Rabu, 13 Agustus 2014

Epilog "The Rangers Begin"

“A
PA you nggak bawa senter? Nggak enak kalo telling story sambil gelap-gelapan,” kata seorang cowok di padang rumput yang gelap itu.
“Santai, kali,” sahut seorang cewek. “Lagipula ceritanya udah selesai.”
“Tapi, nggak enak juga kalo diliat. Nanti dikira kita ngapa-ngapain,” sambung cowok yang lain. “Gue bawa lampu emergensi, nih. Gue nyalain, ya.” Cowok itu merogoh sesuatu di tasnya, lalu mengeluarkan lampu.
Begitu lampu menyala, terlihatlah wajah-wajah mereka. Ternyata mereka adalah Tofan, Erwin, Surdi, Tommy, dan Mega. Malam-malam, mereka nongkrong di padang rumput itu, mengamati bulan dan bintang-bintang yang bersinar terang. Padang rumput yang sama saat Erwin diajak Kiran bersepeda untuk pertama kali dan saat Mega membuntutinya sebelum diculik.
“Kangen, deh, sama masa-masa SMP kita,” kata Mega memulai obrolan.
“Masa-masa itu takkan kembali lagi. Kita hanya bisa berusaha di masa kini demi masa depan yang lebih cerah,” sahut Erwin.
“Lagipula we juga udah lulus,” sambung Surdi.
“Tapi, Meg, apa lo serius mau ngelanjutin SMA di Bali?” tanya Tofan.
“Gua nggak punya pilihan lain. Maaf, ya, temen-temen,” jawab Mega sambil menahan air matanya keluar. “Mungkin ini kali terakhir kita kumpul bareng.”
“Ah, omong kosong,” sahut Tommy yang baru kali ini tampak serius. “Suatu saat nanti, kita pasti bisa ketemu lagi. Gue yakin.”
“That’s right, Tommy,” sambung Surdi. “Lagipula yang paling penting itu our friendship feeling. Jadi, meski jauh di mata, tetep deket in our heart. Itulah The Rangers.”
“Ngomong-ngomong soal The Rangers, gua punya sesuatu buat kalian,” sahut Mega. Ia lalu mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Tampak empat buah gelang karet yang “glow in the dark” di tangannya. Masing-masing memiliki warna yang berbeda.
Mega kemudian membagi gelangnya pada keempat cowok itu. “Itu gelang buat kalian. Warnanya matching sama jaket kalian. Buat kenang-kenangan aja,” kata Mega.
“Terus, gelang buat lo sendiri mana, Meg?” tanya Tommy.
“Nggak ada. Soalnya gua bukan The Rangers,” tutur Mega.
“Bagaimana bisa? Dinamai The Rangers karena kita selalu berlima seperti Power Rangers,” sanggah Erwin.
“Nggak. Gua nggak sama kayak kalian,” jawab Mega. “Kalian cowok, gua cewek. Kalian suka ngenet buat main game, gua enggak. Kalian juga sebenernya nggak suka gua denda, kan? Lagipula kita nggak akan berlima lagi setelah ini. Gua akan pindah.”
“But…,” sambung Surdi. “You tetep bagian dari The Rangers. Kalau you nggak mau dipanggil Ranger, you bisa we panggil The Rangers’ Special Agent.”
“Hmm, terserah deh,” sahut Mega.
Selama beberapa saat, mereka saling curhat soal impian dan harapan di masa mendatang. Namun, perasaan sedih mereka tak bisa ditutupi. Tommy yang jenuh pun mencairkan suasana saat itu.
“Udah, ah, jangan sedih-sedihan lagi. Mending kita nyanyi sambil gitaran ria. Betul, nggak, Sur?” ujarnya.
“That’s right, Tommy!”
Mereka kemudian bernyanyi bersama lagu dari Bondan Prakoso & Fade2Black yang bertajuk “Kita Selamanya”.
“Bergegaslah, kawan… ‘tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman ‘tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat… Kita untuk s’lamanya!”
Begitu lagu selesai, di langit tampak sebuah bintang jatuh. “Hei, temen-temen! Lihat, ada bintang jatuh!” seru Mega.
Mereka berlima pun membatin, mengucapkan suatu permohonan.
Aku ingin menjadi teman yang baik, begitu batin Erwin. Menjadi teman yang setia dan selalu ingat temannya meski jauh, seperti Kiran dan… Mega yang juga akan pindah. Padang rumput bersejarah ini akan dinamai Padang Harapan, di mana aku dan teman-temanku berharap akan berkumpul lagi di sini. Semoga persahabatan ini takkan berakhir….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar