“Raita?”
gumam Erwin. “Yaah, aku tidak lolos.”
“Hah,
lo nggak lolos, Win? Gimana bisa?” Tommy, teman sebangkunya heran.
“Ah,
tak apa-apa. Mungkin mereka belajar lebih giat,” sahut Erwin.
Mereka
yang lolos seleksi kemudian diberi bimbingan ekstra tiap hari sepulang sekolah.
Erwin biasa melihat 2 orang kakak kelasnya dapat lolos, tapi ia terkejut dengan
Raita. Biasanya, ia terlihat kurang menonjol tapi tiba-tiba saja muncul di
permukaan.
Raita
awalnya senang dapat lolos. Ia dapat membahagiakan ayah-ibunya. Namun, ia baru
sadar kalau itu bukanlah tujuan akhir, justru awalan untuk memenangkan
olimpiade sesungguhnya. Sayangnya, ia tak bisa mengikuti pelajaran saat
bimbingan. Lama-kelamaan ia tertekan karena merasa tak mampu mengikuti.
Beberapa kali, ia justru tanya tentang Biologi ke Erwin. Hal ini membuat Erwin
heran dan curiga.
“Itu
namanya eritroblastosis fetalis,” Erwin menjawab pertanyaan Raita. “Ta,
bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Hmm…
nanya apa?” sahut Raita.
“Seleksi
olimpiade kemarin itu kamu kerjakan dengan jujur, kan?” tanya Erwin.
“Memangnya
kenapa?”
“Maaf,
tapi rasanya kamu seharusnya lebih tahu daripada aku… soalnya kamu yang lolos,
bukan aku,” sahut Erwin lagi.
“Mm…
Win, ada yang harus gue akuin,” ungkap Raita. “Seleksi itu gue kerjain sambil
nyontek lewat buku. Gue sengaja SMS lo malem sebelum seleksi supaya lo
keganggu. Gue juga yang nyuruh orang bilang ke lo kalo seleksi itu diundur.
Maafin gue, ya. Gue lagi labil waktu itu.”
“Oh,
begitu. Tidak apa-apa, sudah terlanjur. Sekarang, kamu yang terpilih dan kamu
yang harus melanjutkan perjuangan ini,” sahut Erwin.
“Nggak.
Di hati kecil gue, gue nggak mau. Gue ikut olimpiade karena paksaan dari ayah
gue. Ayah gue nggak suka kalo gue jadi penulis.”
“Terus
sekarang bagaimana?” tanya Erwin.
“Gue
pingin posisi gue lo gantiin,” jawab Raita. “Soal ayah gue, gue minta tolong
The Rangers buat bikin rencana. Kalian kan problem solver. Bisa kan?”
“Selalu
bisa,” sahut Erwin mantap.
Keesokan
harinya, Raita mengaku di hadapan Bu Astuti tentang perbuatan buruknya. Ia juga
mengaku kalau itu ia lakukan karena tekanan dari ayahnya. Ia ingin posisinya
digantikan oleh Erwin. Bu Astuti pun setuju. Ia justru mengacungkan jempol
karena Raita berani mengakui kesalahan. Sejak itu, Erwin menggantikan Raita
ikut olimpiade.
Kemudian,
The Rangers pulang bersama Raita. Namun, mereka mampir sebentar ke PT Suara
Bangsa. Mereka menawarkan cerita serial Raita untuk diterbitkan di koran
mereka.
“Wah,
ceritanya bagus. Bisa menjadi motivasi bagi anak-anak yang membaca. Bahasanya
pun komunikatif,” komentar pemilik PT Suara Bangsa. “Baiklah. Cerita ini akan
saya terbitkan setiap hari Minggu mulai minggu esok. Dan Raita, kamu diterima
jadi penulis di PT Suara Bangsa. Besok, silakan ke sini lagi untuk mengurus
pekerjaan ini.”
“Waah,
makasih, Pak!” sahut Raita senang.
Beberapa
hari kemudian di Minggu pagi, Raita tersenyum menyamping penuh arti. Ia
memiliki sebuah rencana. Ia pergi ke teras rumahnya membawa secangkir kopi dan
sesuatu yang ia sembunyikan di balik punggungnya. Ia mendapati ayahnya tengah
membaca koran di sana.
“Yah,
ini kopinya,” kata Raita.
“Oh,
iya. Makasih, Raita,” sahut ayahnya masih membaca.
“Yah,
aku punya hadiah buat ayah.” Raita memberikan sesuatu di balik punggungnya.
Baju bermotif kotak-kotak. “Bagus apa nggak, Yah?”
“Hmm…
Bagus. Ayah suka warnanya.” Ayah Raita melihat baju itu. “Tapi kok tumben? Ada
apa?”
“Ada
yang mau aku akuin,” ujar Raita. “Aku mengundurkan diri dari olimpiade, Yah.”
“Apa?!”
ayahnya terkejut. “Kenapa?”
“Soalnya
Ayah selalu nekan aku buat nurutin apa kata Ayah, tapi nggak pernah ndengerin
apa kata aku,” Raita melepaskan emosinya. “Ayah tahu? Aku kemarin lolos itu
cuma karena nyontek buku. Jiwaku bukan di sana, Yah. Jiwaku ada di dunia
tulis-menulis.”
“Jadi
sekarang kamu berani nyalahin Ayah?” tanya ayahnya dengan raut marah.
“Kita
itu manusia, Yah, pasti punya salah. Tapi aku bisa ngebuktiin kalau cita-citaku
bukan angan-angan kosong. Aku sudah kerja, Yah, di PT Suara Bangsa. Baju itu
hasil kerja kerasku jadi penulis,” sahut Raita. “Kalau Ayah nggak percaya, Ayah
bisa lihat di sini.” Raita mengambil koran ayahnya dan menunjukkan ceritanya.
Ayah
Raita hanya diam dengan alis masih mengkerut. Raita pun menaruh koran itu di
meja, lalu pergi. Setelah itu, diam-diam ayahnya membaca cerita Raita.
Lama-kelamaan
hati ayah Raita kian mencair. Ia kini sudah tak memaksa Raita untuk ikut olimpiade
atau menjadi dokter seperti dia. Ayahnya hanya ingin Raita bahagia dan meraih
cita-citanya sendiri. Sedangkan Erwin yang menggantikan Raita ternyata meraih
peringkat 3 sekotanya. Semua kini senang.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar