Kamis, 19 Juni 2014

Bab 3: Sambal Setan (Awal)

D
I kota itu, ada sebuah tempat yang selalu ramai oleh pelajar laki-laki. Bahkan pada hari-hari libur sekalipun! Tempat itu bernama “Planet”. Tapi Planet bukanlah nama sekolah atau tempat bimbingan belajar, melainkan warnet yang terkenal sebagai markas para pemain Futsol.
Seperti pada hari Minggu ini. Dari pukul enam sampai hampir pukul sepuluh, warnet itu masih ramai saja. Halaman parkirnya penuh oleh kendaraan roda dua, mulai dari sepeda ontel hingga motor gede ada semua. Bahkan terkadang, delman pun ada! Sungguh ajaib warnet itu.
Namun keajaiban Planet sudah biasa dirasakan oleh pelanggannya, termasuk Erwin, Surdi, Tommy, dan Tofan. Mereka pergi ke Planet setiap hari Minggu. Dan seandainya saja tidak ada janji dengan Mega, mereka pasti masih bermain Futsol di dalam.
“Ayo, Gan. Kita segera ke restoran itu. Nanti Mega marah kalau kita nggak tepat waktu,” ajak Tofan di halaman parkir Planet.
“Ah, nggak pa-pa. Kita kan orang Indonesia, biasa ngaret,” sahut Tommy santai.
“Tapi kalian tidak mau kalau Mega marah dan menambah dendanya kan?” sambung Erwin.
“Of course, I nggak mau. Ayo, guys! Let’s go!” kata Surdi semangat.
Mereka berempat pun mengambil sepeda mereka dan segera beranjak dari Planet.
Di tengah perjalanan, Tofan membatin. Restoran Sambal Setan itu kayak gimana, ya? Dari namanya kok kayaknya pedas banget masakannya. Tapi, gue kan nggak doyan pedas. Masa gue ngaku? Gengsi dong. Masa ketua kelas 7H, pencipta sistem denda nggak doyan pedas?
“Win, restoran Sambal Setan itu yang mana sih?” tanya Tofan, hanya untuk mengetahui seberapa pedas masakannya.
“Yang itu…, depannya kantor pos,” jawab Erwin.
“Katanya makanan di sana pedas-pedas, ya?” tanya Tofan lagi.
“Katanya begitu. Tapi aku juga tak tahu pasti, soalnya aku belum pernah ke sana. Hanya pernah lewat.”
“Oh, ya udah,” kata Tofan yang sama sekali tidak bertambah lega.
Saat itu, mereka bersepeda melewati rumah-rumah pinggir jalan. Seorang anak kecil yang sedang duduk di teras rumahnya pun heran saat melihat mereka.
“Apa itu?” kata anak kecil itu. Ia melihat ada empat pesepeda dengan pakaian warna-warni. Dia mengira mereka adalah sosok asli Power Rangers yang ia tonton tiap minggu.
“Woii, Power Rangers!” teriak anak kecil itu sambil berlari ke pinggir jalan. Namun, suara anak kecil itu kalah oleh suara truk yang lewat.
Telinga Erwin yang lumayan tajam mendengar suara anak itu samar-samar. “Hei, teman-teman, apa kalian dengar suara anak kecil?” tanya Erwin.
“Suara apa?” Tofan bertanya balik.
“Katanya, ‘Power Rangers’,” sahut Erwin.
“Power Rangers? Maybe karena pakaian kita warna-warni kayak Power Rangers, hehe…” tambah Surdi.
“Ada-ada aja,” komentar Tommy.
Jika dilihat, mereka memang lucu dengan pakaian yang warna-warni. Hal itu membuat mereka menjadi pusat perhatian. Erwin dengan jaket biru Chelsea bekas kakaknya, Tofan dengan jaket merah Liverpool, Surdi dengan jaket hijau bertuliskan “Go Green!”, dan Tommy hanya berkaos oblong hitam dengan lambang Garuda Pancasila di bagian depan.
Kring, kring! Tiba-tiba dari belakang, menyaliplah sebuah sepeda. Dan orang di atas sepeda itu adalah Mega. Cewek itu memakai jaket kuning dengan celana training.
“Hei!” sapa Mega.
“Hei, lo kok sepedaan sendirian?” tanya Tommy.
“Kebalik. Harusnya gua yang nanya. Kalian kok sepedaan bareng?” tanya Mega balik.
“Kita kan emang suka sepedaan bareng,” sahut Tofan.
“Kok bisa? Perasaan jarak rumah kalian agak jauh,” tanya Mega lagi.
“Because we have satu tujuan, yaitu main Futsol di Planet,” jelas Surdi.
“Jadi, main game itu tak selalu berkesan negatif. Kita bisa punya teman karenanya,” lanjut Erwin.
“Tapi tetep banyak negatifnya, kan?” sanggah Mega.
“Yeah, whatever,” sahut Surdi lagi. “By the way, mana sih, the restaurant? I udah nggak sabar ngabisin the fried rice.”
“Setengah porsi aja lu belum tentu bisa ngabisin, lho,” kata Mega sambil tersenyum penuh arti.
Dalam percakapannya sepanjang perjalanan, Mega sebenarnya iri dengan mereka. Mega tak pernah punya teman dekat. Di lingkungan tempat tinggal Mega, para tetangga terlihat enggan jika dekat-dekat dengan keluarga Mega. Anak-anak tetangga yang seumuran pun dilarang orangtuanya untuk bergaul dengan Mega. Karena katanya, orangtua Mega itu terkenal galak, pelit, dan sombong. Oleh sebab itulah, Mega bersikap tegas dan disiplin di kelas untuk menutupi rasa sepi dan sedihnya.
Akhirnya, mereka berlima sampai di restoran Sambal Setan. Jika dilihat dari luar, restoran itu lebih mirip rumah angker. Bangunannya terlihat seperti rumah kuno yang tak terurus. Yang membedakannya hanya spanduk di depan rumah dan plang di pinggir jalan yang bertuliskan: “Restoran Sambal Setan. Pedesnya serem!”. Di samping tulisan itu ada logo restorannya, yaitu gambar kuntilanak yang ngulek sambal dengan cobek.
“Hmm… My feeling nggak enak,” gumam Surdi.
Berlanjut ke Bab 3 (Akhir)...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar