaruk-garuk kepalanya.
Setelah memarkirkan sepeda, Tommy dan Erwin bergegas menuju kelas. Tommy sebenarnya tadi hanya berpura-pura kebelet. Entah Tommy yang terlalu pintar atau Pak Satpam yang terlalu polos, mereka berdua tak peduli. Yang penting, bisa masuk sekolah dengan selamat.
Kelas baru Tommy dan Erwin ternyata sama. Di papan pengumuman tertulis bahwa mereka masuk kelas 7H. Setelah sampai di depan kelas itu, mereka berdua mendengar seorang guru pria sudah menerangkan. Tommy pun mengetuk pintu kelas, lalu masuk.
“Pak, maaf, kita terlambat,” kata Tommy. Mereka berdua lalu menyalami guru itu.
“Jadi, kenopo kamu telat?” tanya guru itu dengan logat Jawa dan suara bas. Ditambah badannya yang tinggi besar dan kumisnya yang mirip Pak Raden, guru itu persis Gatotkaca.
Melihat tampang gurunya, Erwin tak kuasa menahan tawa. Ia pun pura-pura batuk untuk menyamarkan tawanya.
“Itu, Pak. Gue… eh, maksudnya, saya tadi naik bus kebablasan,” Tommy beralasan. “Kalo si Erwin tadi nganterin saya ke sekolah, Pak. Sebenarnya tadi dia datang tepat waktu, tapi karena nolong saya, dia jadi terlambat.”
“Ah, semua alasan ndak mempan buat Bapak. Kalau yang ndak disiplin kayak gini enaknya dikasih hukuman opo, yo, anak-anak?” tanya guru itu ke seluruh kelas.
“Nyanyi! Nyanyi!” Entah siapa yang memprovokasi, seisi kelas justru bersorak begitu.
Erwin terkejut mengingat suaranya yang sangat buruk, tapi Tommy tenang-tenang saja menanggapi. “Pak, menurut saya, menyanyi itu hukuman yang kurang mendidik. Lagipula menyanyi juga menghabiskan waktu.”
“Oke. Kalau kalian pingin hukuman yang mendidik, akan Bapak kasih soal,” tantang guru itu. Tommy menjadi berbalik terkejut. “Kalau kalian bisa menjawab soal Bapak, kalian berdua boleh duduk. Tapi kalau ndak bisa, kalian berdiri di depan kelas sampai jam Bapak selesai.”
“O… okee,” sahut Tommy sok-sokan.
“Bapak kan guru sejarah, kebetulan juga wali kelas kalian. Nah, pertanyaan ini juga seputar sejarah. Opo isi perjanjian Linggarjati?” Guru itu memberi soal.
Tommy diam saja, tapi Erwin langsung menjawab. “Anu, Pak. Pertama, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia meliputi Jawa, Sumatra, dan Madura. Yang kedua, dibentuknya Republik Indonesia Serikat. Yang ketiga, Belanda dan Indonesia membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.”
“Hmm… Oke, kalian berdua boleh duduk,” kata guru itu.
“Win, makasih, ya,” bisik Tommy kepada Erwin.
Mereka berdua kemudian duduk di dua bangku yang berbeda. Di sebelah Tommy dan Erwin, masing-masing sudah ada yang menempati.
“Oke, sekarang Bapak akan lanjutken. Buat kalian berdua yang tadi terlambat, perkenalken. Nama Bapak adalah Markono. Bisa dipanggil Pak Marco atau Pak Mark,” ucap guru itu.
“Kalau manggil Pak Kono boleh apa nggak, ya?” gumam Tommy. Namun sialnya, gumaman Tommy terlalu keras sehingga seisi kelas tertawa kecil.
Pak Markono berdeham. “Oke, Bapak lanjutken mengabsen,” lanjutnya. “Agus Sudirman?”
“Surdiman, Sir.” Cowok di sebelah Erwin mengacungkan tangan. Cowok itu cungkring nan gondrong. Manusia langka, batin Erwin.
“Oh, iyo, maaf. Perkenalken dirimu,” sahut Pak Mark.
Cowok itu pun memperkenalkan dirinya. “My name is Agus Surdiman. You can call me Surdi. Maybe nama I aneh, but I lebih suka bilang unique. I itu orang yang punya jiwa music yang tinggi. I suka main guitar and I…”
“Kenopo bicaramu sok Inggris begitu?” sela Pak Mark.
“Itu karena I adalah calon guitarist band papan atas. So, I harus biasain pake English,” jawab cowok itu.
Pak Mark hanya geleng-geleng kepala. “Selanjutnya…, Erwin Santoso?”
Erwin mengangkat tangan. “Panggil saya Erwin. Saya bukan orang yang pintar bicara, tapi saya suka membaca dan berimajinasi. Terima kasih,” tutur Erwin singkat.
“Oke. Tofan Suseno?” panggil Pak Mark.
Cowok yang duduk di sebelah Tommy mengacungkan tangan. Ia membenarkan letak kacamatanya, lalu memperkenalkan diri.
“Namaku Tofan. Aku suka komputer, juga game. Tapi aku bukan anti-sosial, Gan. Aku justru sosial. Karena itu, aku ingin jadi ketua kelas ini. Jika aku jadi ketua kelas, tidak ada pajak kas wajib, tapi pendapatan kelas tinggi. Jadi, pilihlah saya!”
Itu perkenalan diri apa nyaleg, ya? Batin Erwin lagi.
Lalu tiba-tiba Tommy berdiri dengan penuh percaya diri. “Nama gue… eh, maksudnya, nama saya Tommy, Pak. Saya orangnya rendah hati, nggak sombong, rajin menabung, dan tidak suka membuang sampah sembarangan. Dan yang penting, saya masih jomblo, lho,” tutur Tommy.
“Yang lebih penting lagi, saya belum menyuruh kamu memperkenalken diri,” sahut Pak Mark.
“Hehe…” Tommy nyengir.
“Huuu….” Seisi kelas menyorakinya.
Keempat anak yang dipanggil namanya tadi tidak tahu kalau mereka akan menjadi sahabat dekat. Mereka memang berbeda, tapi memiliki suatu kesamaan, yaitu: rasa persahabatan yang tinggi.
Berlanjut ke Bab 2 (Awal)...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar