Minggu, 05 Januari 2014

Cita-cita Bagian 2

“Raita?” gumam Erwin. “Yaah, aku tidak lolos.”
“Hah, lo nggak lolos, Win? Gimana bisa?” Tommy, teman sebangkunya heran.
“Ah, tak apa-apa. Mungkin mereka belajar lebih giat,” sahut Erwin.
Mereka yang lolos seleksi kemudian diberi bimbingan ekstra tiap hari sepulang sekolah. Erwin biasa melihat 2 orang kakak kelasnya dapat lolos, tapi ia terkejut dengan Raita. Biasanya, ia terlihat kurang menonjol tapi tiba-tiba saja muncul di permukaan.
Raita awalnya senang dapat lolos. Ia dapat membahagiakan ayah-ibunya. Namun, ia baru sadar kalau itu bukanlah tujuan akhir, justru awalan untuk memenangkan olimpiade sesungguhnya. Sayangnya, ia tak bisa mengikuti pelajaran saat bimbingan. Lama-kelamaan ia tertekan karena merasa tak mampu mengikuti. Beberapa kali, ia justru tanya tentang Biologi ke Erwin. Hal ini membuat Erwin heran dan curiga.
“Itu namanya eritroblastosis fetalis,” Erwin menjawab pertanyaan Raita. “Ta, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Hmm… nanya apa?” sahut Raita.
“Seleksi olimpiade kemarin itu kamu kerjakan dengan jujur, kan?” tanya Erwin.
“Memangnya kenapa?”
“Maaf, tapi rasanya kamu seharusnya lebih tahu daripada aku… soalnya kamu yang lolos, bukan aku,” sahut Erwin lagi.
“Mm… Win, ada yang harus gue akuin,” ungkap Raita. “Seleksi itu gue kerjain sambil nyontek lewat buku. Gue sengaja SMS lo malem sebelum seleksi supaya lo keganggu. Gue juga yang nyuruh orang bilang ke lo kalo seleksi itu diundur. Maafin gue, ya. Gue lagi labil waktu itu.”
“Oh, begitu. Tidak apa-apa, sudah terlanjur. Sekarang, kamu yang terpilih dan kamu yang harus melanjutkan perjuangan ini,” sahut Erwin.
“Nggak. Di hati kecil gue, gue nggak mau. Gue ikut olimpiade karena paksaan dari ayah gue. Ayah gue nggak suka kalo gue jadi penulis.”
“Terus sekarang bagaimana?” tanya Erwin.
“Gue pingin posisi gue lo gantiin,” jawab Raita. “Soal ayah gue, gue minta tolong The Rangers buat bikin rencana. Kalian kan problem solver. Bisa kan?”
“Selalu bisa,” sahut Erwin mantap.
Keesokan harinya, Raita mengaku di hadapan Bu Astuti tentang perbuatan buruknya. Ia juga mengaku kalau itu ia lakukan karena tekanan dari ayahnya. Ia ingin posisinya digantikan oleh Erwin. Bu Astuti pun setuju. Ia justru mengacungkan jempol karena Raita berani mengakui kesalahan. Sejak itu, Erwin menggantikan Raita ikut olimpiade.
Kemudian, The Rangers pulang bersama Raita. Namun, mereka mampir sebentar ke PT Suara Bangsa. Mereka menawarkan cerita serial Raita untuk diterbitkan di koran mereka.
“Wah, ceritanya bagus. Bisa menjadi motivasi bagi anak-anak yang membaca. Bahasanya pun komunikatif,” komentar pemilik PT Suara Bangsa. “Baiklah. Cerita ini akan saya terbitkan setiap hari Minggu mulai minggu esok. Dan Raita, kamu diterima jadi penulis di PT Suara Bangsa. Besok, silakan ke sini lagi untuk mengurus pekerjaan ini.”
“Waah, makasih, Pak!” sahut Raita senang.
Beberapa hari kemudian di Minggu pagi, Raita tersenyum menyamping penuh arti. Ia memiliki sebuah rencana. Ia pergi ke teras rumahnya membawa secangkir kopi dan sesuatu yang ia sembunyikan di balik punggungnya. Ia mendapati ayahnya tengah membaca koran di sana.
“Yah, ini kopinya,” kata Raita.
“Oh, iya. Makasih, Raita,” sahut ayahnya masih membaca.
“Yah, aku punya hadiah buat ayah.” Raita memberikan sesuatu di balik punggungnya. Baju bermotif kotak-kotak. “Bagus apa nggak, Yah?”
“Hmm… Bagus. Ayah suka warnanya.” Ayah Raita melihat baju itu. “Tapi kok tumben? Ada apa?”
“Ada yang mau aku akuin,” ujar Raita. “Aku mengundurkan diri dari olimpiade, Yah.”
“Apa?!” ayahnya terkejut. “Kenapa?”
“Soalnya Ayah selalu nekan aku buat nurutin apa kata Ayah, tapi nggak pernah ndengerin apa kata aku,” Raita melepaskan emosinya. “Ayah tahu? Aku kemarin lolos itu cuma karena nyontek buku. Jiwaku bukan di sana, Yah. Jiwaku ada di dunia tulis-menulis.”
“Jadi sekarang kamu berani nyalahin Ayah?” tanya ayahnya dengan raut marah.
“Kita itu manusia, Yah, pasti punya salah. Tapi aku bisa ngebuktiin kalau cita-citaku bukan angan-angan kosong. Aku sudah kerja, Yah, di PT Suara Bangsa. Baju itu hasil kerja kerasku jadi penulis,” sahut Raita. “Kalau Ayah nggak percaya, Ayah bisa lihat di sini.” Raita mengambil koran ayahnya dan menunjukkan ceritanya.
Ayah Raita hanya diam dengan alis masih mengkerut. Raita pun menaruh koran itu di meja, lalu pergi. Setelah itu, diam-diam ayahnya membaca cerita Raita.
Lama-kelamaan hati ayah Raita kian mencair. Ia kini sudah tak memaksa Raita untuk ikut olimpiade atau menjadi dokter seperti dia. Ayahnya hanya ingin Raita bahagia dan meraih cita-citanya sendiri. Sedangkan Erwin yang menggantikan Raita ternyata meraih peringkat 3 sekotanya. Semua kini senang.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar